•47•

100 19 0
                                    

David yang sedang mengenakan kaos oblong berwarna abu-abu tua dan dipadukan dengan celana kolor berwarna senada saat ini sedang tidur telentang diatas kasur king size-nya. Kedua telapak tangannya digunakan untuk memegang ponselnya yang sejajar dengan perut langsingnya, namun matanya tidak lepas dari layar ponsel miliknya, sesekali dia mengerjapkan matanya.

Jemari David bergerak dari bawah ke atas, meng-scroll layar ponsel persegi ponsel. Dia sedang gabut. Kejadian tadi siang masih terekam jelas dipikirannya. David menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih netral. Pikirannya berkelana. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan saat mengingat Sherly yang dibentak-bentak oleh Darel. Ternyata kembarannya jika bicara bisa pedas banget, ya?

David tidak habis pikir dengan Darel. Kenapa Darel memutuskan hubungannya dengan Sherly? Bukankah Sherly idaman para cowok? Dia cantik, kaya raya, dan lumayan pintar, namun kenapa Darel tidak menyukai Sherly.

"Andai lo pacaran sama gue, Sher. Pasti setiap hari lo bahagia." David bergumam pelan seraya tersenyum tipis.

David kembali menatap layar ponselnya. Tidak ada cahaya yang menjadi tanda bahwa ponselnya itu masih aktif. Daya baterai ponselnya habis. "Shit!" David mengumpat pelan. David meremas ponselnya dengan kesal. Dia membanting ponselnya diatas kasur miliknya—tepatnya disebelah kanannya.

David beranjak dari tidurnya, punggungnya dia senderkan di kepala ranjang. Dia melirik sekilas jam dinding. Waktu menunjukan pukul tujuh malam. Dia kembali menguap, telapak tangan kanannya terangkat untuk menutup mulutnya yang sedang menguap.

Lima menit yang lalu, Nathania ke kamarnya, bilang bahwa makan malam sudah siap. David menurunkan kedua kakinya ke lantai yang terasa dingin di telapak kakinya. David menyungingkan senyum. Perlahan tapi pasti, dia segera melangkahkan kakinya menuju kamar sebelah, tepatnya ke kamar Darel.

Tok tok tok.

David mulai mengetuk pintu kamar milik Darel. Tidak ada sahutan sama sekali. David mengernyitkan dahinya, bingung.

Tok tok tok.

David kembali mengetuk pintu kamar milik Darel berkali-kali tetapi masih sama seperti tadi. Tidak ada sahutan. David berdecak kesal. "Woy! Kembaran laknat kepala batu! Keluar dong!" David berseru kesal.

Hening. Tidak ada sahutan lagi.

David mengertakkan giginya kesal, dia membuang nafasnya kasar. Rasanya dia ingin mengajak kembarannya untuk baku hantam saja. Kesabarannya sudah habis. Tangan kanannya terulur untuk meraih knop pintu, lalu didorongnya dengan pelan. David tersenyum miring karena pintu kembarannya tidak terkunci.

David mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kamar Darel. Pipi David seketika berkedut. Kamar Darel begitu bersih dan rapih, sangat berbeda dengan kamarnya yang begitu berantakan. David terlalu malas untuk merapihkan kamarnya.

'Kenapa kamar yang berantakan harus dirapihin kembali? Toh, nanti juga berantakan lagi.' Seperti itu lah jawaban David saat ditanya 'Kenapa David malas untuk merapihkan kamarnya sendiri?' Sangat berbeda dengan Darel. 'Kamar yang rapih itu enak dipandang. Jadi gue selalu ngerapihin kamar gue biar enak dipandang.' Seperti itu lah jawaban Darel saat di tanya 'Kenapa Darel tidak malas untuk merapihkan kamarnya sendiri?'.

David memicingkan matanya kearah kasur king size milik kembarannya, lalu dia mendekati kasurnya. Terlihat Darel sedang tidur miring—memunggunginya. David menyugingkan senyumnya. Dia ingin balas dendam. David menarik nafasnya dalam-dalam lalu dia buang perlahan. Tangan kanannya terangkat.

Plak.

David menampar keras lengan kekar Darel yang terbalut selimut. Sedetik kemudian David tertawa keras—tawa yang memenuhi kamar Darel. Darel terperanjat kaget. Ya, dia bangun. Darel mengerjapkan matanya berkali-kali saat cahaya lampu kamarnya dengan kurang hajarnya menyilaukan matanya. Dia meringis saat merasakan sakit dibagian lengannya.

"Shit! Sakit bego!" kesalnya, dia lantas menghempaskan selimut yang membalut tubuhnya

Darel beranjak dari tidurnya, dia menurunkan kedua kakinya ke lantai. Namun matanya tetap menatap tajam kearah David yang sedang memegangi perutnya karena terus-menerus tertawa, meledeknya.

"Ternyata, selain lo suka menggambar, lo juga suka tidur ya?" David bertanya meledek.

Darel mendengkus kesal. "Bacot lo!"

Darel sudah tahu. Pasti disuruh turun ke bawah untuk makan malam, bukan? Darel sudah hafal betul. "Pergi sana!" Darel mengusir secara terang-terangan.

David memutar bola matanya malas. Kembarannya itu memang benar-benar tidak bisa diajak bercanda sama sekali. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kenapa kembarannya itu sangat berbeda dengannya? Padahalkan mereka anak kembar? Ah, sudahlah David tidak mau memikirkan hal itu lagi. Dia sungguh sangat pusing.

Darel melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, dia berjalan menuju wastafel yang letaknya berada dikamar mandinya. Dia memutar kran air dan langsung membasuh wajahnya dengan kasar, dia menatap tubuhnya didepan cermin, dia menghela nafas lagi. Wajah Darel masih seperti biasanya-wajahnya masih tetap tampan. Darel menatap tajam kaca besar yang berada dihadapannya.

"Kenapa semua orang nyebelin, huh? Nggak Sherly, nggak David, mereka berdua sama aja!"

Darel mengambil handuk kecil berwarna putih yang letaknya berada didekat kaca besar depan wastafelnya. Dia terus menyeka air yang masih tersisa di wajahnya dengan handuk kecil tersebut-memastikan bahwa air yang berada diwajahnya sudah hilang semua. Lalu handuk kecil itu ditaruhnya kembali ke tempat semula.

*

"Papah mau jodohin Darel dengan anaknya sahabatnya papah, mah. Nama Sherly Zenaide Jovanka, anak perempuannya tuan Jovanka." Arsenio berkata dengan santainya. Tangan kanannya terulur untuk mengambil gelas yang berisi air putih lalu dia meminumnya sampai habis tak tersisa.

Nathania membulatkan matanya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kenapa Arsenio-suaminya tiba-tiba ingin menjodohkan Darel?

"Papah bercanda, kan?" Nathania bertanya, dia masih tidak percaya dengan perkataan yang dilontarkan dari mulut Arsenio barusan.

Arsenio menoleh ke arah Nathania, dia mengembangkan senyum lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Papah serius, mah."

"Tapi kenapa tiba-tiba papah jadi ingin menjodohkan Darel dengan anak sahabatnya papah, huh?" Nathania bertanya penasaran. Jujur saja dia tidak setuju dengan rencana perjodohan.

Arsenio menghela nafasnya lagi. "Perusahaan papah mau bangkrut. Dan satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan perusahaan papah adalah tuan Jovanka, mah,"

Nathania menunduk, matanya sudah berkaca-kaca. "Kenapa bukan David saja, pah?"

"Anaknya tuan Jovanka sukanya sama Darel, mah. Dia tidak suka sama David." sahutnya pelan.

Nathania benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang terjadi nanti. Dia meremas rok yang berwarna peach dengan kasar. Pikirannya berkelana. Semoga saja Darel bisa menerima perjodohan itu dan tidak marah kepada ke dua orang tuanya.

Darel melangkahkan kakinya menuju lantai bawah, tepatnya di ruang makan. Darel terus melangkahkan kakinya lebar-tidak menghiraukan kembarannya yang sedang duduk di tepi kasur king size-nya seraya melihat-lihat barang-barang yang berada di kamar kembarannya.

"Woy, tungguin, woy!" David memekik saat melihat kembarannya yang sudah keluar dari kamarnya.

Darel tidak bergeming. Dia tetap melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Samar-samar dia mendengar kata perjodohan yang dikatakan Arsenio—papahnya. Darel hanya mengendikan bahu acuh. Dahinya mengernyit, bingung. Papahnya pulang-kenapa Darel tidak tahu jika papahnya sudah pulang?

Hening.

Darel menarik kursi yang letaknya di ujung-depannya Arsenio. Hanya terhalang oleh meja makan saja. Darel segera duduk di kursi, dia melirik Arsenio dan Nathania secara bergantian, Darel tertawa kecil. "Papah pulang kapan?"

Arsenio melirik sekilas kearah Darel. "Tadi,"

Darel tidak bergeming. Dia hanya ber-oh ria. Tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak. Dia kembali mengingat kejadian tadi siang.

David menarik kursi yang letaknya disebelah kanan kembarannya, dia menyengir lebar. David lantas duduk, dia melirik kearah Arsenio, Nathania, dan Darel secara bergantian seraya tersenyum lebar.

Suasana amat terasa canggung.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang