•9•

316 36 3
                                    

Tangan kanan Keysa terulur untuk mengambil buku paket matematika miliknya yang berada diatas mejanya. Keysa kembali menoleh kearah belakang seraya menyodorkan buku paket matematikanya didepan David. Wajah cantiknya tampak terlihat datar—wajar saja, karena Keysa memang tak bisa akrab dengan orang yang baru dia kenal.

David tersenyum manis, lalu tangan kanannya terulur untuk merima buku paket matematika milik Keysa dengan senang hati tentunya. "Thanks, Key,"

Keysa menganggukan kepalanya pelan. "Your welcome."

"Siapa yang mau mengerjakan soal nomor satu?"  Sana bertanya antusias, dan otomatis hal tersebut berhasil memecah keheningan yang tercipta dikelas.

Tanpa pikir panjang Sherly segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Dia tersenyum miring. "Saya Bu!" sahutnya dengan senang.

Sana tersenyum tipis lalu menunjuk Sherly dengan spidol besar yang berwarna hitam. "Iya Sherly, ayo maju!" perintah Sana dengan lembut. Sontak Sherly segera beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kedepan kelas dengan percaya diri. Sherly menerima spidol hitam yang barusan disodorkan Sana. Setelah selesai menulis jawabannya dia segera kembali kebangkunya.

Sana menoleh kearah papan tulis yang berwarna putih itu untuk melihat jawaban yang barusan Sherly tulis. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat jawaban Sherly. Sayang sekali, jika saja Sherly teliti pasti jawabannya akan benar.

"Sherly, jawaban kamu kurang tepat," Sana berujar dengan lembut. Raut wajahnya terlihat sedikit kecewa, namun senyumnya tak pudar sama sekali.

"Huuuuuuuuuuuu!" salah satu siswi kontan bersorak mengejek, detik berikutnya murid lain bersorak ikut menirukan.

"Kalau nggak bisa nggak usah sok deh," siswi lain memberi saran pada Sherly, diiringi tawa yang terdengar mengejek.

"Kalau gue sih udah malu banget jadi lo," Nindhi ikut menimpali dengan suara yang terdengar dramatis.

Refleks muka Sherly memerah seperti kepiting rebus karna menahan malu, Sherly menatap tajam satu persatu murid yang meng-judge dan mencibir dirinya. Dia benar-benar tidak suka jika dia dibuat malu seperti barusan oleh para temannya yang seolah tak punya akhlak. Dia mengumpat kasar berkali-kali dalam hati.

Sungguh, hari ini sangatlah menyebalkan!

"Sudah sudah, jangan ribut!" Sana melerai tatkala kelas yang sedang dia ajar sekarang kembali riuh.

Sana menatap Keysa yang tengah asyik menulis jawaban dibuku tulis miliknya. "Keysa, ayo maju," perintah Sana seraya tersenyum lebar. Menurutnya, Keysa adalah salah satu siswi yang pintar dan rajin, maka dari itu Sana memerintahkan Keysa saja yang maju ke depan.

Sontak Keysa segera mendongakkan kepalanya begitu mendengar perintah Sana barusan, menatap Sana yang juga tengah menatapnya seraya tersenyum manis. Keysa diam, dia kembali tak bisa berkutik. Berikutnya Keysa menganggukan kepalanya pelan seraya beranjak dari duduknya.

"Dengan senang hati, Bu," Keysa menyahut dengan lirih. Perlahan tapi pasti, dia beranjak dari duduknya lalu berjalan santai untuk menuju ke depan kelas.

Keysa meraih spidol hitam yang di sodorkan Sana barusan. Keysa terdiam sejenak seraya membaca soal matematika yang ditulis dipapan tulis berwarna putih yang tepat berada di depannya. Dia berusaha untuk memahami soal yang menurutnya tidak begitu sulit. Terlihat Keysa tampak tengah berfikir sejenak, sedetik kemudian dia tersenyum tipis.

Keysa mulai menulis jawabannya. Setelah selesai menjawab, Keysa kembali ke tempat duduknya dengan gaya santai—dia tidak merasa ragu karena dia sudah paham betul dengan soal nomer satu yang diberikan oleh Sana. Sebelum pergi dia terlebih dahulu mengembalikan spidol hitam itu kepada Sana.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang