•21•

187 27 0
                                    

"Iya bu," Darel dan Keysa menjawab jujur dengan kompak.

Rika tidak habis fikir lagi dengan mereka berdua.

Bagaimana bisa mereka bisa terlambat?

Bukankah mereka selama ini tidak pernah terlambat?

Lantas kenapa hari ini mereka terlambat?

Padahal mereka berdua adalah siswa-siswi yang terkenal karena kepintarannya serta memilik paras wajah yang goodlooking. Entahlah Rika sendiripun tidak mengetahui hal tersebut. Lantas Rika memejamkan matanya sejenak seraya memijit pelipisnya menggunakan telapak tangan kirinya, karena telapak tangan kanannya untuk memegang kayu rotan. Kepalanya terasa berdenyut sesaat.

"Sekarang kalian saya hukum, lari keliling lapangan basket lima belas kali!" Rika memberi perintah mantap dengan suaranya yang sedikit meninggi dan berhasil membuat telinga Darel dan Keysa cenat-cenut dibuatnya.

Darel berdeham pelan. "Tapi bu, tadi jalanan ma—" Darel berusaha untuk menjelaskan dengan nada yang dibuat sesopan mungkin.

Tetapi hasilnya nihil! Usahanya benar-benar sia-sia karena setelahnya Rika langsung melotot tajam kearahnya. "Tidak ada tapi-tapian, sekarang cepat lari!" Rika kembali menyahut dengan nada tinggi. Sejujurnya dia adalah tipekal orang yang tidak suka di bantah—apalagi dibantah oleh muridnya sendiri, oh no!

Kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Keduanya berpandangan sejenak, jelas keduanya bersumpah serapah dalam hati. Namun keduanya masih saja memasang senyuman terpaksa. Keduanya mengucapkan selamat pagi dan terimakasih. Berikutnya Darel langsung menarik pergelangan tangan kanan Keysa sebelum akhirnya memutuskan untuk berlari menuju lapangan basket yang luasnya minta ampun.

Keysa mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru lapangan. Lapangan SMA Merah nampak luas, di sisi-sisinya terdapat bangku panjang yang digunakan untuk berteduh saat murid tengah beristirahat. Begitupun dengan pohon besar yang berada didekat bangku panjang—berguna untuk menghalang panas matahari yang menyengat tubuh. Lapangan tersebut juga terlihat bersih—tidak terdapat sampah organik maupun anorganik.

Kontan Keysa bersyukur dalam hati karena tidak ada segelintir murid yang sedang bermain basket di lapangan. Sebab jika ada pasti muka cantiknya akan memerah seperti kepiting rebus, karena menahan malu. Angin berhembus pelan yang membuat rambut panjang Keysa berterbangan. Dia memejamkan matanya menikmati panas matahari yang mulai meninggi yang menyengat kulit mulusnya, Keysa mendengus sebal. Suasana tampak hening karena keduanya belum berbicara sama sekali saat tiba di lapangan.

"Sekali lagi gue minta maaf ya, Key—"

"—Gara-gara gue, lo jadi telat," lanjut Darel yang berhasil memecah keheningan yang ada.

Lantas Keysa menolehkan kepalanya kearah Darel. Dia lantas tersenyum yang terlihat manis dimata Darel. "Semua ini bukan salah lo dan berhenti untuk menyalahkan diri sendiri, oke?"

"Toh, tadi pagi juga jalanan macet, wajar kalo kita berdua terlambat," lanjutnya seraya tertawa kecil.

Darel tersenyum tipis mendengarnya.

"Cepat mulai berlari atau bu guru tambah hukuman kalian?" Rika kembali berbicara dengan meninggikan suaranya, berusaha agar suaranya terdengar dengan jelas. Perlu diketahui bahwa dirinya sekarang berada di tepi lapangan—mengawasi keduanya. Takut jika kedua muridnya melarikan diri dari hukuman yang dia berikan tadi.

Kontan Darel dan Keysa melotot tak percaya, mereka tidak tahu bahwa mereka sedari tadi sedang diawasi oleh Rika dibelakang sana. Keduanya lantas saling berpandangan. Keysa mendekatkan tubuhnya kearah tubuh jangkung milik Darel. "Burik sekarang sedang ngawasin kita, kita nggak boleh diem aja kayak gini," Keysa berujar dengan lirih.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang