•20•

213 29 0
                                    

Keysa mengedarkan pandangan disekelilingnya terlihat jalanan sangatlah macet karena banyaknya pengendara transportasi yang kini tengah berlalu lalang. Keysa menggeleng-gelengkan kepalanya pelan—menikmati hiruk pikuk ibu kota. Wajahnya berubah menjadi tampak terlihat miris.

Polusi makin banyak aja nih. Keysa berkata dalam hati.

"Pegangan yang kenceng, Key! Gue mau ngebut soalnya, takut telat," Darel sedikit meninggikan suaranya—berusaha agar suaranya terdengar begitu jelas di telinga Keysa. Jantung Darel tampak tak teratur—degupan jantungnya dua kali lebih cepat dari sebelumnya karena berada didekat Keysa—berbeda dengan pacarnya sendiri. Sherly tidak pernah membuat jantungnya berdegup dua kali lebih cepat maupun merasakan kupu-kupu didalam perut.

Keysa mengangguk. "Iya, Rel," Keysa dengan sedikit meninggikan suaranya seraya tersenyum dibalik helm yang sedang dia pakai. Keysa mengeratkan pelukannya pada pinggang Darel. Sesekali dia memejamkan kedua matanya, nafasnya tampak begitu memburu.

Darel kembali menyunggingkan senyum dibalik helm full face-nya, entah kenapa hatinya terasa menghangat saat berada di dekat Keysa, begitupun dengan Keysa. Sedetik kemudian Darel melajukan motornya dengan cepat, sontak Keysa langsung segera kembali memeluk Darel dengan erat.

Maafin gue, Sher. Gue nggak bermaksud untuk meluk cowok lo, hanya saja gue masih ingin hidup.

Tidak peduli dengan kemarahan Sherly nantinya, yang terpenting untuk saat ini adalah nyawa. Sepuluh menit sudah berlalu, kini mereka berdua sudah sampai di depan gerbang—sayangnya gerbang SMA Merah sudah tertutup rapat. Perlahan tapi Keysa turun dari motor Darel, dia menatap sendu kearah gerbang sekolah. Andai saja tadi bisnya datang lebih awal, pasti dirinya tak akan terlambat untuk datang ke sekolah seperti ini.

Sementara Darel? Dirinya masih enggan untuk turun dari motornya. Namun pandangannya tak lepas dari rambut Keysa yang tergerai indah di punggungnya. Darel menghela nafas panjang, jika dia di suruh memilih—maka Darel akan membiarkan dirinya saja yang terlambat. Keysa? Jangan. Darel merasa bersalah? Tentu saja jawabannya adalah iya.

Darel berdeham pelan sebelum mulai berkata. "Lo sedih? Jangan sedih ya, Key,"

"Lo tau kan perjuangan gue tadi untuk sampai ke sekolah supaya kita nggak telat?" Darel bertanya dengan nada rendah—tanpa berniat memalingkan wajahnya kemanapun.

Keysa kontan memutar tubuhnya ke belakang—menatap lekat wajah tampan milik Darel. Keysa diam sejenak saat mengamati wajah Darel, Keysa sekarang sudah mengetahui bahwa Darel saat ini sedang merasa bersalah kepadanya. Padahal Darel sama sekali tidaklah salah—mengingat bahwa tadi Darel menawarkan untuk berangkat bersama ke sekolah. Jika tidak ada Darel—kemungkinan dirinya akan sampai ke sekolah lebih telat lagi.

Detik berikutnya, Keysa tersenyum tipis lalu menganggukkan kepalanya pelan. "Gue enggak sedih kok,"

"Iya gue udah tau perjuangan lo, jadi santai aja kali, Rel" Keysa menyahut seraya tertawa kecil—berusaha untuk mencairkan suasana.

"Ki—" Perkataan Darel terhenti ketika melihat pria paruh baya yang tiba-tiba saja datang. Pria paruh baya kini sedang berkacak pinggang seraya menatap tajam kearahnya dan kearah Keysa. Kontan Darel menelan ludahnya dengan kasar. Nafasnya nampak tercekat dan lidahnya terasa kelu untuk berbicara, walau hanya sepatah katapun.

"Kalian berdua ini sebenarnya mau belajar atau mau pacaran sih?" Pria paruh baya bertanya kepada dua remaja yang berlawanan jenis dengan sedikit meninggikan suaranya. Kedua matanya yang terlihat tajam tak lepas dari mereka berdua. Namun sayangnya, Darel dan Keysa hanya bisa diam mematung.

Perlu diketahui bahwa pria paruh baya itu adalah satpam yang terkenal galak tetapi juga lucu di sekolah SMA Merah. Namanya Sadi, huruf terakhirnya tidak pakai huruf S—jika iya pasti namanya akan lucu sekali. Dia mungkin sudah berkepala tiga, tetapi badannya masih kekar seperti lelaki pada umumnya.

Sedetik kemudian Darel dan Keysa saling berpandangan—seolah mereka tengah berbicara lewat tatapan mata. "Belajar dong, pak!" Darel dan Keysa menyahut dengan kompak. Entah apa yang membuat keduanya bisa kompak seperti barusan.

Sadi hanya menggeleng-geleng kepalanya pelan saat mendengar sahutan kedua murid itu yang menurutnya kompak, eum mungkin sangat kompak?

Sadi mendekat kearah gerbang lalu dia membukakan sedikit gerbang. Sadi sebenarnya tahu mengenai dua murid yang tengah dia hadapi, keduanya pintar—yang satu tampan dan yang satunya cantik—tidak heran jika keduanya begitu terkenal di SMA Merah dan jangan lupakan fans keduanya sudah pasti bejibun. "Cepat masuk!" Sadi memberi perintah dengan sedikit meninggikan suaranya.

"Atau bapak akan tutup gerbang ini lagi?" lanjutnya.

Keysa kontan langsung menggeleng pelan lalu mengayunkan kedua kakinya untuk berlari kecil memasuki gerbang. Berhenti saat jaraknya sudah dekat dengan satpam sekolah. "Jangan galak-galak pak, nanti cepet tua loh," Setelah berkata demikian, Keysa langsung melesat pergi sebelum mendengar amukan pak satpam.

Sementara Darel? dia tengah menaiki motor ninjanya itu untuk diparkirkan di halaman parkir sekolahannya. Saat melihat Keysa yang meledek pak satpam—dia sempat terkekeh geli. Lucu sekali.

Kini, Darel dan Keysa berjalan mengendap-endap saat berjalan melewati koridor yang tampak sepi—wajar saja karena semua murid sudah masuk kedalam kelasnya masing-masing, hanya saja masih ada murid yang berkeliaran dikoridor—sudah dipastikan bahwa para murid itu termasuk anak bandel. Sejujurnya, Darel dan Keysa tak ingin terciduk oleh guru karena alasan terlambat—mengingat bahwa selama ini mereka berdua tak pernah terlambat.

Bukankah mereka berdua terkenal goodboy dan goodgirl?

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya dengan badan yang sedikit berisi itu tengah berdiri tepat dibelakang Darel dan Keysa, mengikuti langkah lamban keduanya dan menatap tajam kearah mereka. "Kalian berdua terlambat ya?" Langsung saja wanita paruh baya itu melontarkan pertanyaannya seraya menunjuk Darel dan Keysa dengan kayu rotan yang hampir setiap hari dia selalu bawa.

Sontak Darel dan Keysa langsung terperanjat karena kaget saat mendengar suara yang sangat terasa tidak asing di telinga keduanya. Tangan kanan Keysa terangkat untuk mengelus-elus dadanya untuk menstabilkan detak jantungnya yang berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya—berusaha untuk mengurangi rasa kagetnya yang tengah melanda.

Sedangkan Darel? Dia tampak terlihat santai. Dia hanya berdeham pelan untuk mengurangi rasa gugup yang sedang melandanya. Detik berikutnya Darel memutar bola matanya malas, dia sudah tahu pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan guru bimbingan konseling yang sudah terkenal akan kesadisannya.

Burik emang benar-benar menyeramkan, melebihi para hantu. Keysa membatin dalam hati. Namun dirinya terlalu enggan untuk berbicara seperti itu didepan Rika.

Ya, wanita paruh baya itu bernama Rika, dia adalah guru BK yang terkenal karena kesadisannya. Rika juga menyandang gelar guru killer di seantero sekolah SMA Merah. Bagaimana tidak? Wajah menyeramkan, badan besar, serta nada tegas yang selalu berhasil membuat murid-murid terhipnotis menjadi takut.

Apalagi Rika tidak segan-segan memukul bagian tubuh para murid dengan kayu rotan yang selalu dia bawa. Namun jangan salah, Rika hanya memukul para murid cowok atau cewek yang susah diatur saja alias murid yang sangat bandel. Sebenarnya Burik adalah nama singkatan saja—wajahnya tidak burik, dia sebenarnya cantik, hanya saja tertutupi oleh kesadisannya.

Tetapi entah kenapa para murid suka memanggilnya Burik. Maybe, karena mudah diingat? Tetapi tidak bagi Rika, tentu saja dirinya tak menyukai julukan Burik dari para muridnya. Rika sadar jika dirinya galak—namun sejujurnya dia melakukan itu semua karena rasa sayangnya kepada muridnya dan Rika menunjukkannya jelas berbeda dari kebanyakan guru lainnya. Dia hanya ingin muridnya disiplin. Hanya itu saja.

Darel dan Keysa kompak memutar tubuhnya kebelakang. Mereka berdua tersenyum kikuk menatap Bu Rika yang tengah menatap tajam kearah mereka berdua. Keduanya hanya bisa berdiri mematung seraya bergidik ngeri dalam hati. Mereka terlalu enggan untuk membuka mulutnya, takut jika kayu rotan tersebut mengenai kulit tubuh keduanya. Membayangkan saja sudah membuat keduanya bergidik ngeri.

"Iya bu." Darel dan Keysa menjawab jujur dengan kompak.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang