•80•

102 15 0
                                    

Keysa sendiri juga tidak percaya jika sebentar lagi hujan akan reda, mengingat bahwa sekarang hujannya turun bertambah deras. Langit yang semula berwarna biru bercampur putih pun sekarang berubah menjadi abu-abu gelap. Sesekali petir terdengar keras di telinga keduanya.

"Idih bohong banget." Nindhi menyahut kesal.

Sherly mengayunkan kakinya menuju bangku Keysa yang sedang asyik mengobrol dengan Nindhi. Jujur saja, Sherly sangat canggung pada Nindhi yang tengah menatapnya dengan datar. Tentu saja dia tidak takut sama sekali pada Nindhi. Dia hanya merasa malu karena teringat kembali perilakunya pada Keysa. Sherly berdeham pelan untuk mengurangi rasa canggung yang tengah melandanya. "Keluar yuk?" Ajak Sherly ramah. Di sampingnya ada Rosa yang tengah menatap sinis ke arah Keysa dan Nindhi.

"Lo bicara sama kita berdua?" Nindhi bertanya datar seraya menatap Keysa dan Sherly bergantian. Dia sudah tahu bahwa Sherly adalah kakak kandung sahabatnya. Tetapi dia masih menyimpan sedikit rasa dendam pada Sherly yang dulu selalu bersikap kasar pada Keysa. Dia heran, kenapa harus Sherly yang menjadi kakak kandung Keysa, huh? Apakah tidak ada cewek lain yang lebih pantas menjadi kakak kandung Keysa? Nindhi sangat merasa iba pada Varo, dia tahu bahwa Varo berat untuk menerima kenyataan itu, tetapi apa boleh buat?

Sherly bergumam pelan seraya mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Akhir-akhir ini juga dia sedikit berubah, dia tidak lagi mem-buly murid yang terlihat cupu. Entah kenapa Sherly berubah, mungkin karena dia akhir-akhir ini mendapat perilaku yang baik dari Keysa?

Sherly memandang wajah cantik Keysa yang tengah tersenyum tipis ke arahnya. Dia pun langsung membalas senyuman Keysa dengan senyumannya yang tidak kalah manis.

Berbeda dengan Rosa yang sedari tadi hanya diam saja. Dia sengaja menulikan pendengarannya. Karena dia masih sedikit membenci Keysa sekaligus Nindhi. Kedua tangannya dia lipat di depan dada. Pandangannya lurus kedepan, memandang papan tulis yang berada di depan kelasnya itu dengan pandangan yang terlihat kosong. Tidak ada tanda-tandanya bahwa dia ikut berbicara untuk sekedar meramaikan suasana.

"Yuk kak!" Keysa menyahut antusias seraya memasukan buku novel best seller miliknya yang sedari tadi dia pegang tepat kedalam tas ransel berwarna biru yang masih terbuka lebar. Semua buku dan peralatan tulisnya yang berada di dalam laci sudah dia masukan kedalam tas satu jam yang lalu.

Nindhi pun melakukan hal yang sama, dia langsung bergegas memasukan barang bawaannya kedalam tas miliknya. Mereka berdua beranjak dari duduknya lalu berjalan beriringan dengan Sherly dan Rosa yang sudah mulai mengayunkan kakinya.

Terlihat Darel sudah menunggu Keysa tepat di depan kelas 11 IPA3. Jaket berwarna hitam yang semula membalut tubuh atasnya sekarang sudah berada di atas bahu kanannya. Kedua telapak tangannya ia masukan kedalam saku celananya. Punggungnya dia sandarkan tepat di depan tembok kelas milik Keysa. Kepalanya menengadah ke atas, nafasnya memburu.

Sesekali Darel memejamkan kedua matanya menikmati seragamnya yang basah dan terasa sedikit dingin. Seluruh tubuhnya terlihat basah, apa lagi roti sobeknya yang saat ini terpampang jelas karena baju seragam yang dia kenakan begitu sangat basah karena tadi dia sempat menerobos hujan deras demi menjemput Keysa pulang dan jangan lupakan rambutnya juga sudah basah dan lepek.

Keysa menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu kelasnya. Ponselnya berbunyi tanda ada pesan yang masuk. Keysa mengernyitkan dahinya bingung, siapa yang mengirimkannya pesan saat ini, huh? Telapak tangan Keysa terulur ke saku roknya untuk mengambil ponsel yang berada di sana. Keysa mensejajarkan ponsel di depan dada. Jari-jarinya tidak henti-hentinya bergerak kesana kemari. Mata Keysa memicing saat membuka pesan dari Linda.

Mommy Linda: Keysa, kamu cepat pulang ya nak. Mommy tunggu kamu di café, ya?

Keysa: Iya mom.


Keysa segera menyimpan ponselnya kembali di dalam saku roknya. Keysa menepuk jidatnya pelan, pandangannya lurus kedepan memandang hujan yang masih saja belum reda. Kedua telapak tangan Keysa terkepal lalu dia memejamkan kedua matanya sejenak untuk menyemangati diri sendiri.

Keysa merutuki dirinya sendiri karena hari ini dia tidak membawa jaket yang selalu dia bawa kemana-mana. Dia lupa, Keysa cemberut sedetik kemudian dia mengubah raut wajahnya menjadi ceria lagi. "Semangat!" ucapnya lirih.

"Gue pulang dulu ya? See you semua!" Keysa berkata dengan sedikit meninggikan suaranya. Sebelum Sherly, Nindhi, dan Rosa membalas ucapannya—dia terlebih dulu berlari untuk menerobos hujan yang lumayan deras. Telapak tangannya sekarang berada di atas kepalanya, kedua matanya menyipit.

Darel yang melihat Keysa baru keluar kelas langsung meraih jaketnya lalu berlari kencang untuk menyusul Keysa, Darel mengangkat jaketnya tinggi-tinggi untuk melindungi kepala Keysa. Hanya satu alasannya, dia tidak ingin cewek yang dia cintai sakit. Berbeda dengan Darel yang tidak mengenakan perlindungan apapun. Jaketnya sudah dia pakai untuk melindungi kepala Keysa dari guyuran hujan. Tidak apa jika dia harus merelakan jaket kesayangannya basah akibat menerobos hujan. Toh, semata-semata dia lakukan hanya untuk melindungi pujaan hatinya saja.

Keysa menghentikan langkahnya saat dia merasa bahwa dia sudah tidak lagi di guyur hujan lagi padahal hujan belum reda. Aroma vanila khas dari Darel langsung menyeruak kedalam hidungnya. Keningnya lantas mengernyit bingung. Tubuh Keysa mendadak menggigil, padahal baru sebentar saja dia hujan-hujanan seperti ini. Keysa mendongakan wajahnya, betapa terkejutnya dia saat melihat wajah tampan Darel yang sedang tersenyum ke arahnya. Apakah Darel sekarang sedang melindunginya?

"Makasih."

"Sama-sama putri macan."

Sedetik kemudian Keysa kembali mengayunkan kakinya untuk segera pulang. 'Putri macan.' Dua kata yang berhasil membuatnya teringat pada masa-masa saat keduanya masih berpacaran, matanya kembali berkaca-kaca. Sungguh dia jadi tidak enak hati kepada Darel karena kemarin ia memakinya habis-habisan. Tetapi kenapa Darel masih saja menolongnya di kala seperti ini, huh? Malu, sungguh malu sekali rasanya.

Darel mensejajarkan langkah kakinya yang lebar dengan langkah kaki Keysa. Sesekali air hujan yang membasahi rambutnya itu menetes.

Berbeda dengan Sherly yang saat ini sedang diam mematung di seberang sana. Pandangannya tidak lepas dari dua insan yang tengah menerobos hujan. Kedua sudut bibirnya terangkat untuk menyembunyikan rasa sakit yang berada di dalam ulu hatinya. Siapa orang yang tidak sakit coba? Jika melihat seseorang yang kalian cintai malah melindungi teman kalian? Apa lagi saudara kalian sendiri?

David berdiri di belakang Sherly yang masih terdiam mematung. David menyampirkan jaket yang berwarna hijau army tepat di kedua bahu milik Sherly. Sherly tiba-tiba terkejut saat merasakan ada jaket yang tiba-tiba membalut tubuh atasnya. Sherly mendongakan kepalanya, terlihat David tengah tersenyum ke arahnya, kedua telapak tangannya dia gunakan untuk memegang kedua bahu milik Sherly.

"Jangan sedih, di sini masih ada gue yang selalu ada buat lo."

Sontak perkataan David berhasil membuatnya menangis karena terharu, dia langsung mengembalikan tubuhnya dan memeluk tubuh kekar milik David dengan erat, menyembunyikan wajah cantiknya di dada bidang milik David.

o0o

Darel baru saja membasuh mukanya dengan air dingin sedang melangkahkan kedua kakinya lebar untuk menuruni anak tangga. Haus. Satu kata yang tengah melanda dirinya. Jujur saja, sehabis tidur sebentar tadi tenggorokannya jadi terasa kering. Sesekali dia mengelus tenggorokannya dengan telapak tangan kirinya.

Gelap. Satu kata yang menggambarkan ruang makan di rumah elit miliknya. Dia segera menyalakan lampu ruang makan, hal tersebut tentu membuat ruang makan yang semula gelap sekarang menjadi terang. Kedua bola matanya menyapu pandang keseluruh ruang makan. Tiba-tiba kedua matanya menangkap apa yang sedang dia cari—yaitu kulkas.

Darel segera kembali melanjutkan langkah kakinya yang tadi sempat tertunda. Ujung kakinya sudah menyentuh pintu kulkas berwarna putih dan di depannya ada sedikit motif bunga berwarna merah. Dia tengah memakai kaos oblong berwarna biru tua dan celana berwarna senada itu tengah diam mematung tepat di depan ambang pintu kulkas.

Mukanya terlihat sangat lesu, tubuhnya agak terasa sedikit ling-lung, baju yang sedang ia gunakan juga terlihat sedikit kusut. Telapak tangan kanannya terulur untuk membuka pintu kulkas yang masih tertutup rapat. Rambutnya acak-acakan karena dia baru saja bangun tidur.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang