•64•

99 16 0
                                    

"Dia? Dia siapa, Key?" Pertanyaan dari Nindhi membuat pipi Keysa menjadi blushing, pipinya kembali memanas, dan tentunya sekarang pipinya sudah terlihat seperti kepiting rebus.

Keysa kembali menunduk, jari-jemarinya saling bertautan. Dia kembali menggigit pipi bagian dalamnya sebelum menjawab pertanyaan Nindhi barusan. "Darel." Cicitnya pelan, dia malu sungguh sangat malu.

Sontak jawaban dari Keysa membuat Nindhi menepuk jidatnya sendiri. Kenapa Keysa dan Sherly menyukai cowok yang sama? Lantas Varo bagaimana?

"Terus Varo gimana, huh?"

Keysa mengendikan bahunya acuh, ia kembali menatap manik milik Nindhi. "Kak Varo sudah gue anggap seperti abang kandung gue sendiri."

Nindhi hanya menghela nafasnya jengah. Menurut Nindhi cinta itu adalah hal yang sangat rumit.

"Selera lo sama kayak Sherly, anjir!"

"Indomie... seleraku."

"Bernada dong!"

Lalu keduanya sama-sama tertawa keras. Tawa mereka memenuhi ruang UKS. Sungguh humor mereka berdua sangat receh. Beberapa detik kemudian pintu kembali berdecit. Kali ini Varo yang datang. Hal itu membuat kedua cewek cantik itu menghentikan tawanya. Tangan kanan Varo dia gunakan untuk menenteng plastik yang berisi makanan. Varo kembali menutup pintu UKS.

Senyum Varo tidak pudar sama sekali. Dahinya seketika mengernyit. Dia kembali melangkahkan kakinya menuju ranjang UKS. Sedangkan Keysa dan Nindhi, mereka hanya tersenyum ke arah Varo saja. "Kok kalian berhenti ketawa?"

Sontak pertanyaan dari Varo membuat Keysa dan Nindhi saling bertukar pandangan, seolah tengah berbicara lewat mata. "Entar kalau ketawa terus jadi kayak orang gila dong, kak." Keysa menyahut seraya tertawa pelan.

Nindhi hanya mengangguk menyetujui ucapan Keysa barusan. Dia beranjak dari duduknya, lalu mengayunkan kakinya menuju sofa yang letaknya tidak jauh dari ranjang UKS.

"Kalian ada-ada aja."

Perkataan Varo barusan membuat tawa Keysa dan Nindhi pecah. Ya, mereka berdua kembali tertawa. Varo meletakan plastik yang berisi sebungkus sandwich di atas meja yang terletak di dekat ranjang UKS. Lalu Varo mengambil satu sandwich. Varo mendudukan pantatnya di tepi ranjang. Tangan kiri Varo menggenggam jari jemari lentik Keysa dan tangan kanannya dia gunakan untuk memegang sandwich yang tadi dia beli di salah satu stand yang berada kantin. "Gue suapin ya?" Tanyanya seraya tersenyum manis.

Kenapa pakai di suapin segala?

Bukannya Keysa tidak sedang sakit?

Keysa menoleh Nindhi yang tengah duduk di sofa. Nindhi hanya tersenyum seraya mengangguk pelan. Keysa menggigit pipi bagian dalamnya lagi.

"Lo diam, berarti lo setuju."

*

Darel saat ini sedang duduk di bangku miliknya yang terletak di belakang paling ujung kelas 11 IPS3, dia tengah melamun. Siku kirinya dia letakan di atas meja, telapak tangannya dia gunakan untuk menumpu pipi kirinya dan telapak kanannya tengah mencoret-coret sketchbook miliknya. Terlihat, selembar sketchbook itu sudah penuh karena ulah Darel. Pandangannya lurus ke depan, dia menatap depan dengan tatapan kosong. Saat pelajaran olah raga sebelumnya dia sangat bersemangat, tetapi entah kenapa saat pelajaran terakhir dia tidak bersemangat sama sekali. Beruntungnya guru yang tengah mengajar di kelasnya tidak memperhatikan Darel sama sekali.

Darel ingat betul saat di taman belakang sekolah tadi. Di mana dia memarahi Keysa dan memutuskan Keysa begitu saja. Darel merasa sangat menyesal. Seharusnya Darel tidak bertindak gegabah seperti itu dan seharusnya Darel juga harus jujur kepada Keysa, bahwa dia sudah di jodohkan dengan Sherly.

Darel kembali merutuki dirinya sendiri. Tadi Keysa sempat pingsan saat Varo ingin membogem wajah Darel. Lantas keadaan Keysa sekarang bagaimana? Apakah sudah sadar atau masih pingsan, huh? Jujur saja, Darel benar-benar sangat khawatir dengan keadaan Keysa.

Pikirannya kembali berkelana. Dia jadi teringat dengan percakapan Sherly dan Rosa tadi di toilet, insiden kecil yang terjadi di kantin itu adalah rencana licik yang di buat oleh Sherly dengan Rosa. Di mana Sherly dan Rosa tadi telah membohonginya, seolah-olah membuat Keysa terlihat pelaku yang bersalah.

Darel kira yang salah itu Keysa, ternyata dugaannya mengenai Keysa benar-benar salah. Dia tersenyum getir saat teringat dimana dia membela Sherly secara terang-terangan saat di kantin tadi. Bahkan dia pun sempat menyakiti Keysa. Darel kembali menguatkan hatinya, bahwa mulai sekarang dia tidak boleh lagi mempercayai Sherly—yang menurutnya layak diberi gelar drama queen.

Bodoh. Maki Darel kepada dirinya sendiri di dalam hati.

Sedangkan di samping Darel. Terlihat Daffa sedang menyalin materi yang tadi sempat di tulis oleh guru mapel yang tengah mengajar. Dia tampak sangat fokus dengan kegiatannya saat ini. Tidak lama kemudian terdengar suara penghapus yang jatuh ke lantai. Hal itu berhasil membuat Darel dan Daffa terperanjat karena kaget. Darel sudah tersadar akan lamunannya tadi. Dia meletakan pensilnya tepat di atas sketchbooknya. Kedua telapak tangannya terangkat untuk memijit-mijit pelipisnya yang terasa sedikit pusing.

Daffa menolehkan wajahnya ke arah Darel yang sedari tadi diam saja. Kenapa Darel sekarang lebih banyak diamnya, huh? Daffa menyenggol lengan Darel dan berhasil membuat sang empu mau tidak mau harus menoleh ke arah Daffa yang tengah duduk santai di bangku tepat di sampingnya.

Darel menatap Daffa dengan tatapan bertanya-tanya. Seolah Darel tengah mengatakan 'Apa?'

"Lo kenapa, huh?" Daffa bertanya dengan setengah berbisik. Lalu dia kembali melanjutkan kegiatan menulisnya yang tadi sempat tertunda. Sesekali dia senyum-senyum sendiri saat teringat senyum yang terpatri di wajah cantik milik Nindhi yang nota bene-nya adalah sahabatnya Keysa.

Darel menautkan alis tebalnya-tanda bahwa dia sedang bingung. Jujur saja, Darel sungguh tidak paham dengan apa yang Daffa katakan barusan. Memangnya Darel kenapa? Bukankah Darel tidak apa-apa?

Telapak tangan kanan Darel terangkat untuk menyentuh pipi bagian kanannya yang tadi sempat di bogem Darel. Pipi bagian kanannya sama sekali tidak sakit. Mungkin hanya memar saja, tetapi tidak terluka sama sekali. Dia bersyukur karena lukanya tidak terlihat sedikit parah seperti yang David alami minggu lalu.

"Gue? Kenapa? Emangnya gue kenapa?" Darel bertanya balik dengan suara baritonnya yang terdengar berat.

Daffa kembali menghentikan kegiatannya yang tengah menulis. Dia kembali menolehkan wajahnya ke arah Darel. Dia menghela nafasnya lagi sebelum menjawab pertanyaan yang di lontarkan Darel barusan. "Maksud gue kenapa lo dari tadi diem terus?!"

Darel tidak menghiraukan perkataan Daffa barusan. Dia terdiam sejenak karena masih mencerna apa yang Daffa katakan barusan. Perkataan Daffa itu tidak salah, melainkan sangat benar. Darel akui memang dari tadi dia kebanyakan diamnya. Namun, Darel tidak mengetahui alasannya. Dia kembali memijit pelipisnya yang terasa pening seperti tadi. Dia juga tidak tahu penyebabnya, tetapi dia kembali pusing saat teringat kelakuan Sherly yang menurutnya sudah kelewat batas.

Darel hanya ber-oh ria saja sebelum menjawab pertanyaan yang di lontarkan Daffa tadi. Dia menatap coretan-coretan yang memenuhi lembar sketchbook-nya dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Dia menutup sketchbook-nya dengan kasar. "Kepo!" Sahutnya malas. Setelahnya dia memasukan sketchbook-nya ke dalam laci. Kedua lengannya dia tumpuk, lalu dia meletakan kepalanya di atas kedua lengannya.

Daffa diam tidak bergeming. Namun matanya masih fokus melihat Darel yang sedang tidur membelakanginya. Daffa tidak menjawab perkataan Darel barusan. Dia hanya mengendikan bahunya acuh. Kenapa jawaban Darel sangat terkesan cuek?

Daffa tidak ingin berburuk sangka, dia ingin mencoba memaklumi sahabatnya. Bukankah Darel setiap hari selalu cuek? Mungkin Darel sedang ingin sendiri? Atau mungkin Darel sedang banyak masalah? Daffa kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda tadi. Jujur saja, dia sangat malas menulis, tetapi apa boleh buat?

Guru mapel yang sedang mengajar tidak henti-hentinya berceloteh. Hal itu membuat Darel menggeram marah saat ingin tidur. Pasalnya suara guru itu sangat mengganggunya. Berulang kali dia memejamkan matanya berharap ingin tidur. Tetapi dia tidak kunjung tertidur. Namun, dia masih berusaha keras, mengingat bahwa tidak ada kata menyerah di kamus Darel.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang