•48•

108 18 0
                                    

Nathania mengembangkan senyum, lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, kenapa kedua anaknya sangat tampan? Wajar saja jika hampir semua kaum hawa menyukainya parasnya yang tampan mereka berdua. David tidak kalah tampan dari Darel, tetapi sayang David adalah seorang cowok playboy.

"Darel papah mau bicara sama kamu," ucap Arsenio memecah keheningan.

Sontak Darel menatap wajah Arsenio, dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "Bicara aja pah,"

Arsenio menghela nafasnya lagi. Nathania, Darel, dan David terus menatapnya. Dengan raut wajah yang terlihat penasaran.

"Papah ingin menjodohkan kamu dengan anak sahabatnya papah, tuan Jovanka," Arsenio menjelaskan dengan santai.

Sontak Darel diam mematung, matanya membulat. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, dia tidak mau-sungguh sangat tidak mau. Di jodohkan? Wtf? Jovanka? Nama itu... sudah tidak asing lagi baginya.

"Kenapa harus aku pah? Kenapa bukan David saja?" Darel bertanya berapi-api, telapak tangannya sudah mengepal.

Arsenio kembali menoleh kearah Darel. "Karena Sherly Zenaide Jovanka maunya sama kamu, Darel!"

Shit! Umpatnya dalam hati.

Darel sudah muak mendengar nama Sherly. Kenapa Sherly begitu ingin memilikinya? Apakah Sherly sudah gila? Sudah berapa kali Darel bilang bahwa dia tidak menyukai Sherly, huh? Dasar cewek gila! Darel sudah menduga jika Sherly terobsesi terhadapnya.

Darel sudah tahu, pasti yang merencanakan perjodohan ini adalah Sherly. Darel beranjak dari duduknya. Dia berdiri seraya melihat satu persatu ke tiga orang yang sedang duduk mematung. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Darel langsung pergi meninggalkan ke tiga orang yang sedang duduk.

"Darel! Mau kemana kamu? Kalau tidak mau, kamu boleh angkat kaki saja dari rumah ini!" Arsenio berteriak marah.

Darel masih mendengar perkataan Arsenio, tetapi dia memilih diam saja. Dia muak, benar-benar sangat muak. Menurut Darel, hari senin ini adalah hari tersial baginya.

"Darel! Jangan pergi nak!" Teriak Nathania, sedetik kemudian air matanya jatuh dari pelupuk matanya.

Sedangkan, David dia hanya diam mematung. Menatap meja makan dengan tatapan kosong. Kenapa bukan dia saja yang di jodohkan oleh Sherly?

*

Darel yang saat ini tengah mengenakan jaket denim yang berwarna bioblitz dan dipadukan dengan celana jeansberwarna hitam. Dia tengah mengendarai motor ninjanya dengan kecepatan diatas rata-rata. Saat ini jalanan sudah terlihat sepi karena hari sudah gelap gulita. Darel tidak takut akan gelap, dia suka karena tidak ada yang mengganggunya seperti ini.

Mata Darel menyipit saat melihat sebuah café yang terletak di strategis, tepatnya dipinggir jalan raya. Café itu tidak besar dan tidak kecil-ukurannya sedang. Seperti biasa café itu selalu ramai pengunjung dan tidak pernah sepi.

Darel tersenyum tipis dibalik helm full facenya, dia melajukan kembali motor ninjanya menuju parkiran café. Darel melepas helm full face-nya dengan kasar lalu ia turun dari motornya itu. Kepalanya sungguh sangat pusing, rasanya kepalanya seperti ingin pecah.

Darel menyapu pandang ke seluruh penjuru café. 'Ramai.' Satu kata itulah yang tiba-tiba terlintas dibenaknya. Jujur saja, Darel belum pernah mengunjungi café ini sebelumnya. Tapi malam ini dia ingin mengunjungi café D'A.

Penikmat kopi racikan istimewa dari baristi muda yang cantik dan menawan duduk bersama teman-teman mereka seraya bercengkrama. Para cewek serta para cowok pencinta makanan lembut nan manis pun saling bertukar gosip dan saling melempar gurauan. Sungguh café D'A sangat ramai.

Darel memasukan kedua telapak tangannya kedalam kantung celananya. Dia melangkahkan kakinya lebar untuk memasuki café, auranya begitu dingin. Ah, ralat—tepatnya sangat dingin. Setiap ada pengunjung cewek yang menyapanya dia hanya diam dan tidak tersenyum sedikitpun. Dia tidak tahu yang menjadi baristi cantik itu siapa dan dia tidak mau melihat baristi cantik itu sedikitpun. Toh, menurutnya Keysa—pacarnya lebih cantik dari siapapun.

Kalau dia di jodohkan? Bagaimana dengan pacarnya, huh? Tidak mungkin kan kalau Darel meninggalkan Keysa?

Darel melangkahkan kakinya lebar menuju kursi yang terletak didekat jendela, dia segera duduk kursi itu, tidak lama kemudian waitress datang sambil membawa buku menu.

"Selamat datang di café D'A." ucap waitress ramah seraya tersenyum. Waitress itu menyodorkan buku menu. "Mau pesan apa mas?"

Darel menerima buku menu itu lalu di bolak-balik, Darel berdeham pelan sebelum menjawab pertanyaan dari waitress wanita itu. "Saya pesan cappuccino aja mbak,"

Waitress itu langsung mencatat pesanan Darel. "Oke, tunggu sebentar ya mas?" Pinta waitress tersebut sebelum memutar tubuh dan mulai berjalan menjauhi Darel.

Darel hanya menganggukan kepalanya. Darel mimijit pelipisnya dengan ke dua telapak tangannya. Jujur saja, dia sangat pusing memikirkan perjodohan konyol itu. Kenapa Sherly begitu menyebalkan? Manja? Iya. Cengeng? Iya. Tukang ngadu? Iya. Licik? Iya. Sungguh Darel sangat tidak menyukai Sherly. Baginya Sherly itu parasit yang selalu menganggunya. Sangat berbeda dengan Keysa. Keysa itu orangnya memang galak, namun aslinya baik. Keysa itu cuek tetapi dia sebenarnya perhatian. Keysa itu juga cantik. Sungguh Darel sangat menyukai Keysa.

Keysa menarik ke dua sudut bibirnya membentuk lengkungan yang manis saat melihat café D'A milik mommynya itu sangat ramai. Pengunjung bertambah tiga kali lipat. Samar-samar Keysa mendengar nama idol Korea yang berparas tampan yang diucapkan oleh beberapa pengunjung cewek. Keysa mengernyitkan dahinya, tanda ia sedang bingung. Mendengar nama idol Korea, Keysa menjadi teringat Darel.

Darel sedang apa ya? Tanya Keysa dalam hati.

Keysa mengedarkan pandangannya kembali. Tiba-tiba ke dua bola matanya menangkap seseorang yang mencuri perhatiannya. Cowok itu sedang menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mata Keysa lantas membuat. Cowok itu seperti.. tidak asing lagi baginya. Kalau Keysa lihat cowok itu sedang banyak masalah.

"Mbak waitress!" Panggil Keysa seraya mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi.

Waitress wanita itu berhenti melangkahkan kakinya, dia menoleh kearah Keysa. "Iya mbak?"

Keysa tersenyum lalu tangan kanannya terangkat untuk menunjuk Darel yang masih sedang memijit pelipisnya. "Dia yang pesan cappuccino ya, mbak?"

Waitress wanita itu tersenyum, sedetik kemudian dia mengangguk. "Iya mbak, kenapa ya mbak?"

Keysa berdeham pelan lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya, "Nggak kenapa-kenapa kok, mbak. Biar saya aja yang nganterin pesanannya dia ya mbak."

Waitress itu hanya ber-oh ria. "Oh, ya sudah kalau begitu... saya pamit dulu ya mbak... mau lanjut kerja,"

Keysa mengangkat ke dua jempolnya tinggi-tinggi. "Semangat mbak!"

Waitress itu hanya mengangguk seraya tersenyum, sedetik kemudian dia melangkahkan kakinya pergi menjauhi Keysa.

Keysa menarik nafasnya dalam-dalam lalu dia buang dengan perlahan sebelum menghampiri cowok yang tengah duduk seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Keysa melangkahkan kakinya pelan. Ke dua tangannya membawa nampan yang berwarna hitam polos—diatasnya terdapat secangkir coffee cappuccino.

"Ini pesannya mas," ucap Keysa lembut, lalu dia meletakan secangkir coffee itu di meja—tepatnya dihadapan cowok yang belum dia sadari. Keysa memutar tubuhnya—untuk kembali bekerja.

Darel menurunkan kedua tangannya yang menutupi wajahnya. Saat Keysa hendak mengayunkan kakinya kembali, tiba-tiba cowok itu mencekal pergelangan tangan kirinya, membuat Keysa berhenti melangkah. "Tunggu!" seru Darel dengan suara baritonnya yang terdengar berat.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang