•32•

135 23 1
                                    

"Anu, den... den David tadi dipukulin cowok,"

Darel terdiam setelahnya, dia tidak bergeming sama sekali. Dia masih berusaha mencerna apa yang barusan dikatakan oleh pak satpam.

Dipukulin cowok? Bagaimana bisa David dipukulin cowok? Bukannya David baru tinggal disini sebentar?

Darel kembali menatap pak satpam dengan raut wajah yang bertanya-tanya. "Kok bisa sih, pak?"

"Tidak tahu den, bapak kira cowok itu adalah temennya aden... Eh, ternyata bukan," jawab pak satpam jujur.

"Sekarang David dimana, pak?"

"Dibawah, den... di ruang tamu." jawabnya seraya menunjuk lantai bawah dengan jari telunjuknya.

Darel tersenyum tipis kearah pak satpam lalu Darel mengangguk tanda dia mengerti. Darel berjalan menuruni anak tangga dengan santai, kedua telapak tangannya dia masukan kedalam kantong celana kolor berwarna hitam pekat miliknya.

Kedua mata Darel seketika menyipit, matanya tertuju pada cowok tampan yang tengah memakai kaos oblong berwarna putih—dia tengah melepaskan masker hitam yang berhasil menutupi sebagian wajahnya.

'Aneh.' Adalah satu kata yang tiba-tiba muncul dibenak Darel. Dia sangat heran. Kenapa kembarannya harus pakai masker segala? padahal dia tidak akan pergi kemana-mana. Darel menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, dia tidak habis pikir lagi dengan kembarannya.

Darel mempercepat langkahnya kakinya kearah David yang sedang duduk di sofa berwarna dark grey seraya memegang pipinya yang berwarna biru karena lebam dan juga berdarah. Darel segera duduk disamping David, mata Darel tidak lepas dari wajah David.

David yang telah sadar bahwa dari tadi dilihatin oleh Darel—sontak dia langsung menolehkan wajahnya kesamping, dahinya berkerut. "Kenapa lo lihatin gue terus, huh?"

Darel memutar bola matanya dengan malas, dia memalingkan mukanya kesamping—dia sungguh sangat malas meladeni David.

Sedetik kemudian David menyengir kuda. "Oh, gue tau, pasti lo khawatir sama gue kan? Kan?" David bertanya seraya menaik-turunkan kedua alisnya.

Darel tidak suka dengan tingkah laku David yang mempunyai kepercayaan diri yang sangat tinggi. Menurut Darel—kepercayaan diri David sudah tingkat dewa. Tangan Darel seketika mengepal, lalu dia melayangkan pukulannya pelan tepat di pipi David yang sudah lebam dan terlihat sangat mengenaskan.

Sontak David langsung meringis kesakitan. "Aw— njing!" umpatnya, kesal. David merutuki pipinya sendiri yang sedang tidak bisa diajak kompromi. David menatap Darel tajam, lalu dia membalas perbuatan Darel dengan memukul pipi Darel menggunakan tenaga lebih.

Darel tidak marah sama sekali, dia malah tertawa terbahak-bahak saat melihat kembarannya yang tengah marah kepadanya, karena ulahnya itu. Ya, Darel sangat puas. "Makanya, jadi orang itu nggak usah percaya diri banget!"

David tidak bergeming sama sekali. Dia mengabaikan perkataannya Darel barusan. David meringis kesakitan lagi, jari jemarinya terangkat untuk menyentuh kembali pipinya yang terasa sangat sakit dan perih. Sesekali dia memejamkan matanya karena rasa sakit dan perih itu.

Tawa Darel seketika berhenti, dia kembali menoleh kearah kembarannya. Entah kenapa, tiba-tiba Darel juga merasakan rasa sakit. Entah karena ikatan persaudaraan, maybe?

Darel beranjak dari duduknya, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia segera berjalan ke kamarnya untuk mengambil sesuatu.

David menatap sendu kearah Darel—kembarannya itu yang kian menghilang. "Dasar kembaran laknat! Udah tahu gue lagi sakit begini, malah ditinggalin sendiri," David menggerutu kesal.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang