•65•

97 16 0
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi nyaring dua menit yang lalu membuat murid-murid sudah pergi meninggalkan kelas mereka. Tak ayal bahwa kelas 11 IPS3 terlihat sudah sepi, hanya segelintir orang saja yang masih berada di dalam kelas.

Tetapi tidak ada tanda-tanda Darel beranjak dari duduknya, dia masih tidur telungkup seperti tadi. Jika Darel biasanya sepulang sekolah langsung bergegas menuju perpustakaan, tetapi sekarang dia tidak mood untuk ke sana. Sungguh Darel sangat lelah menghadapi Arsenio—papahnya yang selalu mengekangnya. Dia tidak bahagia dengan permintaan orang tuanya beberapa waktu yang lalu.

Satu detik, dua detik, dan tiga detik sudah berlalu. Mata Darel yang sejak tadi terpejam pun sudah terbuka kembali. Dia menyipitkan matanya saat melihat cahaya matahari yang berhasil menyilaukan bola matanya. Jujur saja, Darel sedari tadi memang tidak tidur. Dia tidak bisa tertidur, meski sudah memejamkan mata berulang kali. Alhasil dia hanya bisa memejamkan mata saja. Darel mengangkat kepalanya. Menatap bangku-bangku yang sudah kosong dengan malas. Darel rasanya ingin pergi saja dari rumah dari pada menerima perjodohan konyol yang telah direncanakan oleh Sherly.

Telapak tangan kanan Darel terulur untuk mengambil sketchbook yang tadi dia letakan di laci dan memasukannya ke dalam tas ransel miliknya yang masih terbuka. Tadi saat bel berbunyi, Daffa menawarkan pulang bersama. Tetapi Darel menolaknya secara halus. Mengingat bahwa saat ini dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun—meski orang itu terdekatnya sekalipun. Dia butuh waktu untuk sendiri—merenungkan kesalahan apa tadi yang sudah dia perbuat.

Darel ingin bertemu Keysa. Dia masih khawatir dengan keadaan Keysa. Rasa rindunya kembali memuncak. Apakah tidak apa jika Darel menemui Keysa lagi? Mengingat bahwa Keysa saat ini sudah berstatus menjadi mantan pacarnya dan bukan lagi kekasihnya.

Darel meraih tas ranselnya yang berwarna cokelat tua, dia memakainya di bahu kanannya. Jangan lupakan bahwa penampilan Darel sekarang ini terlihat lebih tampan berkali-kali lipat. Bagaimana tidak? Rambut yang acak-acakkan, baju seragam yang sedikit lusuh, baju tidak di masukan, dan tiga kancing atas yang terbuka menambah kesan sexy tersendiri bagi kaum hawa yang melihatnya.

Darel mulai melangkahkan kakinya lebar. Suara derap langkah kaki memenuhi ruang kelas 11 IPS3. Pintu kelas tidak tertutup, melainkan pintunya terbuka. Jadi Darel tidak perlu repot-repot untuk menarik knop pintu segala. Darel berharap Keysa belum pulang. Dia ingin berbicara dua mata saja dengan Keysa. Tepatnya dia ingin menjelaskan perjodahan yang sudah direncanakan oleh Sherly kemarin lalu.

Darel mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Terlihat beberapa murid masih berlalu lalang kesana-kemari. Banyak juga yang menyapa Darel, tetapi Darel hanya diam saja tanpa berniat menanggapi. Darel menatap semua yang menyapanya dengan tatapan yang terlihat begitu mengintimindasi. Entah anugerah atau bencana saat Darel dikaruniai paras begitu tampan. Alhasil, kaum hawa menjadi terpikat dengan pesona Darel. Tidak terkecuali Sherly, Darel menduga bahwa Sherly hanya terobsesi saja dengannya.

Saat berada di koridor kelas 11 IPA dan 11 IPS berseberangan Darel menghentikan langkahnya. Dia diam mematung saat melihat dua cewek cantik yang sangat dia kenal. Sherly duduk di lantai seraya meringit kesakitan. Tangan kanannya terulur untuk memegang kaki kanannya. Sedangkan Keysa dia tengah berdiri seraya menatap Sherly dengan tatapan iba. Keysa mengulurkan tangan kanannya, berharap Sherly mau di bantunya.

Darel kembali melangkahkan kakinya lebar. Berniat untuk menghampiri dua cewek cantik itu.

Sherly mendongak menatap wajah Keysa dengan tatapan mengintimindasi. Jujur saja, Sherly sangat membenci Keysa. Sherly mengertakan giginya kesal lalu dia menghempas kasar tangan kanan Keysa yang terulur untuk membantunya berdiri. "Gue nggak butuh bantuan lo!" Tuturnya dengan setengah berbisik. Beruntunglah karena Darel tidak mendengar perkataan Sherly barusan.

Keysa berdecih pelan, kenapa tadi dia ingin membantu Sherly yang terjatuh karena tersandung tali sepatunya sendiri? Tidak seharusnya Keysa tadi mempunyai niatan untuk membantu Sherly.

"Lo kenapa, huh?" Darel bertanya to the point seraya menatap Sherly dengan tatapan yang terlihat bertanya-tanya. Alis tebalnya saling bertautan. Kedua telapak tangannya dia masukan ke dalam kantung celananya.

Sherly tersenyum penuh arti saat mendengar suara bariton yang terdengar berat dan sexy... suara itu milik Darel—pacarnya. Sherly masih menunduk seperti tadi, detik berikutnya dia mendongak—menatap wajah tampan milik Darel. Sherly memasang wajah terluka. "Babe, dia tadi dorong aku." Sherly mengadu kepada Darel. Jari telunjuknya dia arahkan ke arah Keysa yang masih terdiam mematung di depannya, tepatnya di samping Darel.

Sontak Keysa terperanjat kaget saat di tuduh yang tidak-tidak, bukannya tadi Keysa melihat bahwa Sherly jatuh sendiri karena tersandung tali sepatunya sendiri.

"Huh? Gue? Bukannya lo tadi jatuh sendiri ya?" Keysa bertanya dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Keysa tidak marah, tetapi dia tidak suka jika di tuduh seperti barusan.

Sherly melirik Keysa sekilas, dia tidak menghiraukan pertanyaan yang di lontarkan dari mulut Keysa tadi.

Darel hanya memutar bola matanya malas. Tentu saja dia percaya dengan apa yang Keysa katakan. Dia sudah tahu jika Sherly kembali mencoba membohonginya. Darel menaikan alis kirinya. "Terus?" Tanyanya kembali.

Darel menanggapinya cuek, hal tersebut berhasil membuat Sherly mengerucutkan bibirnya lucu. Kenapa Darel tidak memarahi Keysa lagi seperti di kantin tadi, huh? Apakah aktingnya yang dia lakukan kali ini jelek? Atau Darel sudah mengetahui jika dia telah mencoba membohonginya lagi, huh?

"Babe, kok jawabannya gitu sih?" Sherly berprotes dengan nada yang terdengar menjijikan bagi Darel dan Keysa.

Keysa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Dia benar-benar sangat cemburu. Dia berdoa dalam hati supaya air matanya tidak jatuh lagi. Keysa menunduk seraya mengayunkan kakinya untuk pergi meninggalkan dua orang yang berhasil menyakiti relung hatinya.

Darel tidak niatan untuk membantu Sherly berdiri. Dia segera berlari untuk menyusul Keysa yang sudah sampai di koridor.

"BABE, JANGAN TINGGALIN AKU SENDIRI!" Sherly berteriak yang terdengar nyaring di telinga Darel. Sayangnya Darel tidak menghiraukan perkataan Sherly tadi.

Saat Keysa hendak ingin mengayunkan kakinya kembali, tiba-tiba Darel mencekal pergelangan tangan kanan Keysa, sontak Keysa langsung terperanjat karena kaget. Hal itu berhasil membuat langkah Keysa terhenti.

Darel langsung segera menarik pergelangan tangan milik milik Keysa dan akhirnya Keysa terjatuh dipelukannya. Keysa diam mematung di tempatnya. Wajahnya sekarang sudah berada tepat di depan dada bidang milik Darel. Aroma vanila yang dia rindukan langsung menyeruak ke dalam hidung Keysa. Keysa tersenyum getir. Setelahnya dia meronta-ronta, tentu saja dia tidak mau di peluk oleh Darel lagi. Bukannya melepaskan, tetapi Darel malah semakin mengeratkan pelukannya, dagunya dia taruh di atas rambut milik Keysa, sesekali matanya mengerjap. "Maafin gue, Key. Gue bisa jelasin semuanya,"

"Lepasin! Makasih, tapi gue udah nggak butuh penjelasan dari lo lagi!" Air mata yang sedari tadi dia bendung akhirnya jatuh juga ke pipinya. Keysa terisak pelan.

Darel sedih saat mendengar jawaban dari Keysa barusan. Perlahan tapi pasti, Darel melepaskan pelukannya. Kedua telapak tangannya terangkat untuk menangkup kedua pipi Keysa yang sedikit chubby. "Gue di jodohin, Key."

Perkataan yang di ucapkan Darel barusan membuat Keysa semakin menangis sejadi-jadinya. Keysa menghempaskan dengan kasar kedua lengan kekar milik Darel. Lalu dia segera berlari menjauh dari Darel. Rasa marah, kecewa, dan sedih yang Keysa rasakan sekarang bercampur menjadi satu. Memang benar adanya, jika kisah cintanya tidak seindah drama Korea yang sering dia tonton.

Sedangkan Darel dia ikut menitihkan air matanya. Jujur saja, Darel tidak kuat saat melihat Keysa menangis seperti saat ini. Bola matanya tidak lepas dari punggung Keysa yang kian menghilang, Darel menatap nanar. Darel mengembalikan badannya ke samping, menatap tembok dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Tidak terasa bahwa tangan kanannya sudah mengepal. "Arghhh!" Darel berteriak kesal seraya menonjok keras dinding yang berada di koridor itu. Dia hanya berusaha untuk meluapkan amarahnya yang sudah mencapai ubun-ubunnya. Biarlah, jika telapak tangannya terluka. Toh, dia tidak perduli dengan kondisinya saat ini.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang