Kamu bukan Ayahku!

1K 33 0
                                    

Ditatapnya wajah Azka sebentar saja sekitar seper-enam menit saja. Selanjutnya gelagak tawanya mulai terdengar. Herannya dia sama sekali tidak menyadari kalau cowok yang super mirip dengan Angkasa itu bukan Angkasa. Melainkan duplikatnya.

"Angkasa yah. Tapi gue lebih suka atlantis, deh"

"Kalau Antariksa?" Azka mulai hanyut dengan topik yang Aileen buat.

"Kalau orangnya kayak lo, bisa dipertimbangkan lagi sih," kedua mata Aileen dinaikkan menyerong ke kiri. Kata orang kan kalau mata kita melihat ke arah kiri, artinya kita sedang berimajinasi. Bisa kalian tebak sendiri apa yang sedang Aileen pikirkan sampai berimajinasi.

Kaki Azka berhenti. Menatap ke lengannya mencari waktu yang selalu hilang begitu saja. Setelah itu ia menatap langit yang cahayanya mulai dimakan kelam.

"Udah malem. Pulang gih," perintah Azka pada Aileen. Mata Aileen terkesiap sekejap.

"Sejak kapan lo jadi perdulian gini?"

"Ya udah nggak jadi. Nggak usah pulang!" imbuhnya lagi sebelum kembali berjalan.

"Jangan nyuruh-nyuruh doang dong," ucap Aileen memberikan kode yang mungkin saja tidak pernah dijamah oleh Azka. Bisa terlihat dari wajahnya yang nampak bingung.

Mulutnya menganga kira-kira berdiameter satu sentimeter. Tangan kirinya memegangi kening kirinya. Alis sebelahnya terangkat ke atas.

"Nggak ngerti gue. Lo ngomong apaan sih?" sudah Aileen duga itu jawabannya.

"Anterin pulang dong," ucapnya to the point.

"Heran gue sama cewek. Suka nggak liat keadaan. Lo liat gue nggak bawa motor?" tanya Azka setengah ngegas.

Wajah Aileen tertunduk. Kakinya diketuk-ketukkan kecil ke aspal. Ini adalah trik merayu cowok ala Aileen. Yah siapa lagi yang ngajarin kalau bukan Peter orangnya.

Suara nafas berat terdengar melalui telinga Aileen. Dengan berat hati Azka mengangguk. Tanpa menggandeng Aileen, ia menemani Aileen sampai depan rumahnya.

"Lo masih suka sama Azzura?" tanya Aileen setengah ragu.

"Menurut lo?"

"Kalau masih, sisain dikit yah buat gue. Gue masih suka kok sama lo," setengah tersenyum, Aileen masuk ke rumahnya malu-malu.

Azka kembali lagi pada jalannya yang tak tahu mau kemana. Sambil kembali mengingat sifat Aileen yang sedikit lucu. Harusnya Angkasa beruntung.

Yang paling Azka herankan, mengapa orang-orang suka sama Angkasa? Mengapa bukan dia? Bukankah mereka mirip sejadi-jadinya? Bahkan mungkin sifat Angkasa yang terlalu mengekang peraturan sedikit lebih menjengkelkan dari Azka.

Saking bersaingnya Azka dengan Angkasa, anak itu sampai tidak menyimpan kontak nomor Angkasa sekalipun. Seperti halnya Angkasa yang di HP-nya hanya ada kontak Arsen dan Azzura. Sudah itu saja. Azka kemaren mengintip ponselnya sebentar.

Kini rasa benci itu semakin mengakar sejadi-jadinya. Membentuk tunas-tunas kebencian baru pada Angkasa. Kalau saja Azka tau dimana kakaknya sekarang. Sudah pasti dia akan lari kesana kemanapun jauhnya.

#Flashback

Azka masuk ke kamar William tanpa mengetuk pintu. Bahkan sudah dari jauh Azka bisa menilai, laki-laki itu hanya berusaha membohongi semua orang.

"Sakit boongan kan?" tanya Azka menebak. Menatap ayahnya yang sedang berbaring. Berusaha meyakinkan anaknya bahwa ia sedang sakit. Hanya saja gagal total. "Buat apaan sih? Ada gunanya?"

"Kenapa kamu yang datang?"

"Oh, nyari Angkasa. Dia lagi main sama pacarnya tuh," ujar Azka memanas-manaskan suasana.

Bola mata William memutar malas. Ia menjauhkan selimutnya dari tubuhnya lalu berdiri.

"Kemana rasa dingin yang kau ciptakan sendiri? Sudah memanas karena aku membuatmu marah?" sindir Azka dengan sangat enteng.

"Papah ngelakuin ini bukan buat kamu, Ka," ujar William menjelaskan.

"Nggak usah dijelasin. Udah ngerti kok."

Ditepuknya pundak William dengan sangat pelan oleh Azka. Meskipun dia sedikit kecewa, tapi mungkin tak sekecewa Angkasa saat orang itu tau Ayahnya hanya berusaha membohonginya.

"Kamu nggak bisa bantuin papah buat njauhin Azzura dari Angkasa?"

"Tau darimana nama Azzura?" tanya Azka dengan wajah yang penuh pertanyaan. Matanya sedikit menyipit.

Langkah kaki Azka kini diputar seratus delapan puluh derajat. Niatnya yang hendak keluar dari kamar itu untuk menghindari masalah justru kakinyalah yang menariknya masuk.

"Papah nggak suka sama dia," jawab William enteng

"Boleh sih, tapi Angkasa suka. Papah nggak bisa maksa," tegas Azka.

Entah apa yang membuat Azka lebih memilih membela Angkasa ketimbang membiarkan laki-laki itu jauh dari Azzura.

"Tau apa kamu tentang cinta?"

Sorot mata Azka berubah menjadi lebih meremehkan William. Tangan kirinya diletakkan di pinggang dengan angkuhnya.

"Nggak tau sih, tapi nggak bodoh juga. Bisa liat mana yang cinta, mana yang nggak," jawabnya sedikit menyindir.

"Kamu perduli sama Angkasa? Angkasa bahkan nggak pernah perduli sama kamu," tidak kehabisan kata-kata, William masih berusaha menghasut Azka agar jauh dari Angkasa atau memilih untuk menjauhkan Angkasa dari Azzura.

"Ya setidaknya aku nggak perduli sama piala-piala yang terpajang di ruang tamu itu kan," sudut bibir Azka terangkat sebelah. "Yang cuma buat pamer kan?" lanjutnya lagi.

"Asal kamu tau ya. Keluarga ini nggak pernah ngeluarin sepeserpun uang untuk pengobatan kamu. Nggak ada yang perduli sama kamu, Ka. Jadi nggak usah sok perduli," ucapnya dengan sarkasme. "Jauhin Angkasa dari Azzura atau kamu jauhin keluarga ini. Papah ngerasa kamu cuma buat sial."

Amarah di wajah Azka mulai tercetak dengan sangat jelas. Urat-urat di wajahnya mulai terlihat. Pipinya memerah dengan tangan yang sudah dikepalkan dan siap untuk meluncur.

"Mana buktinya kalau Angkasa nggak pernah ngirim uang buat operasi Azka?"

William mengeluarkan tabungannya menunjukkan tidak ada uang yang keluar dengan jumlah yang banyak. Ataupun untuk transfer ke luar negeri.

"Uang nyarinya susah, Ka. Kalau cuma buat berobat kamu, Angkasa bisa rugi."

Kepalan Azka segera diluncurkan setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Tapi Azka masih punya hati. Dia hanya memukul tembok. Menambah rasa sakit atau berusaha meredam rasa sakit di hatinya agar tidak mendominan.

"Papah nggak mau tanya kenapa Azka datang ke sini?" William menggeleng. "Angkasa ngasih tau Azka kalau papah  sakit. Azka salah kalau perduli sama papah," senyum mirisnya tercetak di wajahnya. "Eh sorry. Mr. William bahkan tidak pernah menganggap saya anak. Mengapa saya memanggil Anda ayah?"

Azka keluar dari ruangan itu dengan perasaan kacau. Benar-benar berjanji ketika Angkasa pulang nanti, Azka akan berpamitan dengan kembarannya itu. Tapi tidak dengan cara yang biasa.

*****

"Dingin aku kalau ngomong sama benua antartika," ucap Azzura lewat teleponnya.

"Yakin dingin? Buktinya hati kamu bisa cair"

*****

Mau tau sama siapa Azzura telepon? Nantikan part selanjutnya ya:)

Thanks sekali buat para pembaca
Tekan vote buat next.
Maaf kemaren telat karena authornya lagi sakit:"(
See you next part ya:)
Makasih yang sudah apresiasi sama ceritanya. Yang udah nunggu updatennya:)
Love you all:)

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang