"Kenapa kamu jadi sering telat, Sa", omel ibu Mariska dengan penuh tetuah. Apa yang dia ucapkan akan diucapkan lagi berulang kali. Parahnya lagi, hukumannya tidak tanggung-tanggung. Lari lapangan sepuluh kali, push-up dua puluh kali. Membersihkan taman belakang ditambah dengan toilet dekat ruang guru. Tripple kill.
Angkasa tidak berkomentar. Dia hanya tersenyum dan menunjukkan lesung pipitnya. Membuat siapapun yang melihatnya langsung meleleh, termasuk Ibu Mariska.
"Saya habis potong rambut", Angkasa memegang rambutnya dan menyisirnya ke belakang dengan jari-jarinya. Menunjukkan setelan rambut barunya yang berwarna pirang dengan model slick back. "Bagus kan?", sambungnya.
Azzura duduk di tepi pos satpam. Menunggu Angkasa selesai di introgasi dan mereka akan dibiarkan masuk secara cuma-cuma.
"Bagus. Tambah cuaakeepp. Ya udah, masuk aja. Pelajarannya udah dimulai", ucap Bu Mariska berbesar hati.
Melihat kode dari Angkasa, Azzura bangkit dari posisi nyamannya dan jalan mengikuti Angkasa di belakangnya.
"Eh eh eh, ini apa lagi? Kamu kenapa ikut masuk?", ibu Mariska menghentikkan Azzura dengan tatapan sinis. Berbeda dengan tatapan beberapa detik yang lalu ketika bicara dengan Angkasa. Azzura nyengir. Meskipun dia senyum semanis Angkasa pun Bu Mariska tidak akan membiarkannya masuk secara cuma-cuma.
"Saya ada urusan sama dia, pinjem dulu yah, Bu", ibu Mariska diam sejenak. Mempertimbangkan apa-apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Sampai pada akhirnya, beliau mengangguk mantap saat melihat senyum Angkasa makin melebar.
Angkasa menarik lengan Azzura dengan antusias. Melewati lorong-lorong sekolah dan berhenti di depan kelasnya yang sudah tertutup rapat. Angkasa mendekatkan wajahnya di dekat jendela. Sudah ada guru paling killer di dalam sana.
"Nggak usah masuk. Nanti kena hukuman", Angkasa mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kelas.
Angkasa melepas jaketnya dan dimasukannya ke dalam tas lalu kembali berjalan ke ruang musik yang menjadi basecamp-nya beberapa hari ini. Diikuti dengan Azzura yang terima-terima saja mengikuti kemauan Angkasa yang jelas-jelas salah.
"Lo kan bodo matematika. Ngapain kabur-kaburan terus sih?", Angkasa mengedikkan bahunya acuh. Meletakkan tasnya di sofa dan berjalan menuju gitar yang ada di pojok ruangan.
"Gue mau sih, belajar matematika--", Angkasa menarik nafasnya dalam-dalam di sela-sela kalimatnya. "Tapi, kalau lo mau ajarin gue", sambungnya sambil memangku gitar berwarna coklat yang baru saja dibeli beberapa hari yang lalu.
"Ga melulu sama Kak Elang terus", sambungnya dengan nada ketus secara tiba-tiba.
"Cemburu?", Azzura menahan tawanya sementara.
"Dikit", jawab Angkasa sedikit berbohong.
Azzura ikut meletakkan tasnya di atas sofa. Berjalan mendekat ke Angkasa dan mengambil sepasang stick di atas drum itu sendiri.
"Memang bisa mainnya?", Angkasa memasang wajah tak percaya bahwa cewek ini bisa memainkan drum. Kalaupun bisa paling hanya pukul-pukul tanpa ada nadanya.
"Kalau nggak bisa kan ada masternya disini", tutur Azzura dengan percaya diri.
Angkasa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat teleponnya ikut berdering. Menjauh beberapa centimeter dari tempat asalnya. Berbicara banyak hal lewat telepon lalu kembali lagi dengan wajah gugup.
Angkasa tidak kembali ke tempatnya berdiri semula, melainkan mengambil tas di sofa dan berjalan keluar tanpa menjelaskan apapun.
Azzura menatap punggung Angkasa dengan bingung. Azzura berjalan keluar mengikuti Angkasa dengan sedikit berlari. Lagi, dari kejauhan Azzura melihat Angkasa mengangkat handphone-nya lagi di parkiran, di depan mobilnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
Lãng mạn>> "Lo bertahan karena cinta, tapi kenapa lo nggak pergi saat lo benci?" ~Marcello Angkasa Raymond "Karena sebagian perasaan bisa aja berubah." ~Azzura Aldebaran "Tapi sebagiannya lagi nggak akan bisa berubah. Contohnya gue." "Kalau gitu nggak usah...