Angkasa sama sekali tak membuka ponselnya sekalipun hingga sampai di rumahnya. Dia langsung berlari ke dalam, tapi berubah menjadi bingung ketika Azka juga baru saja dari sana dengan raut wajah kesal atau bahkan sangat marah.
Tas yang ada di lengan Azka dilempar begitu saja ke sofa ruang keluarga. Untuk memastikan, Angkasa masuk ke dalam kamar ayahnya.
"Papah nggak bohong kan?" tanya Angkasa sedikit ragu.
Tapi keraguannya segera terjawab ketika ayahnya berdiri dan mendekat ke arahnya. Angkasa langsung menggeleng mendorong ayahnya mundur.
"Papah ngelakuin semua ini demi kamu, Sa," tangan William menyentuh bahu Angkasa dengan sangat lembut.
Betapa terpukulnya Azka melihat semua yang dilakukan William pada Angkasa jelas jauh berbeda dengan yang dilakukan laki-laki itu padanya.
"Angkasa mau tanya sama papah. Papah liat Angkasa bahagia?" Angkasa menunjukkan wajah kesalnya pada William.
William menunduk merasa bersalah, tapi dia masih terus memaksa Angkasa untuk menuruti semua kemauannya tanpa terkecuali.
"Papah udah ngasih semua yang terbaik untuk kamu, Sa," ucapnya sedikit merayu. Berusaha membujuk Angkasa kembali.
"Terbaik? Angkasa bahkan nggak ngerasa sama sekali! Papah cuma anggap Angkasa sebagai budak yang harus ngurusin sekolah papah. Nurutin semua kemauan papah, bahkan maksa Angkasa buat jatuh cinta sama orang yang bahkan Angkasa nggak suka," Angkasa kali ini berani protes kepada ayahnya. Dan ini adalah yang pertama kalinya. "Papah sadar udah buat kakak pergi dari sini? Nyiksa tau!"
Angkasa membuang nafasnya kasar sebelum pergi dari ruangan mewah yang luasnya bahkan seperti satu kontrakan sedang. William mengacak-acak rambutnya frustasi.
Tapi Angkasa lebih frustasi lagi ketika Azka mendorongnya mundur hingga terpental cukup jauh secara tiba-tiba. Wajahnya benar-benar marah, jauh lebih menyeramkan daripada sepanjang hidup Angkasa melihatnya marah.
"Lo nggak pernah kan bayarin operasi gue," Azka mendorong Angkasa lagi ketika cowok dengan jaket abu-abu itu hendak berdiri. "Nggak usah lo jelasin lagi, Sa. Lo sebenernya sayang nggak sih sama kembaran lo sendiri?"
"Kenapa lo nanya gitu?"
Ya meskipun Angkasa tidak pernah menunjukkan perasaan sayangnya pada Azka, tapi Angkasa jelas terpukul ketika Azka bertanya. Apakah dia tidak sayang pada kembarannya sendiri? Yang benar saja. Angkasa bahkan berusaha mencari segala cara agar bisa mengirimkan uang untuk pengobatan Azka.
"Karena gue liat lo sama sekali nggak sayang sama gue, Sa," Azka membalikkan badannya. Sungguh tak kuasa setelah ia tau tidak ada yang menyayanginya satupun di dunia ini.
"Emang sayang harus diungkapin?"
"Nggak usah, Sa. Sikap lo udah nunjukkin semuanya. Gue nyesel bantuin lo!"
Untuk yang ketiga kalinya Azka mendorong Angkasa lagi. Angkasa yang belum siap dengan dorongan itu jelaa terjatuh ke belakang.
"Asal lo tau, gue suka sama Azzura!" jari telunjuk Azka mendarat tepat di depan wajah Angkasa.
"Ya. Lo boleh. Asal lo jangan benci gue," ujar Angkasa sedikit menawar.
"Mau gue benci sama lo ataupun nggak, itu nggak akan merubah siapa lo sebenarnya, Sa!" Azka melempar jaketnya di depan wajah Angkasa lalu berlari ke luar rumah.
Menikmati udara yang tidak pernah membencinya ataupun mengkhianatinya. Meskipun Azka selalu dengar pepatah, jangan tanyakan apa yang sudah orang lain perbuat padamu. Tapi tanyakan apa yang sudah kau perbuat untuk orang lain. Tapi bagi Azka, Angkasa sungguh sudah mengkhianatinya.
Angin, jika kau tau siapa aku sebenarnya. Aku lebih memilih menjadi engkau. Tidak ada yang memiliki, tapi aku merasa dimiliki--
Meskipun tidak ada air mata yang mengalir di pipinya, tapi Tuhan pun tau Azka sedang sakit hati.
Tuhan tidak adil-- tapi aku berusaha menerima. Siapa aku yang hanya sekedar berada tanpa dianggap. Tuhan kadang adil-- memberikan aku hidup, membiarkan aku jatuh cinta, meskipun kadang membuatku menyesal untuk kesekian kalinya aku bernafas. Tuhan selalu adil-- tidak ada yang pernah menganggapku ada lebih dari sebatas terlihat.
"Angkasa!" tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang tempatnya berdiri.
Azka menoleh. Mencoba mengenali siapa orang yang memanggilnya, tapi Azka sama sekali tidak tau. Mungkin dia teman Angkasa.
"Ga mau ke rumah Azzura kan?" tanya cewek itu. Azka menggeleng. "Nggak ke rumah Ratu juga kan?" tanyanya lagi. Azka mengedikkan bahunya tak acuh.
"Lo kaya orang kebingungan banget, elaah. Masih inget Aileen kan?" Azka menggaruk-garukkan keningnya lalu mengangguk pasrah.
Kepalanya dimiringkan sedikit ketika menyadari ada orang lain lagi di belakangnya. Seorang cowok dengan kaos berwarna hitam yang sedang berdiri sedikit tersenyum.
Azka tidak mau penampilan cowok itu yang lebih seperti seorang gembel dengan rambut yang acak-acakan. Atau mungkin orang stress karena tiba-tiba tersenyum.
"Azzura udah putusin hubungannya sama lo?" Azka menarik alisnya ke atas tidak mengerti maksud cowok itu.
"Kayaknya belum deh. Emang lo siapa? Main ikut campur urusan orang?" remeh Azka dengan tatapan merendahkan.
"Gue mantannya yang bentar lagi jadi pacarnya lagi. Lo nggak suka?" Peter maju lebih dekat lagi.
"Gue lagi badmood. Nggak usah cari masalah deh," gertak Azka sambil mencoba mengalihkan pandangannya agar tak tersulut emosi hanya karena melihat ekspresi Peter yang jelas-jelas sangat menyebalkan dan hanya mendatangkan amarah saja bagi siapa saja yang melihatnya dengan seksama.
"Lo kenapa? Gue tau apa yang lo butuhin. Coklat sama es krim kan?" tanya Aileen dengan raut wajah khawatirnya.
Tangan kanan Azka diangkat sambil melambai sebagai artian dia menolak. Azka berjalan pergi menjauh dari Peter dan Aileen. Ketika Peter hendak mengejar, Aileen mendorongnya mundur.
"Aku aja," ucapnya sambil berlari sekaligus mencegah Peter untuk pergi.
"Butuh teman?" Aileen berjalan mengikuti langkah Azka.
"Just want alone"
"Ya, kalau sendiri lebih baik. Mengapa harus bersama orang lain kan?"
"Bisa nggak sih lo pergi?" usir Azka secara halus.
"Lupa juga kalau dulu lo yang ndatengin gue?" Azka menghentikkan langkahnya.
"Gini ya, gue tuh nggak ada urusan lagi sama lo. Kalau itu dulu ya udah sih."
Tawa Aileen meledak saat itu juga. Sifat Aileen yang super slow benar-benar tidak bisa dikondisikan dimana, dengan siapa, dan kapan ia bicara.
Sepatu yang Aileen pake dilepas saat itu juga. Lalu diangkat sampai di depan wajahnya dan menunjukannya pada Azka.
"Kasian yah sepatu ini, nggak pernah bisa sendirian," sindir Aileen super halus. "Kalau lo make satu doang mau nggak? Dia lagi pengin sendirian nih," tangan kanan Aileen diletakkan di pinggangnya.
"Kayaknya dia berharap lo nggak punya urusan lagi sama dia, Sa," Azka menuruti apa yang diucapkan Aileen. Dia melepas kedua sandalnya. Satunya dilempar ke kanan, satunya dilempar ke kiri.
"Nih, gue pinjemin sebelah," Aileen membagikan salah satu sepatunya pada Azka.
"Buat apaan?"
"Kalau lo sakit dua-duanya, tapi gue nggak sama sekali kan nggak adil. Biar takdir aja yang nggak adil, cinta gue buat lo jangan," ucap Aileen sambil memperhatikan kakinya.
"Hah?"
"Gue suka sama lo, Sa. Dari dulu" ucap Aileen terang-terangan.
"Serius?" mulut Azka menganga bingung.
*****
Thanks untuk para pembaca:)
Vote dulu baru next dong😘
Kalau mau next cepet bisa kirim di komentar ya😘
Enjoy sama ceritanya dong ya:)

KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
Romance>> "Lo bertahan karena cinta, tapi kenapa lo nggak pergi saat lo benci?" ~Marcello Angkasa Raymond "Karena sebagian perasaan bisa aja berubah." ~Azzura Aldebaran "Tapi sebagiannya lagi nggak akan bisa berubah. Contohnya gue." "Kalau gitu nggak usah...