Azka kini sudah ada di depan gerbang rumahnya. Tapi benar-benar enggan untuk masuk. Lalu ia menatap kaca jendelanya sebelah kanan. Nampaknya ada orang yang sedang menunggunya pulang. Namun, di tengah hujan deras seperti ini pastinya orang itu tak mau berkorban hanya untuk seorang Azka. Berarti Azka tak salah jika menyebutnya jahat. Azka jahat kah?
Kaki Azka segera melangkah pergi. Sebelum cowok yang berwajah mirip dengannya itu menyadari keberadaannya.
Setelah kesekian kalinya ia bingung harus kemana, akhirnya Azka pergi ke sebuah rumah susun murahan yang agak jauh dari rumah juga lebih jauh dari sekolah.
"Setahun sewanya berapa, Pak?" tanya Azka sambil mengecek ke dalam sakunya. Mencari-cari sebuah benda yang sudah pasti jumlah uangnya tak seberapa.
"Murah kok dek," jawab bapak itu sambil melanjutkan menulis beberapa catatan. "Nanti saya cek dulu."
Sembari menunggu bapak itu mengecek harga sewa kamarnya, Azka mulai menerka-nerka isi ATM-nya. Barangkali kurang. Itu kan uang sisa terakhir yang Angkasa kirimkan.
Azka mulai gelisah. Apalagi ketika bapak itu mengatakan angka di atas tiga juta. Azka meringis kala itu juga. Ia hendak pergi dari tempat itu ketika seseorang menepuk bahunya.
"Azka?" sahutnya. "Ngapain lo disini? Main kok nggak bawa apa-apa," protes Arsen. Ia tidak melihat sesuatu apapun di tangan Azka.
"Arsen, Arsen. Dari dulu mbok kamu tuh kepedean banget. Dia tuh mau nyewa kamar," sambar bapak pemilik tempat itu yang tak lain tak bukan bernama pak Jamal. "Oh iya, kok tadi mau pergi? Jadi apa nggak nyewa di sini?"
Bukannya menjawab, Azka malah melemparkan pandangannya ke Arsen. Arsen pun mengerutkan alisnya bingung.
Sedetik kemudian, ia menjentikkan jarinya ke udara. Arsen mewakili perasaan Azka untuk mengangguk pada Pak Jamal. Lalu Arsen mengajaknya sekamar dengannya.
Yah, Arsen memang tinggal sendiri di kamarnya. Alasannya mudah, ia tidak suka berbagi! Hanya saja mengingat Azka adalah kawan dari sahabatnya yang begitu baik padanya, akhirnya Arsen mengalah.
"Yah lo ngapain ke sini? Punya rumah bagus malah pindah-pindah ke sini? Bosen kaya lo?"
"Kepo!" jawab Azka mulai kesal dengan kebawelan Arsen.
"Mesti lagi berantem sama Angkasa kan lo?"
Azka menggeleng tegas. Ia duduk di sebuah bangku di depan sebuah ruangan bernomor 128. Menunggu Arsen mencari-cari kunci rumahnya yang entah ia letakkan di mana.
"Eh, kuncinya mana yah?" tanya Arsen dengan wajah super dungu. Mulutnya menganga, tapi wajahnya panik.
Ya mana Azka tau?
Cowok itu hanya mengedikkan bahunya lalu kembali bernyanyi. Begitu acuh tak acuh.
- Tiba tiba kamu datang, saat kau telah dengan dia
Semakin hancur hatikuJangan datang lagi cinta
Bagaimana aku bisa lupa,
Padahal kau tahu keadaannya
Kau bukanlah untukkuJangan lagi rindu cinta,
Ku tak mau ada yang terluka
Bahagiakan dia, aku tak apa
Biar aku yang pura-pura lupa.
-Mendengar itu, Arsen menghembuskan nafasnya kasar. Dirangkulnya pundak Azka. Arsen tau bagaimana perasaan Azka sekarang. Meskipun yang pernah Arsen rasakan adalah ditolak, bukannya berantem dengan kakak sendiri hanya karena seorang cewek.
"Eh, Ka," panggil Arsen dengan posisi tangan yang masih merangkul Azka.
"Paan?" tanya Azka malas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
Romance>> "Lo bertahan karena cinta, tapi kenapa lo nggak pergi saat lo benci?" ~Marcello Angkasa Raymond "Karena sebagian perasaan bisa aja berubah." ~Azzura Aldebaran "Tapi sebagiannya lagi nggak akan bisa berubah. Contohnya gue." "Kalau gitu nggak usah...