24.Pengakuan Afrian

1.9K 169 1
                                    

Pria tampan dengan gagahnya menyampaikan beberapa isi materi yang sempat tertunda karena urusan lain. Semua mahasisiwi berdecak kagum melihatnya. Mereka sangat memfokuskan pandangannya kedepan, tapi bukan pada papan tulis ataupun materi yang disampaikan melainkan pada yang menyampaikan. Siapa lagi kalau bukan Pak dosen ganteng si Alif yang selalu menjadi sorotan dan dambaan para wanita.

Tak hentinya, sedari tadi banyak mahasisiwi yang menggodanya dengan tak tahu malu. Mulai dari mengedipkan mata genit, mencari topik pembicaraan yang tak penting, dan masih banyak lagi bentuk caper yang mereka lakukan. Tapi Alif hanya cuek cuek saja dan tak menanggapinya.

Berbeda dengan Luna yang sedari tadi hanya menampakkan sikap acuhnya. Tak seperti kebanyakan wanita yang akan merasa cemburu saat suaminya digoda oleh wanita lain. Biasanya mereka akan melabrak, menjambak atau mencakar cakar wajah yang dianggap sebagai pelakor. Lah ini?dia malah sibuk dengan pikirannya sendiri.
Mungkin itu juga karena mereka tak tahu bahwa Alif sudah menikah dan istrinya berada dalam satu ruangan dengan mereka sendiri.

Jujur saja Alif heran dengan sikap Luna yang sepertinya tak peduli jika ia digoda oleh teman-temannya. Ada rasa tak suka dalam diri Alif.

"Luna!"panggil Alif namun Luna masih tak bergeming. Ia masih asyik bergelut dengan alam mimpinya.

"Aluna Salsabilla!"ulangnya membuat Luna sedikit berjengkit lantas menggeliat. Gadis itu baru sadar jika sedari tadi ia menjadi pysat perhatian seisi kelas.

"Maaf Pak, saya ketiduran."ucapnya sambil mengucek kedua mata. Bukan tanpa alsan Luna tidur dikelas, melainkan kepalanya yang terasa pening dan badannya sedikit tidak enak.

"Kamu saya hukum!"tegas Alif tak terbantahkan.

Netra Luna melebar seketika.
"Tapi pak, badan saya lagi kurang enakan ini. Pending aja yah sampe kondisi saya beneran pulih."pintanya.

Alif menatap Luna jengah. Bisa- bisanya ia ngeles disaat seperti ini.
Jika dilihat sekilas wajah Luna memang sedikit pucat dari biasanya.
Tapi Alif tidak yakin dengan perkataan Luna. Bodoamat dengan ucapan gadis itu, paling ini hanya alibinya saja. Ia masih tetap kukuh dengan perkataannya untuk memberikan Luna hukuman. Apalagi setelah Luna membuatnya emosi dua hari lalu. Sekalian saja ia melampiaskannya sekarang. Pikir Alif.

"Kalau sakit kenapa tidak di UKS saja?"tanyanya dengan sebelah alis terangkat.

Luna tak menjawab. Gadis itu sibuk memijit pelipisnya saat pusing kian mendera.

Alif mendekati meja Luna dan bersidakep dada. Tatapannya tajam menusuk. Isyarat bahwa Luna harus menurutinya.

"Berdiri!"perintahnya.

"Tapi pa-"

"Berdiri!" Potong Alif dengan nada suara yang dinaikkan satu oktaf.

Luna berdiri meski sedikit tertatih. Kepalanya berdenyut nyeri serta pandangannya berkunang. Luna ingin mengambrukan badannya tapi ia tahan.

"Lari lapangan sepuluh kali."

Luna melotot tak terima.
"Se... sepuluh kali?" Beonya.

Alif tersenyum miring.
"Pilih lari lapangan atau skors selama dua minggu?" Sejak awal memang itu perjanjian yang Alif sepakati terhadap mahasiswa/mahasiswinya. Karena diluar peraturan umum, masing-masing dosen juga memiliki aturannya sendiri. Jika ada yang tidak tertib atau melanggar aturan, siap-siap saja menerima hukuman. Seperti Luna contohnya.

Kalau di skors, kapan ia selesainya?

"Atau nilai mapel kamu saya kasih nilai," jeda beberapa detik. "E?"

Sekali lagi Luna menggeleng. Kalau nilainya saja E, bagaimana dengan IPK-nya nanti? Nilai yang sangat buruk.

Sebenarnya Alif sadar apa yang ia lakukan terlalu berlebihan. Hanya saja emosi lebih mendominasi hatinya saat ini, sampai ia tidak berpikir panjang sebelum memberi Luna sanksi.

Alone in Love (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang