Twenty

383 35 0
                                    

Tidak terasa bulan pun secepat kilat bergilir dengan matahari teruntuk melakukan tugasnya. Berbulan-bulan waktu terlalu berlalu seakan begitu cepat, namun tidak bagi Oxy. Hatinya menjadi sepi, kabar tentang Lidya tidak sampai di telinganya lagi semejak Zhiro berpamitan kala itu.

Aluna juga menghilang dari sekitarnya. Aluna mendapati masa liburan yang menyenangkan dengan orang tua Zhiro. Gadis itu tengah bersenang-senang.

Tiga bulan waktu telah habis termakan zaman, harapan kembalinya dua wanita yang membuat Oxy merasa rindu tidak pernah pupus begitu saja. Hanya ada satu wanita yang kini menemaninya, sekretarisnya yang menjengkelkan.

"Kapan kau akan menyelesaikan tugasmu? Ini sudah hampir malam," gerutu Oxy dengan membolak-balikkan dokumen yang akan ia tandatangani.

"Aku harap Bapak segera diam! Berhentilah menginterogasiku dan urus saja pekerjaan Bapak!" bentak Laila dengan sangat berani. Kepalanya telah terasa pusing apalagi harus ditambah dentuman pertanyaan Oxy.

Oxy hanya memutar bola matanya, ia selalu diam. Berdebat dengan Laila hanya menguras tenaga. Lihatlah, betapa menjengkelkan sekretaris itu.

Sebuah dering telepon masuk ke handphone Oxy. Ia mengangkat dan menyambut panggilan itu. "Ada apa?"

"...."

"Baiklah, aku akan datang."

Raut wajah Oxy hanya memasrahkan diri dengan kabar yang ia dapat. Aluna akan segera pulang karena sesuatu hal terjadi pada Gio. Entah mengapa, Gio kini memanggil mereka tiba-tiba.

"Selesaikan pekerjaanmu. Rapat ini sangat penting, bagiku ataupun bagimu."

Oxy meninggalkan Laila yang tengah mendengus kesal. Sikap Laila yang menjengkelkan kini menjadi intonasi di hidupnya. Tidak bisa dia singkirkan, setidaknya ia belajar bahwa hidupnya kini tidak terlalu terpaku dengan skenario hidup yang telah ia buat selama ini.

"Bisakah aku menanyakan sesuatu? Dengan siapa kita akan melakukan pertemuan?" sebuah pertanyaan berhasil menghentikan langkah Oxy yang akan meninggalkan ruangan.

Oxy menoleh dengan tatapan datar. "Itu bukan urusanku, Erick yang mengurus segala urusan pertemuan. Tanyakan saja kepadanya."

Laila membuka lebar-lebar matanya dengan mulut yang sedikit ternganga. Kutukan demi kutukan berbicara dalam ruang kalbunya. "Lihat kesialan apalagi yang telah aku terima? Bagaimana bisa aku tercipta sebagai sekretaris di perusahaan ternama dan mempunyai pimpinan yang berjenis seperti ini? Bayangkan saja, mungkin yang mendengar kisahku akan terharu dengan perjuanganku untuk bertahan di perusahaan ini. Kapan aku akan dipecat dan kontrakku akan menghilang? Aku menunggu hal itu," gumam Laila tidak berarah. Oxy hanya memutar bola matanya lagi lalu seperdetiknya menatap Laila dengan datar. Ia berbalik dengan tenang.

"Bagaimana bisa aku bertemu dengan wanita seperti ini?"

***

Akhirnya mobil mewah itu sampai di rumah Guarda.

Terlalu ramai untuk diamati, di samping mobilnya telah terpakir mobil milik Aluna. Rata-rata orang yang membuat keramaian ini adalah anak buah Gio sendiri.

"Tuan Gioza telah menunggu ada di rooftop," sambut seseorang yang setengah berlari menghampiri Oxy. Oxy hanya mengangguk pelan dan melangkah memasuki rumah Gio.

Ia sampai di rooftop, sedikit tercengang dengan keadaan yang ia lihat. Pertemuan hanya dengan keluarganya sendiri.

"Jika seperti ini, mengapa kau tidak membicarakan sesuatu yang akan kau bicarakan dari telepon saja?" gumam Oxy lalu duduk dan menghempaskan tubuhnya dengan malas.

"Jika seperti itu, maka suasana keluarga tidak akan tercipta," sahut Lulu dengan alasan yang terkesan logis.

"Baiklah, di mana Lidya? Keluarga ini tidak lengkap jika tanpanya," gumam Oxy memperhatikan ke arah sekitarnya. Ia tetap berharap jika Lidya kini ada di sana. Wanita itu tetaplah membuatnya merindukannya.

"Aku telah menghubunginya. Ia tidak bisa datang, ia terlalu banyak urusan yang akan ia urus," jawab Gio terdengar sendu.

"Kau bisa menghubunginya? Aku selalu tidak berhasil. Panggilanku selalu ia tolak," tukas Oxy dengan nada bicara yang terdengar kesal.

"Dan itu sebagai bukti jika aku adalah kakaknya," kekeh Gio sembari tersenyum sinis. Ia merasa telah memenangkan pertaruhan yang pernah ia buat di masa lalu.

"Atau mungkin ini adalah cara Zhiro membunuh Lidya dari ingatanmu, aku masih mengingat dengan jelas ketika Zhiro melancarkan ultimatumnya ketika dia mengetahui jika kau mengajar Lidya menyetir mobil," sahut Aluna dengan gencar. Ia sangat mengerti kapan ia harus menjatuhkan kakaknya sendiri, dan Oxy sebenarnya telah menebak apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Oxy sembari menatap Gio dengan datar. Perasaan dan semangatnya menjadi buruk.

"Aku akan mengadakan pesta seminggu lagi," gumam Gio dengan enteng. Ia memanggil Oxy jauh-jauh hanya untuk membicarakan hal ini.

"Lalu bagaimana dengan Lidya? Ia akan datang, kan?" harap Oxy. Ia masih saja berharap jika Lidya akan datang padanya.

"Dia tidak dapat memastikan hal itu," gumam Gio dengan sangat lemas. Oxy menghela nafasnya kasar, decakan kecil berhasil sampai ke telinga Gio.

Oxy beranjak berdiri dan melanglah pergi dari pertemuan yang berhasil membuat harapannya terkikis. Sosok wanita yang teramat keras kepala itu dengan sisi lembut pada hatinya, benar-benar menyiksa Oxy dalam kata rindu.

Gio menyiratkan senyum melihat ketidakberdayaan Oxy. "Dia sangat merindukan saudara kembarku."

***

Oxy segera turun dari tangga. Namun ia merasa menangkap sosok lelaki yang tidak lagi asing baginya di ia menoleh ke arah kiri.

"Kau mencariku?" tanya Rozi tiba-tiba. Oxy hanya menggeleng lalu melangkah ke luar dan menuju mobilnya. Ia meninggalkan area rumah Guarda.

Kebahagiaan tidak bisa selalu ada, maka dari itu banyak manusia yang menjadikannya sebagai kenangan. Kenangan akan selalu tercipta dalam ingatan walaupun hanya berbentuk bayangan.

Oxy akhirnya sampai di sebuah lapangan yang menjadi tempat pertama kala ia mengajar Lidya menyetir mobil. Ia menyiratkan senyuman kala mengingat betapa bahagianya ia kala itu, orang yang berbelas tahun ia cari ternyata adalah orang yang Aluna bawa kepadanya. Ia berbalik melihat ke sebuah pohon, Ia kembali sedikit tertawa. Hampir saja ia wafat karena Lidya menginjak gas dengan keras, jika saja Oxy tidak memutar kemudi dengan cepat mungkin saja mereka telah berada di pemakaman.

"Aku selalu merasa menyesal, ketika gadis sepertimu dilahirkan sebagai saudara kembarku. Kau selalu harus menanggung derita dan air mata. Jika aku tidak boleh menyesali hal itu, mengapa kau terlahir sebagai wanita yang berhati selembut sutra? Karena permainan ini, kau sengsara. Berapa banyak peluru ataupun senjata tajam yang pernah menembus kulitmu? Berapa kali kau berada di puncak kritis karena ini?!"

Air mata jatuh dari pelupuk mata Oxy. Ia kalut karena keadaannya sendiri. Ia tidak bisa mengubah masa lalu, ia pun tidak bisa mengubah masa depan.

Berjam-jam ia menatap lapangan yang telah gersang karena hangatnya sinar sang surya. Tidak dengan hatinya, hatinya merasa gerimis karena rindu. "Aku tau di mana pun sekarang kau berpijak. Zhiro pasti tengah membawamu ke tempat yang lebih aman. Siapa aku? Aku hanya merindukanmu tetapi tidak bisa menjagamu dengan baik seperti yang Zhiro lakukan selama ini. Mengapa aku sangat egois?! Rindu ini membuatku merasa terbunuh. Mengapa tidak bunuh aku saja lebih nyata?!" kesal Oxy. Oxy menatap nabastala, telah gelap segelap hatinya.

"Kau harus selalu tau, jika aku selalu merindukanmu." Ia memutuskan untuk kembali ke kantor. Ia tersenyum melihat ke arah foto yang selalu ia simpan dalam sebuah kotak kecil di mobilnya. Foto saat Oxy, Aluna, Zhiro, Gio, dan Lulu beserta Lidya tertawa lepas di hari pernikahan Lidya.

Ia hampir menuju ke arah kantor, namun sudut matanya menangkap sosok yang tengah meronta di kerumunan orang yang terlihat seperti berandalan di seberang jalan yang ia lintasi.

"Tolong!!"

Leave The World with Yourlove [Lathfierg Series] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang