Thirty Eight

350 36 2
                                    

Kini Zhiro membuka matanya, kala ia mengamati dirinya sendiri tengah diseret bersama Rozi di sampingnya. Mereka diseret mendekati sebuah jurang yang lumayan terjal.

Mata mereka ditutup, lalu sebuah hantaman keras merasuki saraf kepalanya. "Selamat tinggal."

***

Zhiro mengerjapkan matanya, ia tidak menyangka perjalanannya ke surga akan lebih cepat dari yang ia duga.

Ia menatap sekelilingnya, bukan sebuah lingkungan indah yang biasa dinamakan dengan kata 'surga' tapi ia kini berada dalam sebuah mobil dan berada di atas pangkuan seorang wanita.

"Kau baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan lembut. Wanita itu kini mengelus rambut Zhiro dengan lembut. Mata Zhiro semakin berlinang.

"Aku sangat bahagia kini wajahmu menyambutku. Bisakah aku bertanya sesuatu padamu? Apakah di surga masih terdapat mobil?" tanya Zhiro sembari tetap menatap wanita itu. Ia menahan kedipan matanya dan tidak membiarkan pandangannya mengabur.

"Jika kau mau kita masih bisa berfoto ria di surga," tukas Lidya. Mata Zhiro membelalak lebar, ia bangun di atas pangkuan istrinya sendiri. Ia terperanjat duduk dan langsung memeluk Lidya dengan erat, beberapa kali ia mencium wanita itu.

"Kendalikan dirimu, lihat Aluna dan Cakra kini tengah tersenyum ria melihat kita," bisik Lidya. Wajahnya memerah atas perlakuan Zhiro kepadanya.

"Aku tak peduli," tukas Zhiro lalu memeluk Lidya dengan erat.

"Baiklah, anggap saja mobil ini dijalankan oleh sebuah remot," gumam Cakra sembari menyilangkan tangannya.

"Baiklah, sepasang kekasih yang tengah melepas rindu. Kita akan segera menepi dan menuju sebuah hotel, setelah itu tunggu kami kita akan jalani rencana kedua," celetuk Aluna.

"Rencana kedua?" tanya Zhiro penasaran, namun tubuhnya masih ingin bersentuhan dengan tubuh istrinya.

"Nanti akan aku ceritakan," jawab Lidya lalu menyandarkan kepalanya pada dada bidang suaminya.

Zhiro perlahan melepaskan pelukannya kepada istrinya agar wanita itu dapat melepaskan segala perasaannya pada dada bidangnya. Ia mengelus perut Lidya. "Ayah merindukanmu, nak."

"Ayah? Kau telah menyiapkan sebuah panggilan?" gumam Lidya seraya mengembangkan senyumannya.

"Tentu saja. Lalu anak kita akan memanggilmu dengan sebutan bunda," terang Zhiro lagi.

"Bunda? Panggilan yang terlalu lembut untuk seorang mafia," kekeh Lidya yang mendengar saran dari Zhiro.

"Perbaiki, KETUA MAFIA!" sela Aluna dengan segera.

"Hatimu selembut sutra..." Zhiro tidak menyelesaikan kalimatnya lalu memeluk erat Lidya.

"Ingatkan aku jika aku belum menikah," celetuk Cakra dengan melirik sesekali ke arah cermin.

"Sepertinya aku akan menikah setelah ini," lirih Aluna. Ia berdecak kesal melihat kemesraan yang mereka ciptakan.

"AKU AKAN MEMENGGAL KEPALA CALON SUAMIMU!"

***

"Ceritakan semua hal yang terjadi," ujar Zhiro setelah mereka mulai beristirahat di hotel setelah melepas kepergian Cakra dan Aluna.

Zhiro merangkul Lidya agar tubuh wanita itu menjadi lebih sedikit rileks. "Aku tidak mati."

"Aku paham itu jika kau mati maka siapa wanita yang akan aku rangkul seperti ini?"

"Wanita itu," lirih Lidya kala pikirannya malah tertuju pada malam itu.

"Jangan mengingat itu lagi, nanti hatimu menjadi lebih sakit. Jangan menyiksa dirimu sayang, cintaku hanya untukmu dan bukan hanya itu, segalanya milikku adalah milikmu," lirih Zhiro berusaha membuat wanita itu menjadi lebih sedikit mengerti. Lagipula kala itu ia dalam kondisi yang di bawah alam sadar.

"Restu telah mendapatkan banyak informasi tentang penyerangan kalian. Kami mengirimkan beberapa orang untuk menjadi anggota mereka jauh sebelum kejadian ini, hingga bisa dikatakan mereka telah menjadi kaki dan tangan musuh kita. Namun, mereka masih di bawah kendali kita. Aku begitu murka kala mendengar kabar tentang penyeranganmu itu...."

"Telah aku katakan beberapa kali, kau harus mengurangi gejolak emosimu. Ini tidak baik bagi anak kita," potong Zhiro sembari menunjukkan sikap posesifnya.

"Iya sayangku. Jangan memotong dulu," rengek Lidya sedikit terdengar manja.

"Lalu apalagi?" tanya Zhiro seraya tidak bisa menahan rasa penasarannya.

"Aku melatih kemampuan bertarungku dengan Restu. Kami khawatir jika kami mengganti agenda pasti pihak musuh akan mencium kecurigaan kami. Lalu aku sempat menahanmu agar tidak pergi ke kantor, namun kau terlalu keras kepala dan memaksa untuk tetap pergi, tidak penurut." Lidya mengucapkan kalimat 'tidak penurut' itu dengan santai tanpa menghiraukan amarahnya Zhiro.

Zhiro hanya menghela nafasnya dalam. Bagaimana pun ia tidak bisa memarahi istrinya dan berkat anaknya yang kini tengah berdiam di dalam kandungan istrinya, wanita itu sangat menggemaskan.

"Aku berhasil mendapatkan nama dari balik musuh kita itu, dia adalah kaki tangan mereka. Aku berniat untuk menyergap secara langsung namun Restu menghentikanku, ia memintaku untuk memanggil seluruh anggota The~D yang tengah mengadakan acara di Air Intan, akhirnya mereka datang."

Lidya menarik nafas sebanyak-banyaknya sementara itu Zhiro tetap menatap istrinya dengan sangat antusias.

"Kami menyusun sebuah strategi dan akhirnya Dia menelponku," gumam Lidya lagi.

"Lalu bagaimana kau bisa selamat dari pembakaran itu?" tanya Zhiro sembari merangkul Lidya dengan kuat seakan semakin mencemaskannya.

"Kau juga tertipu? Itulah strategi yang kami susun. Aluna menawarkan tubuhnya untuk digunakan sebagai umpan. Ia yang datang dan aku? Tentu saja menyamar di antara kalian," kekeh Lidya sembari menutup mulutnya.

"Kau pikir itu lucu dan berhasil membuat semangatku langsung meminta kematiannya?" tanya Zhiro seraya menggoda dan menatap datar Lidya.

"Kau tenang saja, aku akan tetap mencari kehidupanku untuk tetap bersamamu. Aku tak ingin perbedaan dunia memisahkan kita sayang. Kala Dia-Musuh Lidya- mencekik Aluna yang menyamar menjadi diriku, Aluna sengaja terjatuh lebih cepat dan menahan nafasnya. Kami membuat jaketnya sedikit beruang agar detak jantungnya sedikit tersamarkan," jelas Lidya dengan panjang lebar.

"Lalu asap itu mengebul dari segala penjuru dan itu ulah Cakra yang menyamar. Dengan cepat kami menarik tubuh Aluna untuk segera menyingkir dan menggantinya dengan manekin," ujar Lidya dengan sangat jelas.

"Berarti yang terbakar itu adalah sebuah manekin?" tanya Zhiro mencoba menarik kesimpulan.

"Tentu saja, aku tidak mudah untuk mati. Aku lihat kau menangisi manekin itu, hatiku sedikit teriris melihat air matamu. Aku harus bertarung dengan Al dan Bobby walaupun hanya berpura-pura. Lalu, aku pergi bersama lelaki itu ke markas. Setelah malam menjelang, tidak hanya aku. Aku bersama Aluna, Cakra, Kevin serta yang lainnya melihat Rozi dan kau tertangkap. Dengan cepat kami mengambil senjata di gudang mereka dan membakarnya tepat ketika gudang tempat penahananmu dibakar," jelas Lidya.

"Aku mengerti. Lalu rencana itu?"

Leave The World with Yourlove [Lathfierg Series] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang