"Jika kau tidak bisa membuat suamiku sadar, maka kau akan aku bunuh," ancam Lidya dengan seorang suster yang berjalan datang bersama Cakra.
Suster tersebut membulatkan mata lalu meneguk salivanya sendiri, kerongkongannya terasa mengering tiba-tiba. Cakra hanya menatapnya datar, ia harus bersabar karena sepasang suami istri itu adalah sahabatnya.
"Aku yakin dia hanya pingsan, mungkin Zhiro terlalu kelelahan. Kau dan Zhiro sama saja," kesal Cakra sembari menatap Lidya dengan sinis. Suster tersebut merasa ngeri, dari halaman rumah ini memiliki penjagaan yang ketat, semuanya menggenggam senjata dari yang ukuran kecil hingga ke ukuran besar. Dan beberapa pimpinannya juga memasang pose yang menyeramkan.
Restu dan satu orang anak buahnya berdiri di muara pintu sembari menopang sebuah samurai di pundaknya, suster itu hanya bisa berharap dia tetap hidup.
"Kemarin aku didesak untuk menyadarkanmu dan sekarang kau mendesakku untuk menyadarkan suamimu," omel Cakra. Semakin hari ia tidak mengerti dengan arah pikiran keluaga ini.
"Jika aku mengambil pendidikan dokter dalam kuliahku, maka aku tidak akan merepotkanmu dengan permintaanku," jawab Lidya terdengar ketus. Kondisi emosinya sedang labil, tidak tentu. Terkadang naik, terkadang turun.
Cakra hanya menyabarkan dirinya sendiri, ia tahu kondisi Lidya kini. Dan perdebatannya dengan Lidya hanya akan membuat The~D mengamuk tidak jelas.
Ia mengambil peralatannya dan akan memulai perannya. Suster itu mengamati aktivitas Cakra dan tiba-tiba mata Zhiro terbuka. "Kau bisa pergi dengan segera, aku telah sembuh."
"Apa alasanmu sekarang? Hanya mau diobati dengan istrimu saja?" duga Cakra dengan datar.
"Kau benar, aku sungguh bangga mempunyai sahabat yang pintar sepertimu," lirih Zhiro dengan menyunggingkan senyumnya.
"Ayo kita pulang," ajak Cakra dengan segera.
"Tapi pak..." potong suster tersebut setelah mengamati keadaan Zhiro yang menurutnya harus segera ditangani.
"Jika kau ingin menghantar nyawamu di rumah ini, itu tidak masalah. Aku akan pulang lebih dulu," gumam Cakra lalu berbalik menemui Lidya.
"Jaga suamimu baik-baik, dia begitu mencemaskanmu kemarin," pesan Cakra sembari tersenyum menatap orang yang sangat sahabatnya sayangi.
"Terima kasih," tukas Lidya dengan wajah yang berseri-seri. Suster tersebut tidak habis pikir dengan kemampuan keluarga ini berkamuflase, ia tidak bisa membayangkan menjadi seorang dokter Cakra yang harus beradaptasi di lingkungan seperti ini.
Cakra dan suster tersebut berbalik ke luar kamar. Zhiro hanya mengamati ke arah sekitarnya, ia mengamati Oxy dan lainnya secara bergantian. "Waktu besuk kalian telah selesai, silahkan keluar."
Lidya langsung menahan Gio agar tidak meninggalkan kamarnya, "jangan pergi."
"Suamimu telah mengusir kami, lagipula apa yang kau cemaskan? Kau tengah bersama suamimu sendiri," gumam Gio mencoba menenangkan Lidya. Wajah Lidya menjadi pucat dan butir air mata terkandung dalam kantung matanya.
"Bagaimana jika dia memarahiku? Aku tidak sanggup menghadapi amarahnya karena aku meninggalkannya di pesta kemarin," lirih Lidya sembari tetap menggengam lengan Gio.
"Kau tinggal mengambil senjata dalam lemari itu dan menghabisinya," saran Gio dengan santai. Lulu hanya melototi perkataan Gio barusan.
"Aku tidak bisa melakukan itu, karena dia suamiku," sanggah Lidya dengan wajah yang lebih pucat. Zhiro memang tidak pernah memarahinya, bagaimana amarah Zhiro padanya? Ia pun tidak tahu.
"Karena dia suamimu, aku tidak bisa berbuat banyak," gumam Gio lalu melepas tangan Lidya sembari tersenyum. Gio dan yang lainnya keluar dari kamar.
Zhiro bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu, Lidya langsung berusaha menghindar dari Zhiro dengan perlahan. Zhiro mengunci pintu dan Lidya mencari ruang yang luas baginya untuk menghindar.
Ketika Zhiro melangkah mendekatinya ia bergerak mundur. "Apakah kau puas membuatku merasa merana karena kau tidak memaafkanku?''
"Kau juga tidak menyapaku pada pagi tadi," gumam Zhiro bertubi-tubi. Bayangan buruk telah melayang masuk ke dalam pikiran Lidya.
Zhiro langsung menarik ke pelukannya. "Mengapa kau menangis? Apakah kalimatku terlalu kasar?"
Lidya menggeleng dalam pelukan Zhiro. "Aku takut menemui amarahmu."
"Apa yang kau pikirkan? Aku adalah lelaki yang sama yang mencemaskanmu tidak mungkin aku melukaimu ataupun berbuat kasar kepadamu. Aku begitu mencemaskanmu, sayang. Jangan bersedih dan jangan takut karena pelindungmu ada di sini," gumam Zhiro menenangkannya.
Lidya menangis tersedu-sedu. "Aku takut ketika tanganmu malah menamparku dengan kuat karena aku memarahimu, menduga yang tidak-tidak dan sempat menggertakmu."
"Aku tidak akan melakukan itu, tidak akan pernah. Hal yang kau lihat tadi malam hanya salah paham, aku berada dalam kondisi tidak sadar. Aku tidak akan pernah memarahimu. Tak ayal menurutmu kau bukan wanita yang cantik, menurutku kau adalah wanita tercantik yang ada di dunia ini. Dan aku mencintaimu bukan karena fisikmu, lalu rambut ini? Aku sangat menyukainya. Aku bisa membantumu untuk menyisirnya, aku sadar jika aku bukan suami yang sempurna untukmu. Tapi, aku akan selalu berusaha untuk menjadi sempurna," jelas Zhiro sembari memeluk erat istrinya.
"Maafkan aku," lirih Lidya dengan lemah. Energinya seperti terkuras habis.
Zhiro melepas pelukannya lalu mengecup dahi Lidya dengan singkat. Mereka duduk bersentuhan dengan lantai. "Kau tau? Mereka semua membuatku hampir gila dengan memberikan rekaman jika kau terikat di dalam gudang yang terbakar," ujar Zhiro dengan lega.
"Itu memang benar, mereka mengikatku hingga gudang itu terbakar. Namun, kesalahan yang mereka lakukan adalah mencoba membunuhku di rumahku sendiri. Di antara gudang dan rumah ini ada pintu dan jalan rahasia yang tepat terhubung pada ruang bawah tanah, dan pintu rahasia di gudang itu sengaja dibentuk seperti ventilasi udara," jelas Lidya lalu mengambil nafasnya, Zhiro tengah menjadi pendengar yang baik.
"Aku keluar dari sana mungkin ketika deru motor mereka mulai bergema. Ketika di ruang bawah aku tidak bisa bernafas karena asap yang ada di gudang mulai menyeruak masuk ke dalam ruang bawah tanah. Sialnya, pintu itu terkunci begitu kuat hingga aku harus membobolnya dan akhirnya aku berhasil. Aku bergerak ke kamar ini untuk mencari udara segar, aku beristirahat di balkon dan menguncinya dari luar, aku takut jika tiba-tiba asap itu mulai beranjak masuk. Aku duduk seketika pandanganku menjadi gelap lalu aku melihatmu tengah memakai dasimu," jelas Lidya panjang lebar.
"Lalu darah itu?" selidik Zhiro.
"Itu bukan darahku, melainkan darah salah satu di antara mereka. Aku melukainya ketika aku akan ditangkap," jawab Lidya dengan santai.Zhiro tidak menjawab apapun, ia hanya tersenyum.
"Kau tidak perlu khawatir." Lidya melingkarkan tangannya ke leher Zhiro dan membuat Zhiro sedikit mendekat lalu mencium bibir Lidya.
***
"Ada apa?"
"Aku mulai mencintai seseorang.''
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave The World with Yourlove [Lathfierg Series] [End]
RomanceBook 3 of Lathfierg Series Tuntutan ekonomi yang menjadi penyebab masuknya Laila Nurfajah ke dalam kehidupan Oxyvier Lathfierg. Ditambah lagi dengan pekerjaan Oxy yang semakin memadat membuatnya harus mencari pengganti Lidya dengan segera. Mereka be...