Fourty One

302 30 1
                                    

Lidya tertunduk setelah mendapatkan tamparan yang keras beberapa kali. Untung saja, dia merupakan wanita yang kuat. Jika tidak, ia tidak dapat lagi membayangkan nasib janinnya.

Mereka kini dikurung lagi dalam sebuah gudang, entah Rivano dan Gino tidak mempunyai inovasi untuk membuat penjara sementara mereka.

Mereka diikat dengan kuat terutama untuk Lidya, Zhiro, Gio, dan Oxy. Dengan memakai tali yang diikat dan merentangkan tangan dan kakinya, cukup sakit untuk bergerak.

Sementara Aluna seperti di borgol tangan dan kakinya, rasa sakitnya sama saja. Dan Lulu, dia adalah makhluk terlemah namun bisa jadi yang terkuat dengan ikatan tali lumayan kuat mengikat tangannya tidak dengan kakinya.

"Apakah sakit?" tanya Oxy sedikit perlahan. Dilihatnya Lidya hanya tetap menunduk dan membiarkan darah segar mengalir dari sudut bibirnya dan menetes ke lantai keramik putih itu.

Lidya tidak menjawab, hal itulah membuat Zhiro berdecak geram. "Mengapa mereka menyerang wanita? Pengecut!"

Ingin rasanya ia melepas ikatannya pada dirinya sendiri. Lelaki dengan sifat penyayang itu pasti akan menghentikan darah Lidya mengalir sementara itu ia membuka ikatan pada istrinya dan memeluknya erat.

Namun, sia-sia. Ia selalu memberontak namun tidak ada barang yang dapat ia raih dan tali itu tidak menjadi longgar sedikitpun.

Mata Lidya kini terpejam bukan lagi hanya kepalanya terunduk, ia semakin lunglai dan lemas.

"Katakan sesuatu padaku!" cemas Zhiro semakin menjadi-jadi.

Kepala Lidya terangkat lalu tersenyum sangat tulus seperti luka pada sudut bibirnya tidak pernah ia rasakan. "Tenanglah sayang, tamparan itu bukan racun yang akan membunuhku. Biarkan aku beristirahat sedikit."

Zhiro menghela nafasnya lega dan membalas senyuman itu, kondisi ini tidak bisa menyurutkan semangat keromantisannya.

"Mengapa kalian menyembunyikan semua ini?" tanya Oxy ketika melihat Zhiro yang hanya menatap Lidya, lelaki itu bisa diinterogasi sebentar.

"Apalagi yang bisa kami lakukan? Kami tidak tega menghancurkan kebahagiaanmu," gumam Zhiro tanpa rasa bersalah.

"Hal penting yang aku tanyakan, mengapa kalian berpura-pura mati?" hela Oxy dengan penuh kesabaran.

"Kau terlalu bodoh dalam menyusun sebuah taktik dan Gio terlalu ambisius. Bagaimana bisa kami mempercayakan hal ini kepada kalian berdua? Dan kak Lulu? Aku tidak terlalu mempercayainya," sela Aluna dengan santai. Ia tidak merasa bersalah karena pernah  membuat mereka panik setengah mati.

"Tunggu.... Kau terlibat?" gumam Oxy dengan tersenyum miris. Hal sebesar ini selalu ia rahasiakan dari dirinya dan untung saja kini Gio tidak mengambil andil.

"Tentu saja, memang kau teramat bodoh. Kau tidak bisa membedakan siapa kak Lidya dan aku ketika aku dicekik, jelas teramat berbeda. Aku memiliki postur yang sedikit mengurus dibandingkan kak Lidya dan kau langsung mempercayainya," ujar Aluna dengan nada bicara yang terdengar miris.

"Tidak perlu meributkan alasanku dan Zhiro menyembunyikan kehidupan kami. Semua alasan tepat tertuju pada ikrar yang telah kita ucapkan bersama di atas rumah Groye. Kalian masih ingat? Dan kini aku merasa tidak berguna," kekeh Lidya sembari mengamati setiap ikatannya.

"Aku merasa bersalah, aku seorang anak tertua dan seharusnya aku yang melindungi kalian," gumam Gio di sudut ruangan yang semakin terpojok akan kesalahan.

"Tidak perlu membenani dirimu dengan rasa bersalah, kami telah memilih jalan ini," ujar Zhiro dengan sangat tenang.

"Lalu bagaimana dengan Lidya? Dia kini tengah mengandung anakmu," tukas Gio tetap bersikukuh agar mereka menyalahkan dirinya lalu membuat hatinya tenang.

"Jangan gumamkan namanya lagi, dia ada di depanmu. Kau tau? Aku semakin ingin memeluknya kini," kesal Zhiro menatap Gio tajam. Lidya hanya tertawa kecil melihat tingkah suaminya.

"Lalu dengan Laila?" tanya Oxy lagi sembari menatap Lidya yang ada sejajar pada dirinya.

"Aku tidak bisa menghilangkan senyuman dan rasa bahagiamu. Semula aku rasa dia adalah gadis yang baik namun prasangkaku semakin salah dan mengeluarkan sifat aslinya. Bagaimana aku bisa mengatakan hal buruk tentangnya ketika kau tengah sangat mencintainya? Rasanya teramat mustahil. Ditambah lagi...." pintu ruangan pun dibuka dan mengurungkan Lidya melanjutkan kalimatnya.

Sebuah postur tegap menatap Lidya dengan tatapan yang teramat iba. "Selamat bertemu kembali teman lama."

Kepala Lidya terangkat dan meludah ke sembarang tempat, ia semakin membuat gejolak emosi Gino kian meledak-ledak. Dan Lidya melihat ke arah Rivan, pemuda yang angkuh dan berharap dapat melumpuhkan Lidya dengan sekali gerak.

"Seorang pengkhianat," kekeh Lidya tanpa dosa. Kondisinya semakin meyakinkannya untuk berbuat demikian.

"Bawa Lidya!" perintah Gino kepada orang-orang yang tengah ia bawa. Mereka dengan cepat menurut seperti anak anjing yang mendapatkan perintah tuannya. Mereka membuka ikatan pada Lidya dan langsung mengunci pergerakan tangan wanita itu dengan sebuah borgol.

"Mau kau bawa ke mana istriku! Pengecut!" murka Zhiro dengan semakin gencar membuka ikatannya, namun hasilnya nihil.

"Menghabisinya," ujar Rivan dengan bangga.

"Aku ingin melihat bagaimana seorang pengkhianat menghabisi sahabatnya sendiri," kekeh Lidya dengan santai.

Lulu sedikit ternganga dengan keadaan Lidya. Ia semakin iri dengan adik iparnya yang masih mampu terkekeh ketika mautnya akan segera datang.

Lidya digiring ke luar ruangan membuat mereka berdebat dengan rasa khawatir yang terpendam dalam. Oxy melihat ke arah luar, ia melihat sosok wanita yang sangat ia cintai namun rasa itu seakan menghilang dengan mentah-mentah.

"Jika Lidya mengalami kematiannya, maka kupastikan aku akan menyiksanya walaupun ia dikubur," gumam Zhiro dengan dingin seraya menatap tajam kepala Gino yang keluar.

Di luar ruangan Lidya tetap dipaksa untuk memberikan informasi tentang seseorang yang kini tengah memegang seluruh kekuasaan Groye, Lathfierg, dan Guarda.

Namun hasilnya sia-sia, karena Lidya tidak kunjung memberikan informasi apapun melainkan hanya kekehan yang keluar dari mulut Lidya. Penyiksaan demi penyiksaan ia terima hingga sebuah goresan terukir di pipinya.

Lidya kembali diantar ke ruangan. Mereka mengikat Lidya lagi dan wanita itu tertunduk lemas.

Mata Zhiro terfokus kepada darah segar yang mengalir di pipi istrinya. "Apa yang telah terjadi dan siapa yang melakukan ini?"

Lidya mengangkat kepalanya dan menajamkan tiap sudut matanya. "Kematian Gino."

Leave The World with Yourlove [Lathfierg Series] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang