Twenty Five

412 36 0
                                    

Laila tersenyum kecut, ia bingung tentang apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Dia sama saja tengah membangunkan harimau dari tidurnya.

"Bayaran apa yang harus aku bayar?" Laila bertanya dengan gugup. Lidya memutar kedua bola matanya, suasananya menegang.

"Kematianmu," gumam Lidya dengan senyuman yang sangat sinis.

Wajah Laila menjadi sangat pucat, ia membungkam. Harusnya ia menjaga mulutnya ketika ia ingin mengatakan sesuatu di dalam perusahaan Lathfierg walaupun harga dirinya merasa terhina.

"Apa yang ingin kau lakukan Nyonya Lidya?" Ia menatap ke arah Oxy dan berharap ia akan membantunya seperti yang lelaki itu lakukan ketika kejadian malam tadi. Oxy hanya mengedikkan bahunya dan berjalan ke arah kursi.

"Membunuhmu," gumam Lidya sembari tersenyum dan mengeluarkan sebuah belati.

Lidya mengarahkan belati itu tepat ke kepala, pundak, lalu tepat ke dadanya. Laila menatap ke arah Lidya dengan teramat takut. Ia melirik ke arah Zhiro. "Pak, aku minta tolong kendalikan istrimu.... Aku belum mendapatkan gajiku."

"Mengendalikannya? Bukannya kau telah menghinanya sebagai wanita murahan? Ada setiap konsekuensi terhadap segala tindakan," gumam Zhiro terlihat masa bodoh.

"Tolong ambil belati itu," pinta Laila dengan sedikit melirih.

"Bagaimana aku bisa mengambilnya? Belati itu pemberian Gio, lalu bagaimana aku bisa menghentikannya?" Zhiro berjalan dengan santai, meninggalkan Laila dan Lidya yang saling bertatapan.

"Pak Gio... Tolong aku," gumam Laila. Rasanya ia berada di pinggir hutan, melangkah ke belakang tetap akan dikejar dan berusaha melawan pun akan tetap mati.

"Aku lebih memilih harga diri adikku dan tentang nyawamu tidak memiliki asuransi di sini," tukas Gio sembari memperhatikan handphonenya.

Lidya tetap mendekat dan Laila selalu berusaha menghindar. Ia berhenti, dinding menahan geraknya.

"Tenanglah, tidak akan terasa sakit." Laila membelalakkan mata mendengar pernyataan Lidya. Bagaimana bisa tenang? Jika nyawanya akan segera melayang.

Laila telah pasrah akan hidupnya. Seperti yang telah dikatakan Mila, hidup di perusahaan ini sama saja menghantar nyawa ke perbendaharaan malaikat maut.

Ia memejamkan matanya dan lebih memilih hidup di pandangannya yang gelap. Ia tidak menyangka jika ini adalah hari terakhirnya. Ia merasakan sisi tajam dari belati itu menyentuh kulitnya. Lalu perlahan menghilang.

"Jika kau ingin membuatku mati, tetap jaga hidupmu." Lidya melangkah dengan santai ke kursinya.

Laila begitu ternganga menatap pimpinannya. Memang, tidak bisa dia bantah atas kecantikan yang ia miliki. Dan Zhiro, lelaki itu sangat tampan bagi mata Laila. Mereka berdua bagai pasangan yang terlalu sempurna.

Lidya duduk dan menyilangkan kedua kakinya. Ia menatap Laila dari sudut matanya, melirik sekilas lalu benar-benar menoleh. "Kau tidak ingin duduk? Apa aku yang harus menarikmu?"

"Eh.. Eh..." gugup Laila lalu beringsut duduk sebelum nyawanya akan segera melayang.

"Dari mana kita akan memulainya?" ujar Lidya membuka percakapan. Laila hanya diam, ia sedikit tertipu dengan keadaan.

Setidaknya ia telah bersusah payah membuat bahan presentasinya hari ini, namun pertemuan ini yang terjadi. Ia sedikit bahagia karena bertemu dengan pimpinan yang ia nantikan walaupun dengan cara yang mengenaskan untuknya.

Karakter seseorang tidak bisa diduga dan sifat manusia terlalu relatif, tergantung keadaan yang mengikatnya dan siapa yang mengamatinya.

Sama halnya seperti baik dan kejam pada diri Lidya yang ia tidak mengerti. Banyak orang mengatakan jika Lidya ialah orang berdarah dingin dan membunuh siapa saja yang ia kehendaki. Tetapi bagi Laila, itu tidak bisa dipercaya. Penampilan Lidya yang memukau, rasanya tidak mungkin baginya untuk melukai seseorang.

Leave The World with Yourlove [Lathfierg Series] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang