Bab 10

1.9K 114 2
                                    

Euhh dimana ini?

Batinku berucap heran karena saat membuka mata, warna putih langsung mendominasi penglihatanku.

"Ella kamu udah sadar? Terima kasih Tuhan.", ucap Pingkan yang langsung menghampiriku setelah dia melihat bahwa aku telah sadar.

"Eh panggil dokter.. DOKTER.. SUSTER.. ini teman saya udah sadar", ucap Carly.

Tak lama kemudian dokter bersama perawat datang dan memeriksa keadaanku.

"Kondisi adek udah mendingan, adek bisa langsung pulang. Semua luka udah diobatin. Luka di kepala adek tidak akan menimbulkan efek serius, hanya rasa pusing yang tidak seberapa. Jadi adek tenang saja.", ucap sang dokter menjelaskan.

"Syukurlah. Kita pikir luka di kepala Ella serius", ucap Carly.

"Nanti saya akan memberi resep obat untuk menghilangkan rasa pusing, untuk meredakan demam dan untuk penyembuhan luka juga memar di kaki. Kalau begitu saya permisi", tambah sang dokter.

"Iya makasih dok", ucap Pingkan dan Carly bersamaan.

Setelah kepergian dokter dan perawat aku langsung mengucapkan terima kasih pada Pingkan dan Carly, karena mereka sangat baik kepadaku.

"Udahlah jangan dipikirin. Itulah gunanya teman kan?", ucap Pingkan menghiburku.

"Tapi... kamu harus cerita ke kita berdua, kenapa kamu balik dari toilet udah jadi seperti ini.", ucap Carly.

"Ng-Nggak kok. Cuma kepeleset aja", ucapku berbohong.

"Hey hey.. bohong kamu. Kalo kamu nggak mau cerita, aku bakal bilang ke mama kamu kalo selama ini memar dan luka kamu itu karena di-bully kak Darren", ancam Carly padaku.

"Ehh.. jangan.. jangan. Iya deh.. jadi......", karena takut dengan ancaman Carly, akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi kepadaku di dalam toilet tadi, dengan tubuh bergetar dan diakhiri dengan tangisan.

Setelah mendengar ceritaku, Pingkan dan Carly sangat marah. Terutama pada kak Darren.

"Kak Darren itu memang benar-benar yah. Apa sih maunya ke kamu? Nggak cukup apa selama ini dia bully kamu, sampe memar. Ini dia bikin kamu berdarah", ucap Pingkan berapi-api.

"Ini nggak bisa dibiarin. Kita harus lapor ke kepala sekolah", tambah Carly.

"Eh jangan plis. Aku yakin nggak lama lagi kak Darren akan berhenti kok. Aku nggak mau mempersulit keadaan", larangku.

"Mempersulit bagaimana Ella? Dia udah keterlaluan banget sama kamu. Ini bukan dibilang bully lagi. Ini penyiksaan namanya!", balas Pingkan marah.

"Jangan mentang-mentang dia anak pemilik sekolah, terus dia bisa berlaku seenaknya sama kamu. Cuma karena hal sepele doang kok dia dendam sampe segini lamanya. Pokoknya kita harus menuntut keadilan buat kamu Ella", tambah Carly.

"Pingkan, Carly.. please jangan dong. Cuma gini doang kok, nggak akan buat aku putus asa", ucapku memohon.

Setelah memberikan beberapa kalimat permohonan disertai tangisan, akhirnya Pingkan dan Carly luluh.

"Oke.. kali ini kita mengalah. Tapi, kalo sekali lagi dia bully kamu sampe berdarah, nggak akan kita diamkan. Kalo perlu, kita bakal lapor sampe ke orang tuanya. Biar tau rasa dia", ucap Pingkan final.

Aku yang ingin mengelak tidak bisa berbuat apa-apa karena Pingkan kembali mengancamku untuk mengadukan hal ini kepada orang tuaku. Aku hanya bisa pasrah dan berharap semoga kak Darren nggak akan membullyku lagi.

Aku yang penasaran kenapa bisa sampai di rumah sakit pun bertanya kronologinya. Tak menunggu lama Pingkan dan Carly menceritakan kronologi setelah aku tidak sadar. Saat aku jatuh pingsan, siswa yang lain hanya memandang remeh. Tidak ada yang berniat membantu walaupun Pingkan dan Carly telah berteriak minta tolong. Untunglah tak lama kemudian taksi yang di pesan secara online oleh Pingkan telah sampai. Jadi bapak driver membantu Pingkan dan Carly untuk mengangkatku masuk ke dalam mobil. Tujuan awal kami untuk ke rumahku berganti menjadi ke rumah sakit terdekat. Aku yang mendengar penuturan Pingkan dan Carly tambah bersyukur karena telah diberikan teman yang baik dan sangat pengertian kepadaku.

"Makasih ya. Kalian selalu membantuku. Maaf ya karena aku selalu merepotkan kalian", ucapku.

"Ih nggak apa-apa. Kita kan teman, teman itu harus saling membantu", balas Pingkan.

"Tenang aja. Sekarang, kamu istirahat aja dulu ya. Nanti sore baru kita pulang", ucap Carly.

Aku yang baru sadar dari pingsan tidak bisa tertidur dan hanya mendengar Pingkan dan Carly yang mengobrol, tidak ingin ikut berbicara. Setelah suster datang dan memberikan resep obat, aku langsung mengajak Pingkan dan Carly untuk pulang, setelah mengganti seragamku dengan seragam cadangan yang selalu kubawa. Untuk biaya perawatan, walaupun Pingkan dan Carly bersikeras untuk patungan, tapi aku tidak mengizinkan dan untunglah tabunganku masih cukup untuk membayarnya. Sebenarnya aku ingin pulang sendiri, tapi Pingkan dan Carly bersikeras untuk mengantarku. Aku hanya pasrah. Dalam perjalanan, aku jadi khawatir akan respon tentang perban yang dipasang di bagian kepalaku, hingga akupun menyiapkan alasan yang masuk akal untuk diberikan. Pingkan dan Carly yang mendengar rencanaku sempat tidak terima, namun saat aku memohon akhirnya mereka luluh dan berniat membantuku. Saat sampai di rumah, Mama dan Tessa yang melihat perban di kepalaku menjadi khawatir.

"Ya ampun Ella.. kepala kamu kenapa nak?" tanya Mamaku cemas.

"Kak, kok kepala kakak diperban? Kenapa?", tanya Tessa cemas.

"Ma, Tess, jadi gini.. tadi kan olahraga, temanku nggak sengaja melemparku dengan bola basket, terus kena di kepalaku deh", ucapku beralasan yang diakhiri cengiran.

"Beneran?", tanya Mama curiga.

"Nggak bohong kan kamu kak?", tambah Tessa.

"Iya beneran kok. Coba Mama tanya deh ke Pingkan dan Carly", ucapku meyakinkan.

"Iya tante. Teman kami nggak sengaja. Ditambah Ella yang nggak siap, jadilah seperti itu", ucap Carly membelaku.

"Oh syukurlah, Mama kira kamu di apa-apain oleh teman-temanmu sampe jadi kayak gini. Ternyata kecemasan Mama nggak terjadi", ucap Mama lega.

Deg...

Kok yang Mama 'kira' bisa tepat ya? Apa ini termasuk insting seorang ibu?

"Mama kok bisa berpikiran kayak gitu sih?", tanyaku terkejut.

"Nggak kok..Cuma kayak perasaan Mama aja", jawab Mama sambil lalu. "Kamu baik-baik aja kan? Mana yang sakit?", tambah Mama cemas.

"Udah kok tante. Tadi kita langsung bawa Ella ke UKS", jawab Pingkan mendahuluiku.

"Oh ya udah. Kalian masuk ke kamar Ella aja dulu ya. Habis itu kita makan.", kata Mama.

"Oh ia. Permisi tante..", ucap Pingkan dan Carly bersamaan.

Setelah kami ke kamar, aku berganti pakaian, sedangkan Pingkan tidur-tiduran, dan Carly yang melihat-lihat karena ini pertama kalinya dia masuk ke kamarku. Tak lama kemudian, terdengar teriakan Mama yang memanggil kami untuk makan bersama. Saat Papa pulang dan melihatku, reaksi Papa juga seperti Mama - cemas -, tapi aku memberi penjelasan persis yang ku ucapkan pada Mama dan Tessa, dan akhirnya Papa memelukku sambil menasihatiku untuk selalu berhati-hati.

Setidaknya hari ini aku masih bisa merahasiakan bully-an yang ku terima dari keluargaku dengan kebohonganku yang meyakinkan. Walaupun membuat rasa bersalah datang menghampiri. Tapi aku sadar tidak selamanya sesuatu yang dirahasiakan akan terus tersembunyi, suatu saat pasti akan terkuak dengan cara yang tidak terpikirkan.

ExtraordinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang