Bab 33

1.4K 102 17
                                    

"Hari sabtu nanti lo sibuk?", tanya kak Darren padaku.

"Kakak kan tahu kesibukanku kalo libur apa", jawabku.

"Itu sih gue udah tahu. Maksud gue, lo ada acara apa kek gitu", ucapnya setengah jengkel.

"Ohh.. nggak ada sih kak"

"Oke. Kalo gitu, kita bakal datang ke pesta wedding anniversary-nya oma sama opa gue", ucap kak Darren final.

Aku sontak terkejut selanjutnya jengkel mendengar ucapan kak Darren. Kebiasaan. Memutuskan sesuatu tanpa persetujuan.

Pasti itu acara besar. Dan aku bakal kesana? Aduh.. aku nggak mau.. aku nggak pede.. aku juga masih trauma sama opanya kak Darren..

"Eh?.. kayaknya aku nggak bisa deh kak. Aku baru ingat, hari sabtu nanti kami sekeluarga bakal ke rumah oma dan opa", ucapku menolak. Aku memang tidak berbohong tentang kami akan ke rumah oma dan opa, tetapi aku berbohong karena kami rencananya akan kesana hari minggu.

"Yah.. nggak seru dong", balas kak Darren lesu. Melihat kak Darren mempercayai alasanku, aku bangga pada diriku sendiri karena kebohonganku dipercaya.

"Maaf ya kak", untuk memperjernih aksiku, aku memasang muka lesu juga.

"Santai aja. Lo udah selesai kan? Kayaknya gue pengen naik wahana yang itu deh", ucap kak Darren seraya menunjuk wahana roller coaster. Ya, kami sedang berada di taman bermain. Kalau kata kak Darren sih, kencan.

"Bukannya waktu terakhir kali naik roller coaster kak Darren takut? Kalo kakak takut jangan deh", ucapku.

Mendengar ucapanku membuat wajah kak Darren sekilas memerah malu. Tapi hanya sekilas. Karena setelahnya, kembali ke wajah songong.

"Siapa bilang gue takut? Gue nggak sebanci itu ya", ucapnya membela diri.

"Buktinya waktu itu tangan kak Darren udah keringat dingin"

"Nggak mungkinlah. Ayo, gue udah nggak sabar nih", ucapnya seraya menarik tanganku untuk mengikutinya.

"Kak, kita naik wahana lain aja dulu. Kita kan baru selesai makan. Nanti muntah loh..", ucapku.

"Gue sih nggak apa-apa. Lo kali yang bakal muntah. Atau... apa lo takut ya?", balas kak Darren dengan -masih- memasang wajah songong. Aku yang merasa diremehkan pun jadi terbakar.

"Siapa takut? Ayo.."

Setelah mengantri, tibalah giliran kami untuk naik. Sedari tadi aku heran. Aku tak berhenti melemparkan tatapan bingung pada kak Darren. Ekspresi kak Darren dulu dan sekarang sangat berbeda. Jika dulu kak Darren kelihatan terpaksa dan ketakutan, sekarang kak Darren kelihatan bersemangat dan berani.

Apa yang terjadi sama kak Darren?

Roller coaster pun mulai berjalan. Awalnya berjalan pelan-pelan. Santai. Memberikan ketegangan, seraya menantikan kecepatannya.

Jujur aku agak takut. Jantungku berdetak kencang. Dan aku tanpa pikir panjang menggenggam tangan kak Darren.

Dingin?

Aku menatap kak Darren. Dan boom. Wajah kak Darren sudah seputih kertas. Saking sibuk dengan diri sendiri aku tidak memperhatikan. Sejak roller coaster mulai berjalan sampai saat ini, kak Darren belum bersuara. Dan aku sadar, aku pun begitu.

Ternyata kami berdua hanyalah sepasang insan yang menyembunyikan rasa takut dengan kesongongan.

"Wuuaaaaa....", seperti telah diatur padahal tidak, semuanya serempak berteriak histeris kala roller coaster melewati turunan yang dangkal, sebagai awal. Rasanya nyawa masih tinggal di atas, tapi raga sudah berjalan ke bawah.

ExtraordinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang