Bab 20

1.7K 109 2
                                    

Jatuh cinta...

Aku pernah merasakannya. Pada Jire, teman sekelasku di kelas 8 SMP. Jire bukanlah sosok pacar idaman satu sekolah. Dia nggak terkenal. Tapi kepintarannya dan keramahannya membuatku terpesona. Hanya dialah satu-satunya cowok yang nggak malu untuk berteman denganku, disaat semua cowok menghindariku. Dia selalu baik padaku. Dia nggak segan untuk membelaku saat aku diejek oleh teman-temanku yang lain. Dia nggak malu berdiri di sebelahku saat kami berdua menerima penghargaan dari kepala sekolah karena memenangi lomba. Aku senang, karena ternyata masih ada yang peduli padaku, selain Pingkan. Dan rasa senangku itu tidak bertahan lama. Aku yang menyadari bahwa kami mungkin tidak akan satu kelas lagi mulai khawatir. Takut jika nanti Jire melupakanku, karena nggak lama lagi kami akan naik ke kelas 9. Aku yang terlanjur terbawa perasaan, memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku padanya saat kami akan naik ke kelas 9. Dan ternyata, ekspektasi tidak selamanya sama dengan realita. Saat itulah pertama kalinya aku melihat sifat lain dari seorang Jire, sifat yang selama ini tersembunyi. Aku ingat jelas kronologi hari itu.

.......

"Ella, kamu ngajak aku ketemuan disini? Ada apa?"

"Ehmm.. begini.. Jire.. sebentar lagi kan kita bakal naik kelas, dan kita mungkin nggak akan satu kelas lagi", ucapku sendu.

"Yahh.. iya ya.. tapi kita tetap teman kok. Kamu tenang aja"

"Sebenarnya... Jire.. aku suka sama kamu"

Jire terdiam sejenak. Kaget.

"Kamu? Suka sama aku?"

"Iya.. kamu mau kan nerima rasa suka aku?"

"Hhh... kenapa?", dengusan jengkel yang ditunjukkan Jire membuat perasaanku jadi tidak enak, membuatku ingin segera lari. Tapi karena sudah terlanjur, kupikir aku akan meneruskannya.

"Karena, cuma kamu satu-satunya cowok di sekolah ini yang peduli sama aku. Kamu nggak malu untuk berdekatan sama aku. Kamu pintar, kamu ramah"

"Hhh.. eh kamu tuh salah paham. Aku tuh baik sama kamu karena aku kasian sama kamu. Lagian, kamu nggak sadar diri ya. Kamu itu bukan tipe aku. Udah deh buang-buang waktu aku aja kamu", setelahnya Jire pergi.

.......

Dan yang mengejutkan, ternyata saat naik ke kelas 9, aku masih sekelas dengan Jire. Perubahan dari Jire sangat terasa. Dia sudah tidak menyapaku, dia menjauhiku, dan segan untuk berada di sampingku. Membuat Pingkan heran dan ingin menanyakan langsung pada Jire, tapi aku memberikan alasan yang masuk akal untuk diterima Pingkan. Dan untunglah Jire tidak menjadi seperti teman-temanku yang lain, dia tidak ikut-ikutan mem-bully-ku. Dan hal itu berlanjut hingga aku lulus SMP.

Sejak saat itu, aku jadi lebih sadar diri. Aku jadi tidak berani untuk jatuh cinta pada cowok yang ku anggap sempurna. Aku berusaha menghindarinya. Karena cowok yang sempurna, lebih pantas bersanding dengan cewek yang sempurna juga, bukan cewek yang kelebihan berat badan kayak aku. Itulah pemikiranku.

Jujur, saat melihat kak Darren untuk pertama kali, rasa terpesona pasti ada. Dari rasa terpesona itulah muncul sedikit rasa suka. Sedikit.
Tapi sebelum rasa itu semakin membesar, aku jadi sadar diri, aku tidak semenarik itu. Sedangkan Jire - yang bukan cowok idaman satu sekolah - menjauhiku, apalagi kak Darren yang lebih dari Jire, itulah pemikiranku. Dan perlahan rasa suka yang 'sedikit' itu meredup dan digantikan oleh rasa takut karena perlakuan kak Darren.

Dan siapa yang bisa menghindari takdir? Tidak ada. Itulah yang terjadi. Karena rasa simpatiku, kak Darren berubah 180 derajat. Dari pembully, jadi pelindung. Perlahan membuat rasa takut menghilang, dan rasa suka yang tadinya redup jadi muncul kembali. Tapi lagi-lagi aku sadar diri, dan berusaha untuk menekan perasaan itu. Aku tidak berani untuk tersakiti lagi karena rasa yang sama.

ExtraordinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang