Bab 42

1.1K 110 21
                                    

Akhirnya, atas paksaan kak Darren, kami ke rumah sakit untuk memeriksa keadaanku. Hasilnya, aku dianjurkan beristirahat dan diberi resep obat untuk lambungku. Kak Darren langsung mengantarku pulang setelah mengantri di apotek untuk menebus resep.

Sesampainya di rumah, tidak ada orang. Kak Darren ingin menemaniku sampai Mama atau Tessa datang, tapi aku dengan tegas menolak. Aku tidak ingin dicap sebagai cewek tidak baik hanya karena kedapatan berduaan dengan pacar, sendirian, di dalam rumah. Selagi itu, aku tidak menjamin, tidak akan terjadi apa-apa nantinya. Aku sudah tahu sepak terjang kak Darren sebelum pacaran denganku, walaupun aku belum pernah menyaksikannya secara langsung. Walau selama kami pacaran hal paling jauh yang kak Darren lakukan adalah ciuman di hidungku, tapi aku tetap tidak yakin. Semua manusia pada dasarnya akan merasa tertantang jika kesempatan terbuka lebar. Dan karena aku tahu, kalau laki-laki dan perempuan berduaan di tempat sepi, iblislah orang ketiganya. Walaupun jika aku dipaka aku akan berusaha menolak, tapi aku hanyalah perempuan, yang tenaganya tentu saja tidak dapat mengalahkan tenaga laki-laki. Lebih baik mencegah kan? Daripada...

Syukurlah kak Darren tidak dalam mode keras kepalanya. Dan langsung kembali ke sekolah sesuai permintaanku.

Saat ini aku sedang berbaring di kamarku. Begitu mengaktifkan ponsel, banyak missed call dan chat dari Pingkan dan Carly. Rupanya mereka mengetahui yang terjadi dari kak Nick dan mereka sungguh khawatir.

Aku bersyukur punya teman seperti mereka.

Setelah menghubungi mereka, mendengar kalimat sarat khawatir dan meyakinkan mereka kalau aku baik-baik saja, aku memikirkan tentang perlakuan kak Darren tadi.

Raut khawatir di wajahnya, juga rasa bersalah dan rasa takutnya saat melihat aku muntah. Kenapa kak Darren begitu? Maksudku, aku ini kan cuma objek taruhan. Menurutku kak Darren tidak harus sampai sebegitunya. Sampai memaksaku untuk ke rumah sakit padahal menurutku tidak seserius itu keadaanku. Dia juga rela mengantri untuk menebus resep obatku. Kenapa? Tanpa diperlakukan seperti itu, aku tidak akan minta putus kan? Seharusnya kak Darren santai saja. Apa katanya? Sayang? Benarkah itu? Suatu kemungkinan melintas di pikiranku. Dan aku cepat-cepat menyangkal sebelum terlena. Karena hal tersebut sungguh tidak mungkin terjadi.

Aku segera mengenyahkan pikiran-pikiranku dan bersiap untuk tidur. Tapi, saat melihat jam yang masih menunjukkan pukul 10 dan mengingat pesan dokter untuk segera memakan obatnya, aku segera ke dapur dan makan obat. Karena harus menunggu 30 menit untuk mengisi perut pasca makan obat, aku memutuskan untuk menonton TV. Siaran apa saja yang bisa menghiburku di tengah kesendirian.

Mama datang untuk memasak makan siang saat aku baru saja selesai makan. Dan bingung melihat keberadaanku. Aku pun menceritakan semuanya. Mama awalnya khawatir dan sempat tidak ingin kembali ke toko untuk menjagaku, tapi aku meyakinkan Mama bahwa aku baik-baik saja karena telah mendapatkan penanganan dari orang yang tepat. Syukurlah Mama langsung lega, dan bersikeras bahwa aku harus istirahat dan akan kembali ke toko setelah Tessa pulang sekolah. Reaksi Mama sama persis dengan reaksi Papa saat Mama memberitahu soal kondisiku. Sedangkan Tessa? Terbahak-bahak dan terus mengataiku 'rakus' walaupun aku sudah menjelaskan padanya.

Ketukan pintu terdengar saat aku dan Tessa sedang menonton TV. Aku menyuruh Tessa untuk membukakan pintu dengan alasan aku sakit. Padahal karena aku malas aja. Aku kembali memusatkan perhatian di TV dan kurasakan Tessa sudah kembali.

"Siapa dek?"

"Lo udah baikan?"

"Udah"

Aku awalnya memperhatikan jenis suara itu. Setelah sadar aku langsung menoleh dan seketika mataku membulat kaget. Ternyata bukan Tessa yang mengambil tempat duduk di sampingku. Itu kak Darren.

ExtraordinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang