Prolog

8.3K 407 23
                                    

Di sebuah pulau nan jauh dari peradaban manusia. Bangunan-bangunan kokoh yang menyerupai kota, terbentuk mengelilingi sebuah kastil yang besar. Daratannya tak seluas peradaban manusia, namun sebuah kastil besar nan kokoh itu seakan menandakan kekuatan peradaban dari kaum yang mendiami pulau tersebut. Pulau yang tak menampakan diri secara kasat mata, demi kelestarian spesies mereka. Lazaron.

Tep ....

Tep ....

Tep ....

"Tuan, Lord menunggu Anda di kastil."

Pemuda yang tengah duduk tenang di kursi megahnya itu, mengangguk. Kemudian ia beranjak, hendak pergi ke kastil sesuai dengan pesan yang diberikan Ledrik, pelayan setianya.

Sesampainya di kastil, Ledrik dan pemuda itu masuk dalam satu ruangan yang besar dengan beberapa orang di dalamnya. Ruangan itu begitu luas dan hanya ada satu kursi di sana. Tepatnya, itu adalah singgasana sang pemimpin Lazaron. Karpet merah dengan pinggiran gold itu membentang dari pintu hingga ke singgasana. Di kedua sisi karpet itu berdiri para petinggi kerajaan—yang merupakan kepala pimpinan dari masing-masing klan keluarga terkuat di Lazaron.

"Tuan." Para pemimpin klan itu menunduk hormat saat melihat si pemuda.

Pemuda itu tak merespons, dia hanya berjalan tenang, lalu melakukan posisi berlutut dengan satu tungkai diangkat dan satunya lagi sebagai tumpuan. "Anda memanggilku?" tanya si pemuda.

Lord mengangguk saja, sambil menopang kepalanya dengan satu tangan yang berada di sisi tangan singgasana. "Kau selalu saja terlalu serius. Sesekali kunjungi aku tanpa harus diminta." Pemuda itu hanya menatapnya dengan tenang, seperti biasa. Sang Lord menghela napas, menurunkan tangan dan mulai serius. "Sudah waktunya."

Pemuda itu sedikit tersentak, begitu pun Ledrik. Perasaannya tidaklah salah.

"Sudah waktunya bagimu meneruskan tugas ini. Desca, kau anakku satu-satunya. Artinya kaulah satu-satunya penerus klan Desca, ini adalah kesempatanmu untuk berlatih menjadi penerus kerajaan."

Karena belum ada jawaban, sang Lord kembali meneruskan kalimatnya.

"Sudah lebih dari lima puluh tahun, aku memerintahkan Ledrik untuk mempelajari peradaban manusia, mempelajari kehidupan mereka dan bahkan segala sesuatu tentang mereka. Maka, kau tak akan kesulitan bersamanya di sana. Aku juga sudah memilihkan salah satu pelayan dari klan manusia yang akan mempermudah tugasmu di sana."

"Manusia?" ulang pemuda bernama Desca itu. Ekspresinya menunjukan perasaan tidak setuju. "Mengapa aku harus membutuhkan manusia yang merupakan ras terlemah? Aku hanya perlu menangkap mutan seperti misi kerajaan kita sebelum-sebelumnya, kan?"

Sang Lord tersenyum kecil. "Kau jangan merendahkan manusia, Desca. Mereka memang lemah, karena takdir mereka tak diberikan kekuatan seperti ras kita. Namun, mereka punya kekuatan untuk terus berubah, terus mengembangkan sesuatu. Tidak seperti kita yang malah takut pada perubahan." Lord menatapnya serius. "Aku memilihkan pelayan yang tepat untukmu. Ledrik akan menunjukkan tempatnya."

"Lord, apa dasar penilaianmu terhadap manusia yang akan menjadi pelayanku itu?"

Lord hanya menarik senyum datar. "Kau akan tahu ketika bertemu dengannya."

"Baiklah." Desca menundukkan kepala pertanda hormat.

"Dan satu lagi, Desca." Pemuda itu kembali mengangkat kepala menatap Lord. "Tugasmu kali ini bukan sekadar menangkap mutan." Ekspresi sang Lord berubah serius dan lebih mencekam. "Baru-baru ini aku mendapat laporan, bahwa ada satu spesies yang telah mengkhianati peraturan yang kita buat. Tampaknya, mereka ingin bersifat egois dan membangkang. Cari tahu dari mana spesies itu, lalu tangkap mereka. Tidak seharusnya mereka berbaur dan mengacaukan peradaban manusia."

"Baik, Lord!"

***

"Lo kenapa lagi, Ndra?" tanya Rimba begitu Andra bergabung ke meja mereka dengan wajah kusut.

"Masalah adik lo lagi?" lanjut Elka bertanya.

Akhir-akhir ini pemuda itu memang sering seliweran mengurusi adik satu-satunya, Adira. Gadis remaja yang tahun depan akan duduk di bangku SMA itu sering membuat Andra cemas berlebihan. Bukan tanpa alasan, sebab beberapa kali gadis itu melakukan percobaan bunuh diri. Sudah cukup lama Adira tak melakukan itu, namun sejak beberapa hari yang lalu hal tersebut terulang lagi. Adira nyaris memotong urat nadinya sendiri. Alasannya seperti yang sudah-sudah, dia muak dengan kekuatannya yang bisa membaca pikiran orang.

"Adek gue rasanya makin parah," keluh Andra sedih. "Kemarin dia habis terapi ke psikolog, tapi malah kacau karena si psikolog mungkin berpikiran jelek tentang Adira. Dan kalian tahulah apa jadinya, Adira bisa ngebaca itu dan dia lagi-lagi bersikap di luar kendali." Andra mengembuskan napasnya setelah menjelaskan hal itu.

"Tahun depan adik kamu harusnya masuk SMA kan? Apa tidak sebaiknya kamu coba memasukan dia ke sekolah formal?"

"Bagaimana caranya, Nis? Dia aja muak keluar rumah karena selalu denger isi pikiran orang hanya dengan saling tatap doang. Apalagi sampai harus ada kontak fisik. Dia sendiri yang memutuskan untuk menutup diri. Baru-baru ini gue cukup senang pas tahu dia mau coba keluar rumah, sekadar ke minimarket atau beli makanan di depan komplek, tapi nyatanya apa?" Andra mendesah terlihat lelah. "Sepulang dari luar rumah, Adira mengamuk histeris dan meracau hal yang nggak bisa gue pahami. Dia ketakutan."

Sam menepuk pundaknya, seakan memberi tambahan kekuatan dari sentuhannya itu.

"Adira ketakutan?" gumam Elka pelan, namun masih bisa terdengar oleh teman-temannya. "Apa mungkin, dia mendengar isi pikiran seseorang yang mungkin melakukan kejahatan?" Elka menatap Andra yang kini juga balas menatapnya, terlihat berpikir. "Adira sudah mau mulai belajar keluar rumah, itu artinya dia mau belajar menerima segala bentuk opini orang lain. Kekuatan yang dia punya sudah ada sejak dia masih kecil, dan itu bukan hal baru lagi bagi keluarga lo. Dengan begitu, seharusnya Adira mulai terbiasa dengan pikiran jelek orang-orang mengenai dia. Tapi kali ini, dia ketakutan? Pasti ada sesuatu yang sangat mengganggunya. Maksud gue, mungkin dia mendengar atau bahkan melihat isi pikiran orang yang baru saja melakukan kejahatan, lalu dia ketakutan."

"Ah, lo jangan berpikir terlalu jauh, El!" ujar Rimba cepat. Pasalnya, ekspresi Andra tampak pias, bertambah cemas kepada adiknya. "Jangan pikirin perkataan Elka, sebaiknya lo dekatin adik lo pelan-pelan."

Andra mengembuskan napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya di sofa. "Gue harus cari tahu lebih dalam lagi."

Rimba melayangkan tatapan kesalnya pada Elka yang sembarangan berucap, namun gadis itu malah balas melotot padanya. Rumah pohon itu akhirnya hening.

Tanpa mereka sadari, pemaparan Elka mungkin ada benarnya.

***

Welcome to part prolog!!!

What do you think? Bagaimana menurut kalian? Uhuhuhu ... plis komen ya, komen, komen, komen. Biar aku tahu tanggapan kalian mengenai sequel kali ini.

Oh iya, kemarin siapa yang bahas Adira di kolom komentar part terakhir ASD? Keren banget bisa samaan gitu dengan ide cerita yang aku buat. Ink bonus banget buat kamu dong karena bener-bener kecapaian maunya😂.

Dan bagi kalian yang baru bergabung menjadi pembacaku di buku ini, kalau kalian bingung dengan Adira yang ternyata esper, kalian bisa baca di novel sebelumnya. Ah, atau tidak perlu juga sih karena semakin jauh cerita ini akan semakin memperjelas semuanya.

Tapi, emang lebih enak bagi pembaca yang sudah membaca 2 cerita sebelumnya ya. Lebih bisa mengenal tokoh-tokohnya.

Aliansi Rahasia [Sequel Ke-2 AOS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang