Mau tanya, kalian lagi apa saat membaca cerita ini?
***
Seperti perkataan Sam, sepuluh menit setelah Annisa menyelesaikan makannya, Rimba datang dengan mengetuk plafon di atas ruangan itu. Annisa lantas berdiri saat melihat Rimba pelan-pelan mulai mencopot papan segi panjang yang mulai lapuk itu.
Perlahan wajah babak belur Rimba mulai terlihat jelas.
"Lo oke, Nis?" tanya Rimba saat melihat keadaan gadis itu lusuh. "Lo kuat 'kan?"
Annisa mengangguk walau sebenarnya meragukan kemampuan dirinya saat ini. "Aku kuat. Bagaimana caranya aku bisa ikut kamu, Rim?"
Pemuda itu mengulurkan tangannya. "Pegang tangan gue, biar gue tarik lo ke atas ini."
"Aku berat," bisik Annisa merasa ragu dengan ide ini. Gadis itu menoleh ke arah pintu besi yang tertutup rapat. "Bagaimana kalau kita kelamaan dan ada yang lihat?"
Diterpa cahaya remang-remang lilin yang perlahan mulai habis terbakar panasnya api, wajah Rimba begitu jelas memancarkan keyakinan.
"Percaya ke gue!" tegasnya.
Akhirnya, dengan menepis segala pertimbangan yang akan memperlambat keadaan genting ini, Annisa memutuskan untuk mengikuti rencana Rimba. Gadis itu mendekat dan memegang tangan Rimba.
"Saat lo udah dekat dengan papannya, lo harus pegangan di papan ini biar gue lebih mudah bantu lo sampai di permukaan. Paham?"
Annisa mengangguk.
Rimba akhirnya mulai menarik Annisa, hal ini jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan mengingat ia harus ekstra hati-hati agar papan tua yang menjadi plafon ruangan ini sudah tua dan gampang reyot. Tambah lagi, kayu tua cenderung sensitif dan gampang berderit, mengeluarkan bunyi berisik.
Ketika tangan Annisa bisa mencapai papan, gadis itu mengarahkan seluruh tenaganya dengan sungguh-sungguh. Kedua tangannyaa menjadi tumpuan seluruh kekuatan.
"Ayo, Nis, lo bisa." Rimba terus mensugessti sambil bantu menarik gadis itu agar lebih mudah naik ke atas plafon.
Rencana mereka rusak begitu saja ketika mendengar derit panjang yang memuakkan, berasal dari pintu besi tua ruangan tersebut.
"Wah ... wah, kalian sedang apa?"
Tubuh Annisa menegang, gadis itu lantas terjatuh begitu saja.
"Annisa!" teriak Rimba tak dapat menggapai tangan Annisa. Mata Rimba melotot saat melihat sosok Karin berdiri dengan setengah badan bersamdar ke kusen pintu.
"Usaha yang bagus, kawan-kawan, tetapi sayangnya aku tidak bermaksud membiarkan kalian kali ini." Karin masuk sembari membawa lilin putih yang masih utuh. "Awalnya aku tidak curiga ke Sam karena menurutku dia sudah cukup jauh bertindak keterlaluan. Tetapi ternyata dugaanku salah. Beruntung sekali aku berniat baik mengganti lilin di ruangan ini, astaga, aku benar-benar terkejut sampai nyaris kena serangan jantung."
Kalimat itu jelas-jelas dikatakan dengan santai, tanpa ada aksen orang yang benar-benar terkejut.
"Sialan!" umpat Rimba tertahan. Wanita itu jelas sedang mengintimidasi mereka. Dengan jas putih panjang yang kerap kali dipakai orang-orang yang bekerja di laboraturium, Karin bersidekap setelah berhasil menghidupkan lilin baru.
"Jadi, Rimba, kamu mau turun sendiri atau aku paksa?"
"Lari sekarang juga, Rimba!" jerit Annisa.
"Lo gila, Nis? Gue nggak mungkin ninggalin lo di sini bareng perempuan gila itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aliansi Rahasia [Sequel Ke-2 AOS]
Mystery / Thriller[END] Fantasi-misteri [Disarankan membaca dua buku sebelumnya : AOS dan ASD Ada banyak misteri di dunia ini tentang makhluk yang tidak bisa dinalar oleh otak. Tetapi sesungguhnya, mereka ada. Terkadang bahkan berbaur di antara kita. Untuk menjaga ke...