Bagian 44

1K 258 66
                                    

Kepergian Karin membawa Melody dan Adira akhirnya dapat disusul oleh Rimba dan kawan-kawan. Mereka bertemu di lorong menuju ruangan tempat Elka dan Zato bertarung.

"Wah, wah, apa kamu sedang buru-buru Karin?" tanya Tomi yang saat ini keadaannya juga tidak terlalu baik.

Andra berbisik padanya, "Sebaiknya jangan memancing emosi iblis itu, keadaan Bapak sekarang tidak terlalu baik."

"Diam kau, aku berani karena jumlah kita banyak," kata Tomi tanpa tahu malu. Andra mendecih. "Hei, Melody, apa kamu baik-baik saja?"

Melody yang terkulai dalam rangkulan Karin itu tersenyum sinis dan mengangkat kepala. "Seharusnya gue yang nanya soal itu."

Rimba diam dan menyimak saja. Dia lebih tertarik pada Karin yang dapat membawa Melody dan Adira dalam rangkulannya itu. Tak tampak kesusahan sama sekali di wajahnya, seakan-akan ia memang melakukan hal itu dengan enteng.

"Sebaiknya kalian jangan bermain-main, aku sedang sibuk sekali. Dan aku tidak ingin melayani kalian."

"Oh, begitukah? Kalau begitu, Anda silakan meninggalkan Melody dan Adira di sini, kemudian pergi," kata Andra.

Karin terkekeh. "Diam kamu! Seharusnya aku bunuh saja kalian!"

"Siapa kau yang sembarangan membicarakan soal pembunuhan?" Suara Desca terdengar, perhatian Karin tertarik begitu saja kepada sosok yang berada di belakang Rimba dan Tomi. "Kau pikir nyawa manusia lebih remeh dibandingkan nyawa iblis sepertimu?"

Karin terbelalak ketika melihat Desca.

"Lepaskan dua manusia itu," katanya dengan nada dingin.

"T-tidak akan!"

"Kau tidak kuperkenankan untuk menolak."

Kalimat Desca itu adalah sugessti yang selanjutnya membuat tubuh Karin gemetar dan menjatuhkan Melody pun Adira.

"Apa yang terjadi?" bisik Tomi bertanya dengan heran.

Rimba menggeleng. "Jangan tanya ke gue atau Annisa, karena kami juga sama bingungnya."

Annisa yang berada di samping Rimba akhirnya ikut nimbrung. "Mungkin Kak Tomi bisa bertanya pada Ledrik."

Kemudian pada saat Tomi menoleh ke arah Ledrik, ia menjadi malas bertanya karena entah dari mana asalnya, Ledrik mendapatkan sejumlah keripik yang dikunyahnya dengan santai kemudian menonton aksi Desca seperti sedang menikmati film laga di bioskop besar.

Tomi kembali menatap Rimba dan Annisa. "Orang itu nggak waras."

"Gue rasa begitu," timpal Rimba.

"Hemm, hemm." Annisa hanya bergumam.

Kembali pada keadaan Karin. Wanita itu memundurkan langkah, menunjuk wajah Desca dengan tangan gemetar.

"Siapa kamu?!" Nada suaranya membentak namun terselip rasa takut di sana. "Menjauhlah!"

Seperti biasa, Desca tak mengeluarkan reaksi berlebih. Pemuda itu hanya menatap Karin dengan tenang, kemudian mengangkat sebelah tangannya. "Kau tidak pantas bertanya dan kau tidak pantas memerintahku!"

Jari tangan Desca yang awalnya terbuka, perlahan membentuk menjadi kepalan. Seiring dengan pergerakan itu, Karin merasa tenggorokannya tercekik. Wanita itu memegangi lehernya, kemudian berteriak tanpa suara. Wajahnya menjadi pucat, lalu semakin menjadi panik ketika menyadari bahwa ia tak dapat bersuara.

"Hei, kalian yang di belakang sana, apa aku harus membunuhnya?"

Rimba dan lainnya terkesiap mendengar pertanyaan itu. Mereka masih bingung untuk menjawab.

"Wanita itu sepertinya masih berguna, Tuan. Maksudnya, isi kepalanya pasti berguna demi menjawab pertanyaan-pertanyaan kita selama ini. Termasuk menjawab misteri soal lord werewolf terdahulu."

"Itu artinya, selain ingatan wanita jalang ini, apa kita tidak membutuhkannya lagi?" tanya Desca lagi.

Ledrik mengangguk mantap. "Iya Tuan."

"Baiklah, biar aku permudah."

Desca akhirnya mengambil semua kenangan dan ingatan yang tersimpan dalam otak Karin. Berulang kali Desca mengeryit ketika mendapati kenangan yang kurang mengenakan dan juga potongan kenangan yang mampu menjawab soal misteri dari kejadian yang melibatkan dua dimensi alam yang berbeda ini.

Ketika Desca membuka matanya, itu adalah pertanda bahwa keinginannya sudah terpenuhi. Semua ingatan Karin diserapnya dengan baik. Ekspresi pemuda itu bertambah dingin, senyumnya terukir menyeramkan.

"Kau siap untuk menemui maut?"

Karin membelalak, wajahnya makin pias, keringatnya bercucuran. Wanita itu hendak lari, namun Desca menahannya hanya dengan sebelah tangan yang mengayun ke kanan. Seketika tubuh wanita itu ikut terayun dan menabrak tembok lorong itu.

Desca mengepalkan tangannya kuat-kuat, tubuh Karin pun bereaksi seperti tangan Desca, terdengar patahan-patahan tulang akibat tubuh Karin yang kelihatan seperti menyatu satu sama lain. Kemudian saat tubuh itu tak berbentuk jelas lagi, Desca membuka tangannya dengan kasar, saat itu tubuh Karin seperti meledak, menyisakan tetesan-tetesan darah yang jatuh bertebaran.

Suasana menjadi sangat hening. Ekspresi Rimba dan lainnya—terkecuali Ledrik—kaget luar biasa.

"Kita siap melanjutkan perjalanan?" tanya Desca tenang.

"Tentu saja, Tuan!" jawab Ledrik.

Keduanya mulai berjalan tanpa memedulikan Rimba dan lainnya yang masih belum mampu menyadarkan diri.

"Kita beneran aman ikut mereka 'kan?" tanya Andra.

Rimba menjawab, "Seharusnya ... iya."

Andra melotot. Seharusnya?

****

A/N : Halo, apa kabar? Mega menyapa dari perbukitan. Maaf sudah membuat kalian menunggu lama. Kemarin daerahku kena gempa, beberapa hari berturut-turut. Kondisi lumayan kacau bahkan sempat harus mengungsi, alhamdulillah tidak terjadi hal yang lebih membahayakan. Btw, aku tinggal di Sulteng bagian Kabupaten Parigi Moutong (Buat jaga-jaga kalau ada yang nanya, krna aku jarang balas komen).

Apa kalian masih menyimpan cerita ini?

Masih menunggu?

Semoga kita lebih sering saling sapa lewat cerita, ya.

Salam dari Elka dkk, yang kangen kalian.

Aliansi Rahasia [Sequel Ke-2 AOS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang