Bagian 13

2.1K 296 18
                                    

Rapat itu terus berlangsung.

"Lalu bagaimana dengan Bapak sendiri, mengenai sms Bapak yang bilang kalau orang yang Bapak ikuti malah masuk ke rumah Almarhumah Dokter Karin?" timpal Andra, ingin kembali fokus kepada kasus.

"Itu ... saya belum bisa memastikannya."

"Apa jangan-jangan Karin sebenarnya belum tewas?" kata Rimba. Cowok itu menatap Tomi dengan sorot tak terbaca. "Bisa saja, kan? Jasatnya tidak ditemukan, hanya diduga sudah hancur bersama ledakan bom itu. Tapi, kita tidak membuat kemungkinan dia selamat."

"Apa iya?" Annisa ikut nimbrung. "Kalau memang iya, itu artinya kasus sebelumnya belum selesai. Tapi, ini seperti sangat rumit. Mana mungkin ... Dokter Karin selamat?"

Kemudian mereka diam lagi sampai beberapa menit sebelum Tomi kembali bersuara.

"Saya belum mendapat informasi lebih. Di samping itu, saya juga tidak boleh memberikan petunjuk berdasarkan dugaan seperti ini. Ah, tidak. Maksud saya jika hal ini kita angkat sebagai bentuk laporan kepada polisi, mereka akan menduga ini hanyalah pernyataan tak berdasar," papar Tomi.

"Kami mengerti." Elka menimpali.

"Tapi, Pak. Kami juga punya bukti foto mayat yang ada di gang waktu itu," ucap Rimba dengan nada pelan dan ngeri.

Tomi menggeleng. "Simpan itu. Kita gunakan untuk penyelidikan selanjutnya. Kemampuan Andra dan Adira tidak boleh sampai terendus keluar, apalagi sampai dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Lebih baik kalian bergerak seperti biasa, tanpa terikat oleh polisi."

"Tapi, sekarang kami malah bekerjasama dengan Bapak," sambung Sam.

Tomi menarik senyum kecil. "Itu berbeda. Saya polisi yang mendukung penyelidikan kalian, sekaligus yang memudahkan. Saya percaya jika kalian bisa memudahkan penyelidikan dengan cara kalian sendiri."

Lima remaja itu saling melempar lirikan dengan wajah yang kurang lebih sama. Sama-sama bersyukur bahwa mempercayai Tomi bukanlah hal yang salah.

"Jadi, bagaimana kalau sekarang kita fokus ke Adira dulu?" tanya Elka. Dia menatap gadis yang sejak tadi paling tenang bahkan diam seakan tak mendengar apa-apa itu. "Kamu bisa melukiskan wajah pelakunya, Dir?"

"Lebih tepatnya membuat sketsa."

"Ya, itu bagus. Yang terpenting kita bisa mengenali wajah pelaku," lanjut Tomi. Dia kemudian memandang Sam dan Annisa. "Ehm, untuk kalian berdua sebaiknya tetap menjadi tim pengintai. Maksudku begini, akan lebih baik jika kita membagi tim ini ke beberapa kelompok untuk masing-masing fokus kepada tugasnya."

Elka mengangguk-anggukan kepalanya menyetujui. "Gue setuju. Untuk Sam dan Annisa, mereka emang klop menjadi pengintai sekaligus mengontrol dari jauh."

"Ya, jadi begini ... Annisa dan Sam adalah tim pengintai jarak jauh, saya, Andra dan Adira adalah pengintai jarak dekat lalu—"

"Saya juga ikut?" potong Adira terperangah, gadis itu mengerjap saat semua mata terfokus padanya. "Ehm ... t-tapi kan saya ...."

"Kamu harus ikut!" ucap Elka diplomatis. Seperti biasa, ucapan cewek ini memang susah dibantah. Entah untuk alasan apa, Adira yang biasanya dingin dan tak mudah terintimidasi, kini mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan memilih mengangguk. "Kamu dan Andra adalah kombinasi yang sempurna untuk menemukan petunjuk."

"Benar!" seru Tomi. Dia kembali melanjutkan penjelasannya. "Adira adalah satu-satunya orang yang mengetahui secara jelas wajah si pelaku. Sementara itu, ada Andra yang bisa mendeteksi kejadian apa saja yang memungkinkan akan terjadi seperti waktu di toserba kemarin."

Semua yang mendengar itu hanya mengangguk lambat-lambat, mereka setuju.

"Untuk Elka dan Rimba, seperti biasa mereka adalah tim eksekusi. Pengintai jarak dekat sekaligus yang akan turun pada eksekusi kasus, dan jika diperlukan saya akan ikut serta."

Aliansi Rahasia [Sequel Ke-2 AOS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang