Bagian 3

2.5K 324 19
                                    

Empat remaja yang duduk melingkar di sebuah meja kafe bernuansa klasik itu menghening. Elka baru saja membeberkan kejadian yang luar biasa sulit dinalar. Tiga diantaranya hanya bisa bertukar pandangan, sulit memberikan respons kepada gadis itu. Di pertemuan kali ini, Andra tak dapat hadir karena harus menemani adiknya—Adira—yang lagi-lagi berada di rumah sakit usai mencoba melakukan percobaan bunuh diri.

Annisa menggaruk tekuknya, tampak mendekat pada Elka. "Kamu ... baik-baik aja kan, El?"

"Maksud lo apa sih? Gue oke kok." Elka tak paham.

"Maksud Annisa, lo mungkin kurang istirahat jadinya ngelantur," lanjut Rimba.

"Jadi maksud kalian gue hanya berhalusinasi, gitu?" ucap Elka tersinggung.

"B-bukan gitu ...." Annisa meringis, lalu menatap Elka dengan pandangan bersalah. "Tap-tapi, El ... vampir?" katanya menggantung.

"Nggak masuk akal?" sambung Elka cepat. "Gue ngerti, Nis. Ngerti. Gue juga merasa nggak masuk akal. Sangat! Tapi ... ya, tapi gue serius nggak lagi berhalusinasi. Asal lo tahu, bahkan sampe sekarang gue nggak tidur karena mikirin itu!"

Lalu mereka terdiam lagi, seakan kembali merenungi penjelasan Elka. Sangat mustahil jika gadis itu bercanda. Lingkaran hitam samar di sekitaran matanya cukup membuktikan bahwa ia kurang tidur, dan lagi hal ini sangat tidak lucu untuk dijadikan bercandaan. Elka tak pernah bercanda sampai sejauh ini.

Sam meletakan ponselnya di tengah-tengah meja. Ponsel tersebut menampilkan sebuah artikel tentang vampir. Rupanya sedari tadi pemuda itu mencari berbagai ulasan mengenai makhulk mitologi itu. Daripada menyangkal keras penjelasan Elka, ia lebih memilih untuk mencari jawabannya sendiri.

"Vampir itu makhluk mitologi, Elka. Dia seharusnya nggak ada. Ras ini kebanyakan muncul dari buku-buku kuno, dan secara turun temurun diteruskan. Gini deh, sampai sekarang belum ada yang bisa membuktikan kebenaran vampir. Namun, nggak jarang yang percaya dengan keberadaan makhluk itu, mungkin karena mereka pernah melihat atau apalah yang jelas gue sendiri nggak menampik keberasaan mereka," jelas Sam panjang lebar. Semua mendengarkan dengan hikmad. "Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, vampir sebenarnya nggak ada, hanya cerita yang membuatnya tampak benar-benar ada. Atau kedua, vampir sebenarnya ada hanya karena semua tentangnya terlalu fiktif dan tidak adanya pembuktian maka keberadaannya hanya dianggap sebatas cerita kuno penuh bumbu fiksi."

Rimba mengangguk-angguk, menyandarkan punggungnya ke kursi sembari bersidekap dada. "Jadi, itu artinya keberadaan vampir sebenarnya belum bisa kita pastikan kebenarannya, namun juga tidak bisa kita katakan tidak ada?"

"Benar."

"Wahh, aku jadi merinding," kata Annisa menggosok kedua lengannya, lalu menggeser kursi mendekati Elka. "Bagaimana perawakannya, El? Ada taring kayak cerita-cerita kebanyakan?"

Elka berpikir sejenak. "Nggak. Seperti manusia biasa. Hanya saja pakaiannya mencolok seperti dari kerjaan kuno, matanya agak kemerahan, lalu cara bicaranya formal." Elka kemudian tersentak sendiri. "OIYA! GUE BARU INGAT KENAPA DIA BISA BAHASA MANUSIA?!" teriaknya tanpa sengaja.

Rimba langsung meringis. "Haish, pelankan suara lo!"

"Ya, maap." Elka menatap ke sekitar, lalu seketika merasa malu saat beberapa pasang mata menatapnya aneh. Elka tersenyum canggung.

"Itu artinya vampir punya sebuah kerajaan." Sam kembali pada obrolan, membuat Elka dan lainnya kembali memfokuskan diri.

Elka mengangguk, setuju dengan pernyataan Sam. "Gue inget banget. Satu lagi laki-laki yang gue ceritain bernama Lendrik itu bilang mereka berasal dari Lazaron."

"Lazaraon?" gumam Sam mengulangi. Pemuda itu tampak sangat serius. "Menarik," lanjutnya lagi.

"Mengenai bahasa kita yang bisa mereka kuasai. Aku rasa nggak heran mengingat mereka itu ras berbeda dari kita. Mereka punya kekuatan atau semacamnya kan? Kehadiran mereka saja sudah bentuk magis menurutku," kata Annisa.

Aliansi Rahasia [Sequel Ke-2 AOS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang