Bagian 24

2.1K 323 90
                                    

Karena kemarin sudah tanya asal kota, sekarang mau nanya umur lagi. Kalian umur berapa?

Note : Guys, jangan panggil aku 'thor' atau 'mimin'. Panggil aja Mel atau Meg. Orang yang kenal aku deket biasanya panggil Meg, pembaca biasanya Mel. Bagi yang umurnya 19 ke bawah, boleh panggil Kak Meg, Kak Mel. Silakan. Senyaman kalian. Nggak usah thor atau min lagi ya. Kita harus akrab😅

****

Elka dan teman-temannya cukup kaget saat Melody membawanya ke Klasik kafe. Sebab kafe ini juga merupakan tempat mereka sering berdiskusi. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.

Melody membawa mereka ke meja yang berada di sudut kafe itu. Ada sebuah meja cokelat bulat lalu sofa panjang berada di sudut kafe, dan sofa berukuran lebih kecil di tiga sisi lainnya meja itu. Elka dan kawan-kawan memgambil duduk, bersebelahan mengisi sofa panjang. Sementara itu, Rael, teman yang dimaksudkan Melody menatap mereka dengan kening berkerut.

"Hai, El. Kenalin mereka ini temen-temen gue."

"Lo tiba-tiba serindu itu dengan masa SMA kita, Mel?" tanya Rael merasa kasihan. Melody memgerutkan bibir, menatap Rael ingin jengkel. "Lo kangen Rama lagi? Atau ... lo kangen Sam?"

Melody yang duduk di sofa paling dekat dengan Rael itu akhirnya melayangkan tabokan. "Diem lo, bego!"

Tomi berdeham menegurnya, namun Melody tidak peduli, mengabaikan bahwa yang sedang menegurnya itu adalah atasannya sendiri. Bersama Melody, Tomi merasa wibawanya lenyap. Luas biasa sekali gadis urakan ini.

Sejak Melody menyebut nama Rael, Elka membayangkan sosok menyeramkan dan menakutkan. Mungkin lelaki berbadan besar dengan otot-otot tangan yang dipenuhi tato dan gigi gergaji yang siap melahap orang. Mengingat teman Melody itu berkecimpung di pasar gelap, jadi Elka menyimpulkan mungkin orang itu adalah preman.

Nyatanya, Elka dihadapkan dengan seorang lelaki sepantaran Melody, kulitnya tidak terlalu putih namun mulus, bibirnya merah muda dan tipis, alisnya rapi, giginya putih dan berjejer seirama. Badannya bagus, rambutnya dipotong dengan gaya fashionable, pakaiannya pun tak kalah dinamis bersamaan dengan sorot bersahabat dan senyum yang manis.

Intinya, cowok itu ganteng banget!

"Daripada ngeledekin gue, mending langsung saja deh," kata Melody mulai jengah dengan tingkah Rael. "Gimana soal chat gue kemarin?"

"Soal peluru itu?"

"Ya, terus apa lagi, bego?"

"Sesekali, Mel, lo ngomong ke gue jangan kasar begini." Rael mendengus dan merogoh sesuatu dari saku celananya. Sebuah kertas berisi deretan alamat tempat. "Gue bahkan udah cariin alamat si agen penjualnya di daerah Jakarta. Peluru jenis ini memang langka, untuk tembus ke Indonesia aja butuh waktu beberapa tahun dan mengakses pemesanannya pun lumayan sulit. Jadi, bisa dipastikan pemilik peluru ini orang yang cukup berpengaruh dari sisi ekonominya."

"Orang kaya," timpal Melody mengangguk-angguk. "Kira-kira kami bisa ajak si agen ini kerjasama?"

"Soal itu gue belum tahu," kata Rael menyeruput minumannya. "Eh, kalian pesan aja dulu, biar gue yang traktir."

Melody menoleh ke arah empat remaja yang terdiam itu. "Kalian mau pesan apa?"

Saling pandang, mereka berbicara lewat tatapan.

"Gue kayaknya minuman aja," kata Rimba memulai. "Latte."

"Capuccino," lanjut Elka.

"Caramel Machiato," sambung Andra.

"Milkshake." Annisa menambahkan.

"Oke, anak-anak, jadi apakah kalian bisa kenalan sekarang?" tanya Rael dengan senyum yang terkembang hingga membuat matanya menyipit.

Aliansi Rahasia [Sequel Ke-2 AOS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang