Bagian 20

2K 312 28
                                    

Sam dilarikan ke rumah sakit. Pemuda itu pingsan membuat Annisa tak henti-hentinya meraung saat menghubungi Elka via telepon dan menghebohkan seluruh warga sekolah. Dengan kasus ini sekolah pun ditutup sementara. Lalu petugas kepolisian kembali diturunkan untuk penyelidikan dengan Annisa sebagai saksi sekaligus tersangka utama. Ya, belum diketahui dari mana arahnya peluru tersebut dan siapa penembaknya, namun keberadaan Annisa di sana, hanya berdua dengan korban, bukankah hal itu menempatkannya di posisi sulit?

Elka merangkul Annisa yang gemetaran. Mereka berada di depan ruang UGD tempat Sam di rawat. Rumah sakit ini adalah milik keluarga Elka, milik ayahnya. Sehingga saat Sam sampai, Elka tanpa segan berteriak kepada siapa pun yang ada di sana. Nepotisme? Anggap saja begitu, tetapi sebagian yang menuruti teriakannya pasti karena terlalu kesal dan benar-benar menganggap kondisi Sam mengkhawatirkan.

Kemeja putih serta kerudung putih Annisa penuh dengan bercak darah. Gadis itu tertunduk menatap dua telapak tangannya yang gemetar penuh darah, sesekali gadis itu meraung, kemudian Elka menariknya ke dekapan lagi.

"Polisi sebentar lagi akan nyusul ke rumah sakit," kata Andra memecah keheningan di antara mereka. "Kemungkinan Annisa akan diinterogasi. Bagaimana ini?"

"Polisinya bukan Pak Tomi?"

Kemudian Andra menggeleng. "Sepertinya bukan, tetapi gue udah minta biar Pak Tomi ikut andil."

Rimba mendekat ke arah mereka, kemudian duduk di hadapan Annisa dan Elka dengan penuh hati-hati. "Nis, maafin gue ya. Tapi, boleh 'kan, kita nanya-nanya dikit sebelum kepolisian datang?"

"A-aku nggak apa-apa. A-aku nggak apa-apa." Gadis itu menggigit bibir bawahnya. "Tapi, t-tapi aku nggak bisa bantu apa-apa." Annisa terlihat ingin menangis lagi. "A-aku nggak lihat a-apa-apa, Rimba."

"Tapi, lo tahu dari mana arah peluru itu 'kan?"

Annisa memandang Rimba tak yakin, kemudian kepalanya menggeleng lemah. "Pandangan aku langsung dihalangi Sam. A-aku pikir dia ... yah, aku nggak tahu dia menghalangi peluru yang hendak menembak ke arahku."

"Kalau begini caranya, kita nggak punya pilihan lain. Harus nunggu tim kepolisian dan ikut dalam reka adegan mereka nantinya," kata Andra menimpali. Elka dan Rimba mengangguk setuju.

Detik berikutnya suara pintu ruang UGD yang terbuka menyentak perhatian mereka.

"Apa tidak ada keluarga korban?"

"Kami mewakili keluarganya. Keluarga korban semuanya berdomisili di London," jawab Rimba gesit. Dokter itu mengangguk sekali.

"Pasien akan dioperasi, untuk itu kami memerlukan persetujuan—"

"Lakukan apa pun demi kesembuhan pasien," potong Elka tegas.

"Baik, Nona." Dokter itu menyahut tak kalah tegas.

Setelahnya, Annisa kembali melemas, sementara yang lainnya tak kalah cemas. Andra pergi bersama seorang suster, mengurus segala tetek bengek surat persetujuan operasi dan administrasi. Lalu kemudian kedatangan Andra kembali, bersamaan dengan tiga tim kepolisian dan seorang ahli forensik.

"Selamat siang, saya Iptu Melody yang akan menangani kasus kali ini. Kalian rekan korban?" tanya perempuan itu tanpa basa basi.

Elka memandangnya sekilas, kemudian berpaling ke arah Tomi yang berdiri tak jauh di belakang perempuan itu bersama seorang analis. Pandangan Elka seakan bertanya, namun di belakang sana Tomi mengangguk seakan mengisyaratkan semua baik-baik saja dengan atau tanpa dia.

"Ya. Korban teman kami," sahut Andra.

"Kamu pasti saksi yang bersama korban." Tatapan Melody terarah kepada Annisa. "Apa saya boleh bertanya beberapa hal?"

"Sebenarnya kami sudah lebih dulu bertanya, tapi Annisa tidak banyak membantu sebab dia tidak melihat apa-apa," jawab Elka yang segera mendapat anggukan setuju dari kedua temannya.

Polwan cantik itu mengangguk-angguk dengan santai. Seragam polwan tampak cocok dengannya, ditambah potongan rambut yang sedikit di atas pangkal leher itu benar-benar sesuai dengan karakter wajahnya yang menujukan aura santai sekaligus berani.

"Melihat dari kondisimu, sepertinya korban melindungimu dengan cara membelakangi arah datangnya peluru," kata Melody menganalisis.

Tatapan Annisa terarah pada polwan itu, kemudian mengangguk.

"Kamu masih ingat, di area mana kamu menggenggam aliran daras paling deras?"7

Annisa menggigit bibir bawahnya, kemudian mengangguk lagi. "B-bagian kanan," cicitnya dengan suara super kecil dan serak namun Melody masih bsia mendengarnya.

"Bagian kanan," ualng Melody sembari mengangguk-angguk. "Hanya ada satu bangunan yang lebih tinggi dari rooftop sekolah itu di arah bagian kanan. Tapi, aku harus memastikan sesuatu dulu, seperti luka korban. Kita akan segera tahu, apa luka itu didapatkan karena tembakan yang berasal dari gedung lebih tinggi, lebih rendah, atau sejajar."

"Kamu yakin bisa membedakannya, Melody?" sahut Tomi, tampak ragu.

"Inspektur meragukan kesaksian korban nantinya? Katanya Inspektur sudah mengenal anak-anak ini, seharusnya tahu bagaimana karakter korban."

"Ya, memang." Tomi jadi menyesal bertanya. "Benar, mungkin Sam bisa menjawabnya nanti."

"Soal luka tembak seperti ini, aku ahlinya, tenang saja," ujarnya sombong. Ia kemudian melirik empat remaja yang memandanginya itu. "Senang sekali bisa kenal dengan remaja seperti kalian."

"Kamu senang karena merasa punya teman di dunia serba bermasalah, iya 'kan?" sarkas Tomi yang disambut kekehan Melody.

Polwan itu melepas topinya, kemudian duduk di samping Annisa dan menepuk lutut gadis itu sebanyak dua kali, seperti seorang nenek yang tengah menenangkan cucunya. Sayang sekali, Melody bukan seorang nenek, dan Annisa bukan seorang cucu.

"Jika korban bisa bergerak cepat melindungimu, berarti dia tahu benar di mana dan akan ke mana peluru yang melesat itu." Melody tersenyum. "Untuk aku pribadi, jika ingin menembakan peluru ke area dada seseorang, aku memilih bagunan lebih tinggi dari rooftop sekolah kalian. Kenapa? Karena itu lebih memudahkan, seban pembatas rooftop sekolah kalian lumayan tinggi. Jika jarak kalian dari pembatas rooftop lumayan dekat, itu sama sekali tidak serta merta membuat si penembak merasa mudah. Memang sih, kalau menebak dari bawah akan susah terdeteksi, namun resiko salah sasarannya besar. Kemungkinan si penembak hanya memiliki satu peluru karena optimis bisa tepat sasaran. Sayang sekali, dia tidak segan menampakan senjata, padahal dia tahu posisi kalian bersebelahan dan menghadap depan."

Pemaparan Melody disambut raut terkejut dan terkesima orang-orang di sana.

Melody mengibaskan sebelah tangannya. "Ah, santai saja! Sudah kubilang 'kan, soal tembakan aku ahlinya."

"B-bukan begitu, tapi ... seakan-akan Anda adalah pelakunya," ujar Rimba kaku.

Melody tertawa. "Kamu harus berpikir sebagai pelaku jika ingin menangkap pelaku yang sebenarnya. Setuju?" katanya berkedip genit ke arah Annisa.

Sontak saja, hal tersebut mengundang tawa kecil Annisa. Gadis berhijab itu mengangguk antusias, kemudian menyambut dekapan Melody. Hatinya merasa lebih tenang.

****

BUTUH SOLUSI

A/N : Gue harap kalian bisa baca sampe habis. Ini curhatan. Gue dilema gaes, emang sih bakalan lanjutin cerita ini. Pasti! Tapi, tiba-tiba gue ada ide cerita lain😭. Misteri/thrille juga ala-ala detektif juga kok. Tapinya, tokoh yang beda, mungkin akan ada keterlibatan Elka dkk. juga😣. Kalau gue sambil update cerita baru itu, kalian setuju kagak? Fokus gue terpecah dong, tapiii gue lagi mood nulis banget.

Btw, ada yang ngeh kalau Melody itu adalah Melody dalam Bad Girl, cerita di akun emeliiy nggak? Heuummm heuuummm.

Ini gimana menurut kalian?

Aliansi Rahasia [Sequel Ke-2 AOS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang