Chapter 01: Bagaimana Bisa?!

53.7K 2.3K 144
                                    

Delfin tidak pernah merasakan jantungnya berdebar sekeras ini sebelumnya. Bukan berarti dia tidak merasakannya detak jantungnya sebelumnya, dia menderita jantung lemah akut yang menyebabkan detak jantungnya sulit dia rasakan. Alhasil, Delfin tidak bisa melakukan pekerjaan berat dan aktifitas yang dibatasi membuat dia merasa lemah dan tak berdaya. Selain itu, dia yang seorang siswa SMA seharusnya memiliki banyak masa menyenangkan malah terlihat menyedihkan.

Lelaki yang sedang ditatapnya dengan mata berbinar berdiri di depan, menjelaskan pelajaran yang sangat susah bagi kebanyakan manusia, matematika. Bukannya Delfin sok pintar dengan mengabaikan pelajaran tersebut, hanya saja otaknya tak mampu menyerap semua rumus, angka, dan huruf, lebih baik memenuhi otaknya dengan wajah guru tersayangnya yang bernama Angga. Senyum tidak lepas dari bibirnya ketika memperhatikan bagaimana Angga menjelaskan tentang Limit, meskipun itu membuat otaknya hampir pecah namun dia tetap semangat karena ketertarikannya pada gurunya itu sangat tinggi. Delfin akan jujur, sungguh, bisakah dia berpura-pura 'kumat' dan pergi ke UKS saja? Kepalanya sudah tak kuat!

Dua jam terasa seperti dua tahun lamanya. Delfin meletakkan kepalanya di meja, mendinginkan otaknya yang hampir mendidih dan matanya yang berat bagai jangkar kapal. Dia bertahan sekuat tenaga demi melihat bagaimana ekspresi dan tingkah Angga saat mengajar. Bagi Delfin membaca novel atau komik dengan ratusan chapter lebih baik daripada mendengarkan satu rumus dan lima soal matematika yang beranak.

"Woy! Ke kantin, gak?" Temannya menepuk punggungnya keras.

Dia mengaduh keras "Aduh! Aku ini makhluk lemah, lembutlah sedikit padaku yang rap-" belum selesai Delfin berbicara, mulutnya sudah dibekap "Sok lemah lu. Makhluk biadab kayak lu mana ada kata lemah. Apalagi kalo urusan makan!"

"Anjing lu!" Delfin menimpali kasar dan tertawa mendengar lelucon garing mereka. Mereka berdua pun melenggang menuju kantin guna mengisi perut yang berteriak minta diisi.

***

Kantin ramai, sangat ramai. Ukurannya memang tidak terlalu besar, tapi makanan yang ditawarkan tentu saja dapat mengganjal perut siswa apalagi dengan harga ramah. "Lu yang mesen ya?" Setelah itu Rio berbalik hendak pergi, tentu saja Delfin tak membiarkannya bertindak semudah itu, segera di tariknya kerah baju Rio "Gak ada. Apaan, kemarin gue yang mesen makan minum, masa gue lagi?"

"Gue minumnya deh." Rio menawar

"Sekalian makanannya kenapa sih?" Delfin menolak. Memutuskan siapa yang memesan makanan dan minuman memang sering menjadi permasalahan mereka, memangnya siapa yang mau mengantri penuh sesak? Tidak ada.

Dan selalu, keduanya berakhir memesan bersama.

Mengantri itu bukan budaya mereka, tentu saja keduanya saling berdesakan dengan yang lain, ingin menjadi yang dilayani terlebih dulu. Inilah pentingnya membawa bekal, selain lebih sehat, bekal juga menghemat uang dan waktu, tenaga juga tentunya. Setelah mendapatkan makanan dan minuman yang diinginkan dengan susah payah dan perjuangan penuh peluh, keduanya pergi ke kelas mereka. Memakan bekal di kelas itu biasa bukan? Dilarang pun pasti ada saja yang melanggar, jadi santai saja.

*

Es teh setelah batagor memang serasi, tapi jika es teh habis duluan sebelum waktunya, kita bisa apa?

"Fin, minta es tehnya dong?"

"Fin, gue haus, minta ya?"

"ES TEH SIAPA NIH WOY? GUE MINTA YA?" Lihat, tidak ada es teh yang selamat. Untungnya tadi mereka membeli empat es teh yaitu Rio dua dan Delfin dua, jadi jika keduanya kehabisan minum karena seret akan bumbu kacang, masih bisa terselamatkan dengan es teh selundupan.

[Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga~
hai~
begitulah kata para pu-]

"Halo?"

Semua tercengang melihat Delfin mengangkat telpon dengan santainya, tak melihat betapa pucatnya wajah teman sekelas yang entah kenapa. Dalam hati Delfin sudah mengumpat kesal karena lupa mengubah nada deringnya menjadi getar, volumenya keras pula.

MILKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang