Tujuh hari berlalu dengan cepatnya. Pagi tadi Angga mendapat pesan dari ibu dan kakaknya jika mereka akan berkunjung ke rumah Akra alias Delfin petang nanti.
"Mereka jadi sering banget ke rumah Tante Isti, 'kan gak enak kalo aku gak kesana sendiri. Terus ini kenapa nilainya jelek-jelek? Perasaan setiap aku terangin dan tanya mereka, katanya paham. Tapi nilai ulangannya bobrok semua..."
Angga menyangga kepalanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan menulis hasil nilai ulangan hari ini. Matanya melihat kertas soal dan buku nilai bergantian. Mengamati nama dan mencatat nilai sesuai dengan yang didapatkan mereka.
"Rio?"
Pandangannya menangkap nilai yang cukup tinggi daripada yang lain. Otaknya mengingat remaja berwajah datar, dan otak sialannya menuntunnya mengingat remaja lain yang penuh senyum jail. Matanya melebar kaget dengan munculnya wajah Delfin di pikirannya, tangan kanannya dengan segera memukul pelan kepalanya.
"Kenapa, Pak? Sakit kepala?" Dewi selaku guru olahraga yang memiliki jam 'bebas' bertanya dengan alis tipisnya terangkat.
"Gak, Bu. Cuma ini angket saya ada yang salah tanggalnya. Loh, Bu, bukannya sekarang ibu ada jam mengajar?"
Dewi mengangguk paham "Ooh, kirain sakit kepala. Itu yang cowok katanya pingin main basket, yang cewek pingin main volly. Saya kan cuma satu, lapangan basket sama volly jauh, jadi saya tinggal lagian ada ketua kelas sama sekretaris yang siap nyatet kok, Pak." Angga mengangguk dua kali. Sebenarnya angketnya baik-baik saja, tidak ada yang salah jadi melanjutkan menulis nilai.
Dipikir lagi, Delfin itu anak orang kaya, kaya banget malah. Kenapa milih sekolah standar seperti ini.
Drrtt~
Drrt~
Drrt~
Getar ponsel menandakan telepon masuk. Melihat nama yang tertera, Angga pamit sebentar pada Dewi untuk mengangkat telpon "Halo, Dra, kenapa?"
"Hasilnya sudah keluar, nanti pulang kerja kamu jangan lupa temui aku," Andra berbicara dengan suara serak dan terdengar lebih berat daripada biasanya "Habis pulang sekolah langsung ke sini." Dia mengulangi ucapannya.
"Ok, makasih. Dra, kamu sehatkan? Kok suaramu serak gitu?"
"Tiga hari ini aku kena batuk, gak parah sih cuma gatel aja di tenggorokan. Udah dulu, aku ada pasien. Pokoknya jangan lupa mampir." Untuk ketiga kalinya Andra berpesan kali ini sedikit terburu. Tanpa mendengar balasan dari Angga, telpon ditutup begitu saja.
"Kebiasaan ni orang..."
Angga memasang ekspresi 'ah-ya-sudahlah'. Berhubung ini hari Jum'at, dia setelah ini ada rapat, jadi dia harus menyelesaikan angketnya secepat mungkin.
.
.
***
.
.
"Bro, lo kok bisa suka sama Pak Angga? Sejak kapan? Yang gue tau lo itu dulu 'lurus', sekarang udah belok aja lo," Andri bertanya dengan wajah malas. Jarinya Ia putar-putar di atas meja. Tia mengangguk antusias, penasaran. "Lu juga kalo mepet jangan terang-terangan napa. Gak semua orang bisa nerima hal tabu kek gini, Anying." lanjut Andri makin jutek
Delfin mengedipkan matanya beberapa kali, mengangkat kepala sejenak mencari jawaban di langit-langit kantin.
"Ya kalo gak terang-terangan nanti ada cewe yang mepet duluan gimana? Kesalip dong guenya. Masalah mulai kapan suka.... Kalo gak salah pas upacara penerimaan siswa baru deh, tapi gue baru sadarnya semester genap kelas dua kemarin. Lo inget gak, waktu itu Pak Angga yang bagian jaga, terus gue ketahuan pake kaos kaki item?"

KAMU SEDANG MEMBACA
MILKY
Teen FictionLelaki itu tidak punya rahim, tidak bisa mengandung, tidak bisa menyusui tentu saja. Angga, berusia 27 tahun, entah bagaimana dadanya mengeluarkan cairan laktasi. Bagaimana bisa? Apalagi ini terjadi saat dia seharusnya sudah menikah atau paling tida...