Suara alarm membangunkan seseorang yang nyaman bergelung di atas ranjang. Erangan keras terdengar bersamaan rambut ikal berantakan menyembul dari dalam selimut. Andri bangun terduduk dengan mata terpejam dan ekspresi kusut menempel di wajahnya, badannya enggan meninggalkan kasur yang hangat. Terganggu dengan suara alarm yang terus berbunyi hingga terasa memekakkan telinga, Andri mengambil jam bekernya dan mematikan bunyi berisik itu sekaligus melihat jam berapakah sekarang.
"Masih jam lima." gumamnya dengan suara serak.
Tangannya menaruh jam kembali ke nakas, badannya jatuh berbaring kembali ke kasur yang hangat. Namun belum lama terpejam, matanya langsung tebuka lebar dan langsung berlari ke kamar mandi.
"Astaghfirullah! Sholat. Bu, kenapa gak bangunin Andri?" Andri berseru keras sambil berlari menuruni tangga.
"Siapa yang ngunci pintu kamar?" Sahutan itu terdengar cukup jauh, mungkin dari dapur. Andri yang mendengar itu langsung berteriak minta maaf dari kamar mandi.
Di tempat lain, pada waktu yang bersamaan. Tia bangun terduduk di ranjangnya dengan wajah kusut, pandangannya melirik jam dinding dengan malas. Melihat jarum jam menunjuk angka lima, Tia menggerakkan tubuhnya menuju kamar mandi.
Begitupun Rio yang berada di kamarnya. Dia sudah selesai berkemas dan rapi dengan seragam, Pandangannya melihat patung yang tertempel di atas jam dindingnya. Tangannya menangkup dan matanya terpejam hikmat.
Mereka bertiga memiliki doa yang sama yang terucap pada detik yang berbeda.
-
"Ya Allah, jika ini yang terbaik untuk teman hamba. Tolong beri kemudahan untuknya melewati masa-masa ini." -Andri
-
"Ya Allah... Hamba tau teman hamba melakukan dosa yang bahkan hamba tidak tahu apa balasannya kelak, tapi tolong, beri dia kebahagian di dunia ini." -Tia
-
"Tuhan, aku jarang berdoa kepadamu. Tapi tolong kali ini saja, permudah cobaan yang kau berikan pada temanku." -Rio
-
"Amiin."
*****
Darwin duduk di kursi panjang dengan kepala bersandar pada dinding. Laki-laki itu tidak pulang semalaman, hanya duduk di luar tanpa mempedulikan dirinya yang kedinginan karena tubuhnya hanya berbalut kemeja tipis. Ponselnya berdering, nama sekretarisnya tertera di sana.
"Ada apa?"
["Pak, hari ini kita ada meeting jam 8.00 di Hotel X dan di perusahaan Y pada jam 14.30. Bapak bisa hadir?"] Sekretarisnya itu tau jika atasannya sedang tertimpa musibah, karena itu dia bertanya terlebih dahulu.
Darwin mengambil nafas dalam, matanya terpejam cukup lama, kemudian ia hembuskan nafasnya pelan "Untuk meeting pertama suruh Dimas untuk menggantikan saya, saat ini belum ada yang menjaga anak saya di rumah sakit. Meeting kedua mungkin saya masih sempat, tapi kalau saya tetap tidak bisa datang atau tidak ada info dari saya, suruh Dimas lagi yang menggantikan saya."
["Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit. Semoga anak bapak lekas sembuh."]
Tombol merah berlambang telpon Darwin tekan, tidak lama kemudian suara derap langkah terdengar. Pandangannya melihat ke sumber suara, tiga remaja yang sudah rapi berseragam batik datang berjalan menuju ke arahnya.
Mereka menganggukan kepala sekali sebagai sapaan "Om, boleh kami lihat Delfin." Darwin melihat jam tangannya menunjukkan pukul 5.30, laki-laki itu mengangguk dengan senyum kecil di bibirnya.
"Masih pagi, kalian rajin sekali." ucapnya dengan nada jahil.
***
Di ruang bersuhu dingin itu, dua remaja laki-laki dan satu remaja perempuan bediri berjajar di samping ranjang berisi remaja laki-laki yang biasanya selalu bermain dengan mereka. Rio, Andri, dan Tia menatap Delfin dengan wajah datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILKY
Teen FictionLelaki itu tidak punya rahim, tidak bisa mengandung, tidak bisa menyusui tentu saja. Angga, berusia 27 tahun, entah bagaimana dadanya mengeluarkan cairan laktasi. Bagaimana bisa? Apalagi ini terjadi saat dia seharusnya sudah menikah atau paling tida...