Isti datang bersama segerombol remaja berseragam batik. Angga mengenal dua remaja di antara mereka dan seorang pria berusia 40 tahunan.
"Loh, Pak Angga di sini?"
Angga mengangguk sebagai jawaban.
Isti yang tahu jika Angga adalah guru di sekolah anaknya menjelaskan jika Angga adalah anak temannya. Angga yang melihat banyaknya anak remaja di lorong ini menjadi heran, kenapa tidak beberapa anak saja yang mewakilkan.
"Pak Arya, ini kok anak-anak ke sini semua?" Selaku guru BK, Angga tetap mengedepankan kedisiplinan, melihat jika satu kelas kosong membuat hatinya gemas.
"Saya ngajak anak-anak jenguk bareng, soalnya kalau yang jenguk cuma beberapa– agak gak enak gitu. Saya gak tahu kalau Delpin ternyata sampe koma, kalau tahu begini saya ajak perwakilan kelas saja tadi." Arya dengan bahasa indonesianya yang medok tidak bisa menyembunyikan nada menyesal sekaligus sungkan.
Angga melihat Rio dan Andri "Kenapa tidak tanya Rio dan Andri?"
Arya menatap Rio dan Andri, kemudian kembali menatap Angga dan menjelaskan jika tadi dia lupa dan terburu memulai pelajarannya.
"Maaf, kalian semua tidak bisa melihat langsung ke dalam," Isti membuka suara. Matanya yang sembab menarik perhatian semua remaja yang ada di sana "Maaf, kalau sebelumnya Akra banyak bikin masalah di kelas, Pak. Oh iya, maaf juga karena suami saya sedang istirahat di rumah sekarang, jadi tidak bisa menemani kalian disini."
Angga melihat Isti kembali sedikit terguncang saat mengucap nama anaknya, dia segera memegang pundak Isti dan mengusap pelan.
'Akra?' Batin mereka bertanya-tanya.
"Gak apa-apa kok, Tante. Delfin banyak bantu kita kok, dia temen yang baik." Andini menjawab dengan nada mantap dan diangguki oleh semua teman kelasnya.
"Tante, kalau kita masuk bergantian boleh?" Fitri bertanya
"Kata dokter tidak boleh terlalu banyak yang berkunjung, jadi tolong perwakilan saja, ya?" Mendengar penuturan Isti, mereka semua mengangguk paham dengan wajah sedih.
"Jangan lupa harus cuci tangan atau pakai handsanitizer, matikan juga ponsel kalian." -Angga
Mereka mengundi siapa yang akan menjadi wakil kelas mereka, Arya selaku wali kelas sudah pasti masuk ke dalam. Akhirnya terpilihlah dua orang yaitu Bimo yang merupakan korban sidak, sama seperti Delfin, dan Fitri yang merupakan anak paling pintar matematika di kelas. Ketiga manusia itu masuk sedangkan yang lainnya menunggu di luar.
"Ini mumpung ada di sini semua. Lebih baik kita berdo'a aja buat Delfin supaya dia cepet sehat," Andri memberi saran yang benar kali ini "Ilham, Pimpin Do'a!" Suruhnya pada temannya yang mengenakan kacamata.
"Kan lu yang nyaranin buat berdo'a, kok gue yang mimpin?" Protesnya.
"Kan lu biasanya jadi petugas doa pas upacara."
Afi ingin sekali menyumpal mulut 'perempuan' Andri. Namun Ilham akhirnya menganggupi dan mulai memimpin doa "Semuanya, mari kita berdo'a agar teman kita– Delfin segera sembuh. Berdo'a sesuai kepercayaan masing-masing dimulai." Semua menundukkan kepala dan berdo'a dengan hikmat.
***
"Kami kembali dulu ke sekolah. Semoga Delpin cepat sembuh, ya Bu?"
"Amiin. Terima kasih atas kunjungan serta do'a bapak dan anak-anak semuanya." Isti tersenyum teduh.
Isti masuk kedalam ruang ICU, anak sulungnya terbaring tenang dengan bunyi 'Beep' berulang kali mengisi kekosongan ruangan dingin itu. Dia duduk di samping ranjang sembari menggenggam tangan anaknya "Nak, ternyata kamu banyak temen yang baik. Gak salah Ayah dulu pilih sekolah itu untuk kamu. Bunda seneng kamu punya guru dan teman yang sayang dan peduli sama kamu." Pandangannya mengarah pada mata Delfin yang terpejam, kerutan dahi samar muncul menemani senyum lemahnya. Tangannya bergerak menyentuh ujung mata Delfin dan setitik air membasahi jarinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/215937403-288-k32266.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MILKY
Teen FictionLelaki itu tidak punya rahim, tidak bisa mengandung, tidak bisa menyusui tentu saja. Angga, berusia 27 tahun, entah bagaimana dadanya mengeluarkan cairan laktasi. Bagaimana bisa? Apalagi ini terjadi saat dia seharusnya sudah menikah atau paling tida...