"Akra, mampir?" Maya menawarkan yang tentu saja tidak Delfin sia-siakan, dia mengangguk semangat tidak lupa mengabari ibunya terlebih dahulu.
Angga menghela napas pasrah, berjalan terlebih dahulu dengan tangan penuh membawa bungkusan makanan. Delfin dibelakangnya hanya membawa plastik kecil.
"Kak, saya bantu bawain." Delfin yang memiliki inisiatif membawakan sebagian bawaan Angga langsung menyambar tanpa perlu menunggu persetujuan empunya. Sekali lagi Angga menghela napas pasrah, dia tidak lelah secara fisik melainkan lelah otak karena memikirkan tingkah Delfin yang semakin hari semakin melebihi batas yang seharusnya.
'Aku harus bagaimana, ya Tuhan!'
***
Delfin duduk di ruang tamu dengan tenang, indra peglihatannya mengamati setiap sudut ruang tamu dengan teliti, sampai pandangannya menangkap tampilan beberapa foto yang dipajang di bufet. Delfin bergerak menuju hal yang menarik perhatiannya itu.
Foto berbingkai kayu bercat hitam Delfin ambil dan amati. Didalam foto itu ada dua orang berbeda usia namun dengan jenis kelamin sama.
"Pasti Bang Rafael sama Kak Angga,"
'Ya kali bukan, kan aneh plus serem kalo bukan!' Lanjutnya dalam hati.
Jarinya mengusap foto tersebut, lebih tepatnya pada sosok anak yang lebih kecil, Anak yang mengenakan baju putih yang kontras dengan kulit sawo matangnya, matanya lebar dan bulat dengan iris hitam jernih, pipi tembem khas anak balita menambah kesan imut. Ingin sekali Delfin mendekatkan wajahnya dan mencium sosok mungil di foto itu.
Berbeda dengan Angga kecil, Rafael terlihat dewasa dalam tubuh kecilnya, matanya sama lebarnya namun alisnya berkerut, pipinya tak lagi chubby, dan kulit kuning langsatnya malah membuatnya terlihat maskulin untuk bocah berusia sekitar enam tahunan.
"Bang Rafael emang serem dari kecil." Gumam Delfin pelan.
Tangannya berganti mengambil foto yang lain yaitu foto hitam putih berisi empat orang remaja, tapi dilihat dari logo yang ada di saku seragamnya terlihat jika masih menggunakan seragam merah putih.
'serius ini masih SD? Segede ini SD?'
"Akra, kamu ngapain?" Suara lembut seorang wanita memasuki pendengarannya. Delfin berbalik dan melihat Maya yang tangannya membawa nampan berisi sepoci teh dan beberapa gelas.
"Lagi liat-liat foto, Tante."
Maya meletakkan apa yang dibawanya dan menghampiri Delfin, matanya melihat foto apa yang dipegang anak itu "Ah, ini foto Tante sama Bunda kamu dulu," menunjuk dua perempuan yang berfoto ditengah dengan tawa lebar, lalu telunjuknya beralih menunjuk dua lelaki yang yang berada di ujung yang berfoto dengan tawa lebar yang serupa "Kalau yang di samping ini suami Tante, kalo yang di samping Bunda kamu ini Ayah kamu"
Delfin langsung memperhatikan Ayah dan ibunya saat muda dulu 'Kok gantengan sama cantikan sekarang?'
"Kamu lihat, orang dulu itu meski umur 12 tahun udah kayak orang dewasa. Dulu Tante sama mendiang suami Tante nikahnya pas umur 12, untung waktu itu mertua Tante juragan tanah." Maya menertawakan ucapannya sendiri.
"Beneran 12 tahun boleh nikah Tante?!"
"Iya beneran, soalnya dijodohin." Maya duduk di sofa dan Delfin mengekor di belakangnya. Delfin menjadi semangat tentang topik ini.
"Berarti-"
"Berarti apa? Sekarang nikah harus 18 tahun ke atas. Jangan harap kamu bisa nikah cepet." Angga menyahut cepat dengan nada judes yang tidak ditutup-tutupi, membuat Delfin langsung tersenyum kecut. Angga duduk bersandar, tangannya menuangkan teh untuk dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILKY
Roman pour AdolescentsLelaki itu tidak punya rahim, tidak bisa mengandung, tidak bisa menyusui tentu saja. Angga, berusia 27 tahun, entah bagaimana dadanya mengeluarkan cairan laktasi. Bagaimana bisa? Apalagi ini terjadi saat dia seharusnya sudah menikah atau paling tida...