Maya memandang fokus televisi yang menampilkan acara favoritnya, Angga di sampingnya fokus dengan laptopnya. Tiba-tiba terbesit hal yang ingin Angga bicarakan dengan Ibunya.
"Ma, kapan CT scan kedua?"
"Tadi dokter Alyza telpon Mama. Katanya minggu ini pemeriksaannya, jam delapan." Mata Maya fokus pada tayangan di depannya.
Angga mengangguk mengerti dan melanjutkan pekerjaannya.
"Angga."
Mendengar dirinya dipanggil, dia menoleh menatap ibunya.
"Akra masuk rumah sakit lagi kenapa kamu gak telpon Mama? Malah telpon bang Ralf. Dia tadi di kantor milih pulang buat ganti baju terus jemput kamu."
Angga menatap ibunya dengan mulut terbuka, matanya berkedip beberapa kali. Kemudian dia bertanya apa dia benar-benar tidak menelpon Maya, Maya menggelengkan kepalanya.
Tawa garing lolos dari bibir Angga "Maaf, Ma."
***
Tiga hari berlalu dan Delfin diperbolehkan pulang.
Darwin dan Isti memilih meliburkan diri, Evan dan Eva pun. Mereka memutuskan untuk menemani Delfin seharian ini, sekaligus menganggap sebagai 'waktu keluarga'.
Delfin dengan wajah datar berbaring di ranjang besarnya. Isti yang melihat itu merasa heran "Kenapa?"
Delfin menggeleng dengan senyum manis "Gak apa-apa, Bun, cuma tiba-tiba pengen makan sate kambing."
"Sembarangan!" Darwin langsung menyahut dengan kesal. Anak sulungnya ini sedikit maunya, sekali ada maunya langsung membuat pusing kepala. Delfin langsung menyengir dengan menunjukkan jari berbentuk 'V' sekaligus meminta maaf. Evan memegang perutnya, kemudian mengajak yang lainnya untuk makan di ruang makan.
"Abang ditinggal gak apa-apa atau mau kita makan di sini aja?" Eva yang masih ingin berlama-lama dengan kakaknya berhenti sejenak sebelum keluar dari kamar. Delfin menggeleng dan menyuruh adik perempuannya untuk makan sampai kenyang.
"Abang mau makan buah? Biar aku kupasin."
"Abang bisa kupas sendiri kok. Udah makan sana, kamu pasti laper." Eva mengangguk dan pergi keluar kamar.
Delfin mengambil ponsel dan mengecek media sosialnya, menggulir konten yang teman-temannya unggah namun tak menemukan hal menarik selain kegiatan keseharian mereka. Melihat keseharian teman-temannya yang terlihat menyenangkan, Delfin jadi ingin pergi ke Harajuku atau Akihabara untuk pamer kesenangan juga.
Delfin manatap ponselnya, pikiran menghubungi Angga terlintas di otaknya. Mencari nomor kontak dengan nama yang dituju, matanya tak melihat sedikitpun nama yang dicari. Berkedip beberapa kali dengan bibir terbuka.
Bunyi tepukan keras terdengar, Delfin menepuk dahinya hingga memerah "Aku gak punya nomor Kak Angga."
Wajahnya berubah cerah saat mengingat ibunya. Mulut terbuka ingin memanggil Isti, tapi dia ingat kalau keluarganya sedang makan. Helaan napas tanda kecewa keluar "Nanti ajalah."
***
Jam menunjukkan pukul 14.00, membuat Delfin menghela nafas. Dia ingat saat jam dua seperti ini biasanya kelas diisi kelesuan dan banyak teman sekelasnya yang tidur hingga membuat guru yang mengajar geleng-geleng kepala. Mengingat itu, Delfin ingin segera masuk sekolah, ingin merasakan batagor dan bumbu kacang yang memanjakan lidah, es teh dingin yang kadang berhiaskan beberapa ekor semut hitam, menyalin PR dengan terburu, dan menggoda teman perempuan di kelasnya.
Matanya beralih menatap jendela yang menampilkan atap rumah tetangga berlatar langit cerah. Kebosanan menggerogotinya hingga membuat pikiran Delfin melanglang buana entah kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILKY
Teen FictionLelaki itu tidak punya rahim, tidak bisa mengandung, tidak bisa menyusui tentu saja. Angga, berusia 27 tahun, entah bagaimana dadanya mengeluarkan cairan laktasi. Bagaimana bisa? Apalagi ini terjadi saat dia seharusnya sudah menikah atau paling tida...