Delfin menuruni tangga dengan cepat. Isti yang melihat anaknya terburu-buru menjadi penasaran.
"Ada apa, Akra? Kamu butuh sesuatu?"
Delfin yang mendengar itu menatap ibunya dengan mata menyipit sepersekian detik, tapi langsung memberi senyum santai.
"Kak Angga abis mandi, dia gak bawa baju ganti jadi pake baju punya Akra, tapi kekecilan, Bun."
"Pinjamin baju Ayah aja. Oh iya, kalau sudah, kamu sama Angga cepet turun ya." Ucapan Darwin membuat kening Delfin berkerut samar. Dia mengangguk dan segera menuju kamar orang tuanya.
"Akra."
Panggilan seseorang menghentikan Delfin, lagi. Maya terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi helaan napas lah yang keluar "Tidak ada."
Sebelah alisnya terangkat, heran dengan sahabat ibunya itu. Dia mengangguk sekali lagi dan berlalu pergi.
'Gak bener nih.'
***
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Angga dari ponselnya. Delfin kembali dengan tangan membawa beberapa model baju, dia mendekati ranjang dan menata baju-baju tersebut disana.
"Silahkan pilih, Kak."
Angga berkedip beberapa kali kemudian bertanya kenapa banyak sekali baju yang dibawa. Delfin berasalan jika baju yang dimiliki ayahnya bagus-bagus dan dia bingung memilih yang mana.
Angga ber-oh ria, tangannya memegang ujung baju dan mengangkatnya.
"Tunggu!"
Angga mengangkat alisnya heran
"Gantinya di ruang ganti aja, Kak." Rona samar muncul di pipi Delfin.
"Di sini saja." Angga tetap melanjutkan, tapi Delfin dengan keras kepala menyuruh Angga mengganti baju di ruang ganti. Delfin mendorongnya menuju pintu bercat coklat, Angga menghela napas dan mengiyakan.
Melihat Angga pergi, Delfin berbalik berjalan menuju meja belajarnya. Tangannya mengambil benda diantara jejeran bukunya, yaitu sebuah kamera kecil hitam yang sedari tadi mengganggu pikirannya. Bibirnya tersenyum kecut dan dimatikannya kamera tersebut. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya, senyum kecut yang sebelumnya menghiasi wajahnya hilang. Dia letakkan kamera itu di meja dan–
CRACK
Kamera itu ia pukul keras hingga hancur.
"Suara apa itu?" Angga yang baru keluar ruang ganti dengan memakai kaos turtleneck, kaget dengan bunyi retakan keras yang memasuki gendang telinganya. Delfin berbalik dengan sebelah tangannya memegang pergelangan tangan lainnya, ekspresi kesakitan dan horror menempel di wajahnya disertai setitik air asin di ujung mata.
"Tangan saya tadi kejedot meja, Kak, terus–"
Delfin tidak melanjutkan kata-katanya saat Angga dengan cepat menuju ke arahnya dan meraih pergelangan tangannya. Kening laki-laki yang kini berusia 27 tahun itu berkerut dalam.
"Sakit? Kamu ngapain sih sampe tangannya kebentur meja, apalagi sampe bunyi gitu kalau patah bagaimana?" Delfin terdiam dengan kepala menegak mundur, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Angga bertanya sekali lagi, kepalanya melongok ingin melihat ke tempat tangan Delfin 'terbentur' tapi dengan cepat Delfin menegakkan tubuhnya agar pandangan Angga tertutupi.
"Mau ngambil penghapus yang tadi jatuh ke bawah meja, pas udah dapet langsung berdiri lupa kalo tangan masih di bawah." Delfin tersenyum malu disusul tawa kecil. Angga yang mendengar itu menatap aneh sekaligus tidak percaya.
"Terus ini bagaimana?" helaan napas kasar membuat Delfin tersenyum samar namun segera dia ganti dengan senyum cerah.
"Gak apa, Kak, ini gak sakit kok. Lihat." Delfin menggerakkan tangannya dengan leluasa, tapi itu justru membuat Angga panik "Jangan! Jangan digituin!" Tangannya bahkan sampai memegang tangan Delfin.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILKY
Teen FictionLelaki itu tidak punya rahim, tidak bisa mengandung, tidak bisa menyusui tentu saja. Angga, berusia 27 tahun, entah bagaimana dadanya mengeluarkan cairan laktasi. Bagaimana bisa? Apalagi ini terjadi saat dia seharusnya sudah menikah atau paling tida...