Angga mengendarai motornya dengan laju sedang, dia memikirkan bagaimana perubahan sikap Delfin sejak anak itu mulai serius. Dua minggu berlalu dengan cepatnya sejak Delfin bertemu dengan kakek dan neneknya, jujur Angga saat itu sangat gugup sampai bersuara saja tak sanggup.
Hal yang tidak berubah adalah Delfin yang selalu mengiriminya pesan di pagi dan malam hari meski pesan mereka terkesan monoton, sesekali Angga juga mengirim pesan singkat yang berbeda atau mengecek diam-diam Delfin saat istirahat.
Setelah memarkirkan motornya, dari jauh Angga melihat Delfin memasang wajah kecut dan penuh keheranan dalam diskusinya dengan tiga temannya.
Mata mereka bertemu.
Ketidaksengajaan itu membuat ekspresi Delfin langsung berubah polos dengan bibir dikulum, kemudian senyum lebar tertuju padanya. Angga menganggukkan kepalanya dan melanjutkan jalannya. Ya, perilaku Delfin kembali sangat formal kepadanya selayaknya murid dan guru biasa, yang membedakan hanya senyum Delfin yang masih sama.
"Dalam statistika, "Mean" adalah rata-rata nilai. Contoh "Mean" yang sering kalian lihat adalah rata-rata nilai rapot kalian...." Angga menulis beberapa rumus di papan tulis. Bibirnya terus menjelaskan tentang statistika selagi matanya memperhatikan setiap siswanya.
Selesai menjelaskan tentang materinya, Angga membuat tanda tanya besar di papan tulis "Ada yang ingin bertanya? Saya tidak memaksa kalian bertanya, tapi jika nanti nilai ulangan kalian jelek, jangan salahkan saya kalian tidak lulus.
Fitri mengangkat tangannya meminta untuk dijelaskan kembali tentang kuartil, desil, dan persentil. Angga mengangguk, dirinya sendiri dulu cukup kesulitan memahami bagian itu.
Setelah menjelaskan yang diminta Fitri dengan lebih sederhana, Angga bertanya lagi siapa yang ingin bertanya. Delfin mengangkat tangan.
"Ya?"
"Pak, bisa beri contoh soal "Mean" dan "Median" yang sekiranya lebih mirip dengan soal UN?" Mendengar pertanyaan itu Angga jadi punya ide.
"Kalian semua membentuk kelompok maksimal empat orang, kita akan akan bermain game"
Perubahan lain dari Delfin, anak itu menjadi lebih tanggap dan aktif di kelas, bukan hanya pelajarannya saja namun hampir di semua mata pelajaran. Bahkan nilainya mulai meningkat.
Saat istirahat, Angga yang membeli bakso melihat Delfin dan ketiga temannya makan sambil bercanda. Dia merasa jika mata yang menatap remaja itu lebih banyak dari biasanya dan rata-rata adalah siswi.
Ah, mata mereka bertemu lagi.
Kali ini Angga yang memberi senyum lebih dulu, menangkap reaksi yang Delfin berikan membuat Angga menahan tawanya. Remaja itu membulatkan mata tak percaya, tangannya memegang garpu dengan Bakso bulat tertancap disana. Ibu kantin memanggilnya saat baksonya siap, menerima semangkuk penuh bakso, Angga berjalan pergi meninggalkan Delfin yang masih mematung dengan senyum lebar dan mata yang menatap kepergiannya.
Delfin juga lebih populer dari sebelumnya. Padahal dulu anak itu tidak terlalu menarik perhatian. Angga melihat tangannya 'Apa aku terlalu banyak menyentuhnya sampai ketampananku menular?' pikirnya percaya diri.
Jadwal check up Delfin dirubah menjadi dua minggu sekali, karena kesehatannya meningkat secara bertahap, Angga kadang menyempatkan diri menemaninya. Selain itu jadwal check up Angga juga berubah menjadi sebulan sekali, dokter Alyza memberinya obat agar kondisi rahimnya tetap sehat.
"Akra, mau ke rumah saya?"
Pandangan tak percaya menusuk Angga. Angga menatap Delfin heran, merasa dirinya salah berkata-kata. Namun Delfin malah menggenggam tangan Angga dan mengangguk keras "MAU" Ucapnya penuh tekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILKY
Teen FictionLelaki itu tidak punya rahim, tidak bisa mengandung, tidak bisa menyusui tentu saja. Angga, berusia 27 tahun, entah bagaimana dadanya mengeluarkan cairan laktasi. Bagaimana bisa? Apalagi ini terjadi saat dia seharusnya sudah menikah atau paling tida...