Ketukan pintu mengisi pendengaran remaja laki-laki yang masih nyaman dengan bantal dan selimutnya.
"Akra bangun, udah jam setengah enam!"
Remaja itu membuka mata perlahan, berkedip bebarapa kali, bangun dan mendudukkan diri di tepi ranjang. Berdiri dengan mata setengah terbuka seraya satu tangan menggaruk kepala, hanya memakai celana pendek yang menampilkan tubuh kurus yang ototnya sedikit terbentuk, lalu dia pergi ke kamar mandi.
"Iya, Bun! Ini mau mandi."
***
Di kamar mandi dia berkaca melihat tubuh kurusnya.
"Hum, butuh ke gym. Besok hari rabu– minggu pagi ngajak anak-anak deh," gumamnya. Terdiam sesaat dengan mata tertutup. Kemudian alisnya berkerut "Minggu pagi ke gereja, Anjing, lupa. Siangnya ajalah atau sabtu pagi." Rutuknya, kemudian melanjutnya niatnya untuk mandi.
***
"Akra."
Isti memanggil anaknya yang tengah sarapan dengan nasi goreng campur sosis, telur, dan tak lupa topping wajib yaitu kerupuk udang.
"Kamu baik-baik saja?" Delfin menatap Ibunya sejenak, kemudian mengangguk disertai senyum di mulutnya yang penuh dengan sesuap nasi.
"Bang Akra kenapa, Bun?" Eva bertanya heran.
"Gak apa." Jawab Isti
"Terus kok Bunda nanya Bang Akra baik-baik aja?" Evan ikut penasaran, tangannya memegang segelas susu, untuk diminum pastinya.
Akra tersenyum meremehkan "Bilang aja iri soalnya kalian gak ditanya." Ejeknya
"Siapa juga yang mau ditanyain kayak gitu. Dikira kita sakit." Evan
"Ho'oh, palingan juga Bang Akra yang sakit. Sakit jiwa." Eva mengakhiri ucapannya dengan tawa bahagia.
UHUK
Suara batuk mengagetkan Isti, Delfin, Evan, dan Eva. Darwin memukul dadanya keras, Isti segera mengambilkannya minum sembari mengelus punggung suaminya pelan
"Kenapa, Yah?"
"Gak apa, Bun. Ayah cuma makannya kecepetan." Air ia minum hingga tandas untuk menghilangkan rasa terbakar di tenggorokannya.
'Keselek itu sakit!' Batinnya.
"Kalian jangan bercanda terus, cepet habisin sarapannya abis itu berangkat. Bunda abis ini pergi ke toko, Ayah juga mau ke kantor."
Mereka kembali sarapan dengan tenang.
***
Delfin menaiki motornya, tak lupa helm ia kenakan.
"Bang, bonceng." Minta Eva.
Delfin menatap kedua adiknya "Dianterin Pak Bahri aja, ya?"
"Pinginnya dianterin, Bang Akra!" Evan mulai keras kepala.
"Tapi Abang bawanya moge loh."
"Aku bonceng depan" Eva
"Aku belakang" Evan
Delfin menatap mereka skeptis. Matanya melirik kiri dan kanan. Ayah dan Ibunya sudah berangkat beberapa menit yang lalu.
"Kalian udah SMP, kelas dua juga. Gak malu?" Tanyanya
Adik kembarnya menggeleng mantap. Delfin menghela nafas, kemudian mengangguk "Helm?"
Evan dan Eva menunjukkan helm mereka, lalu memakainya dengan cekatan.
Dalam jarak sekolah. Sekolah Delfin yang paling jauh, sekitar 2 km lebih. Namun tetap searah dengan sekolah kedua adiknya.
"kenapa tiba-tiba minta anter?" Delfin bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILKY
Dla nastolatkówLelaki itu tidak punya rahim, tidak bisa mengandung, tidak bisa menyusui tentu saja. Angga, berusia 27 tahun, entah bagaimana dadanya mengeluarkan cairan laktasi. Bagaimana bisa? Apalagi ini terjadi saat dia seharusnya sudah menikah atau paling tida...