Chapter 04: Bunda kenal Cacar?!

16.4K 1.2K 40
                                    

Angga duduk di sofa empuk berwarna abu gelap, di depannya terdapat meja kayu jati yang dilapisi kaca mengkilap berhias bunga alami menebarkan harum yang segar dan tenang, cat tembok berwarna coklat dipadu kuning labu memberi kesan mewah namun sederhana. Satu kata tepat untuk menggambarkannya, menyegarkan. Angga masih bingung, dengan mudahnya dia diseret oleh pemilik rumah ini dan sekarang duduk seorang diri tak ada yang menemani.

***

Angga masih terpaku pada pemandangan di depannya tidak menghiraukan panggilan Delfin dan bunda Delfin, Cristina -biasa dipanggil Bu Isti oleh tetangga- berada disamping anaknya. Isti melihat Angga dengan seksama.

"Sepertinya saya mengenal kamu," celetuknya dengan memandang Angga lebih dekat "Kamu anaknya Maya, ya?"

Angga yang mendengar nama Ibunya disebut tersadar dari halusinasinya "Maaf? Iya?"

"Nama ibu kamu Maya, Maya Astanti tepatnya, kan?"

Delfin hanya diam melihat tingkah ibunya yang sekarang lebih dekat dengan Angga.

Angga memiringkan kepalanya sedikit dan alisnya terangkat "Loh, kok Ibu bisa tahu nama Ibu saya?"

"Ya ampun, kamu Angga, kan? Ternyata kamu sudah sebesar ini sekarang. Ayo masuk dulu, kita bisa cerita sambil minum teh. Motornya bisa ditinggal, nanti Pak Ghani yang markirin." Isti berjalan sambil menggandeng lengan Angga, senyum manis di wajahnya yang masih segar membuat Angga bingung harus berbuat apa karena digandeng masuk begitu saja. Tidak sadar jika Perempuan berusia 40 tahun lebih itu meninggalkan anaknya yang melongo karena dia telah ditelantarkan.

"Akra, kenapa gak bilang sama Bunda kalau kamu kenal sama Angga? Kan dia bisa mampir main ke sini."

"Kok, Bunda tau nama Pak Angga?" Delfin mengekor di belakang, menyusul Isti dan Angga yang sudah berjalan di depannya.

Isti melambaikan tangannya dan memandang anaknya dengan wajah masam "Jangan panggil Pak, dia belum terlalu tua kok, cuma beda 10 tahun, kan? Jadi panggil aja kakak." Menanggapi ucapan Isti yang masih memegang lengannya, Angga tersenyum tidak ikhlas.

'Ibu ngejek saya?'

"Bun, Akra ijin sebentar mau nelfon temen-temen. Pak- Kak Angga gak usah sungkan, anggap aja rumah sendiri" 'biar nanti kalo udah muhrim gak kaget.' Setelah itu, Delfin melipir menjauhi Isti dan Angga yang terus berjalan menuju rumahnya.

"WOY, ANJING! KENAPA GAK NELPON BUNDA GUE! TIA DI SITU, KAN?! BALIKIN MOTOR GUE!!!" Lega, akhirnya Delfin bisa meneriakkan kekesalannya sedari tadi. Apa gunanya punya halaman luas kalo tidak bisa meredam teriakanna yang kasar.

"Sans ae, Babi, ini gue makan di Warteg sama yang lain, malu-maluin banget, Anjing. Gak ada akhlak emang" Rio sudah biasa diteriaki jadi dia tidak kaget, berbeda dengan Andri yang saat ini sedang berusaha mengeluarkan duri ikan Tongkol yang ikut tertelan karena kaget. Semangat Andri, hidup memang keras.

Tia yang mendengar suara Delfin langsung menyambar HP Rio "Fin, tega lu jadi Cowok! Nyuruh gue yang lemah lembut ini bawa Moge! Pokoknya lu kudu ganti rugi!" Nadanya seperti pemeran utama drama in**siar. Rio dengan sabar tetap memakan makanannya dan menepuk-nepuk punggung Andri, segelas teh hangat diminum cepat, berharap duri ikan ikut mengalir, tapi malah menambah rasa sakit kerongkongannya. Rio mendekatkan mulutnya ke HP nya.

"Anjing! Si Andri keselek duri ikan, lu kudu kasih dia duit buat berobat!"

"Suruh Andri makan nasi, nanti juga tuh duri ikut ketelen." Delfin diam dengan wajah datar 'Kok malah gue yang ganti rugi? Salah gue apa bisa bikin Andri keselek tulang ikan? Lagian Tia tuh lemah lembutnya dibagian apanya coba?' begitulah isi hatinya kira-kira

MILKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang