Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dalam kehidup tak ada manusia yang tak luput dari kesalahan, tak ada rumah tangga yang tak pernah ada keributan, pertengkaran, pertikaian, perselisahan pendapat. Seperti itu jugalah yang kurasakan saat ini. Tapi aku percaya inilah ujian cinta itu, siapapun bisa di uji.Dua minggu sudah aku berhenti dari pekerjaan, dan hampir dua minggu itu juga Mas Jaya tidak pernah pulang, dan aku sendiripun nggak berniat untuk mencarinya. Dia sendiri yang keluar dari rumah ini, dulu dia pernah bilang, yang namanya ombak akan tetap kembali ke Pantai.
Besok adalah Hari pernikahan Mas Mas Danu, undangan sudah kuterima, sementara aku belum membeli kado untuknya. Pagi ini selesai merapikan beberapa tanaman, aku mengajak Bi Ijah untuk jalan-jalan ke Mall selain untuk mencari kado juga untuk sedikit melepaskan rasa jenuhku selama ini.
" Udah berapa lama kita keliling Bi?" Tanyaku sama Bi Ijah sambil menyunggingkan senyum kepadanya.
" Nggak tau Bu." Jawabnya singkat, tapi dari raut wajahnya aku bisa rasakan dia juga udah capek, seperti aku.
"Kita duduk di food court yuk. Saya juga udah lapar."
Setelah aku sama Bi Ijah duduk dan memesan makanan, mataku sempat melihat Mas Jaya sedang duduk dikejauhan memperhatikanku.
Ternyata bukan hanya aku yang mengetahui keberadaanya, Bi Ijahpun sempat melihatnya." Bu, sepertinya yang duduk di coffe shop itu Bapak." Ucap Bi Ijah, dengan bola mata sedang memperhatikan seseorang.
" Iya, biar aja. Nggak usah kita hiraukan, pura-pura nggak tau aja." Ucapku membalas perkataan Bi Ijah.
Kulihat Bi Ijah senyum-senyum." Bibi lagi senyumin apa?" Tanyaku dengan sedikit rasa penasaran.
" Kalau dipikir-pikir lucu ya Bu, kemarin Bapak marah-marah nggak jelas, kita di rumah pada nangis." Ucapnya sambil menundukkan kepalanya. "Maaf Bu kalau omongan saya lancang."
" Saya lebih seneng Bibi mau ngomong gini, kita bisa lebih saling terbuka, jadi nggak ada jarak." Sambil mengelus pundak Bi Ijah. " Tapi benar juga kalau dipikir-pikir lucu jadinya."
" Selama Bapak nggak di rumah, kalau Bibi ke pasar pernah ketemu Bapak?" Tanyaku kembali pada Bi Ijah.
Mendapat pertanyaan seperti itu dariku, Bi Ijah hanya menundukkan kepala.
" Berarti pernah, dan Bapak melarang Bibi untuk ngomong, gitukan?" Ku genggam tangan Bi Ijah.
" Maaf Bu." Jawab Bi Ijah.
Karena pesanan makan kami sudah datang, akupun mengakhiri pembicaraan dengan Bi Ijah.
" Udah, yuk kita makan." Ajakku.
Selama aku menikmati makananku masih kulihat Mas Jaya duduk ditempatnya. Kuambil HP untuk menghubunginya. Kalau aku telphon, dia pasti nggak akan angkat, setidaknya cukup aku kirim pesan aja.
[Assalamu'alaikum Mas, Maaf kalau aku hubungi kamu. Besok hari pernikahan Adiknya Bapak, kalau kamu bersedia tolong temani aku ya, Aku janji nggak akan membahas masalah pertikaian kita, setidaknya jangan biarkan aku pergi sendiri, aku hanya nggak ingin Ibu ngomong yang tidak-tidak. Maaf kalau aku merepotkan kamu. Terima kasih sebelumnya aku ucapkan atas kemurahan hati kamu.]
Setelah pesan itu aku kirim, aku melanjutkan makanku. Sampai selesai makanpun, tak ada balasan sama sekali. Mungkin memang dia nggak akan menemaniku, sudahlah Zahra jangan berharap lagi, kamu bisa pergi sendiri.
Selesai makan dan ngobrol sebentar aku sama Bi Ijah memutuskan pulang, karena hari juga semakin siang. Tak lupa kado untuk Mas Danu juga udah kubeli.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU
RomanceZahra Anggraini seorang wanita yang masih sangat belia. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya akan menikah diusia yang sangat muda. Menikah dengan Heru Sanjaya, pria muda yang...