PART 27

4.9K 228 1
                                    


Sesat dia tersadar dari lamunannya karena melihat istrinya merubah posisi tidurnya. Dialihkan penglihatannya kearah sang Istri, diperbaikinya selimut yang menutupi tubuh Istrinya.

" Lebih baik aku kehilangan harta dari pada kehilangan kamu Zahra, Aku sudah kehilangan semuanya, dan aku nggak ingin kehilanganmu." Dikecupnya lama kening istrinya.

Direbahkan tubuhnya disebalah istrinya, kembali pikiran menerawang kepada kejadian masa lalunya.

Kalau saja dia tidak membawa sabahabatnya ke rumah Tante Rosa, Andi nggak akan pernah bertemu dengan Ratna, nggak akan pernah ada cinta diantara Sahabat dan anak Tantenya.

Dan nggak ada hari naas itu. Hari dimana mengantarkan dirinya untuk hidup dibalik jeruji, atas kasus pembunuhan yang nggak pernah dia lakukan.

" Kalau saja pada saat itu aku nggak mencabut pisau yang ada ditubuh Andi, aku nggak akan pernah jadi tersangka, mungkin aku masih bisa melihat rona muka kebahagiaanmu Ma, mungkinpun Papa dan Ria masih ada berasama kita, dan juga Ayu nggak akan pernah diceraikan suaminya. Sampai kapan Mama bisa memaafkanku, sampai kapan Mama tetap diam denganku, Mama nggak taukah bukan hanya Aku, menantumupun sangat merindukanmu, sebentar lagi Mama akan punya cucu." Ucap batinnya.

🌺

🌺

🌺

Pada saat aku bangun, kulihat Mas Jaya tidur membelakangiku dengan posisi meringkuk.

Aku segera turun dan menuju kamar mandi. Selesai Shalat Subuh aku langsung turun untuk membuat sarapan di dapur.

Udah hampir jam delapan tapi Mas Jaya belum juga turun dari kamar. Akhirnya aku memutuskan untuk membangunkannya dan mengajaknya untuk sarapan.

Sebelum aku menyentuhnya untuk membangunkan, perlahan aku duduk ditepi tempat tidur dan memandangi wajahnya.

" Kalau kamu tidur gini, kelihatan sisi lembut dirimu. " Pada saat aku ingin mencium pipinya, kurasakan hawa panas dari hembusan nafasnya.

Begitu kusentuh keningnya, aku juga merasakan suhu tubuhnya yang panas.

" Mas, Kamu demam?" Kucoba membangunkannya dengan sedikit memukul pelan pipinya.

" Enggak, cuma aku agak sedikit sakit kepala aja." Jawabnya masih dengan mata yang tertutup.

" Enggak gimana, itu badan kamu panas gini. Kita kedokter ya.."

" Aku nggak pa-pa Zahra, tapi aku senang kamu khawatir samaku." Lalu dia bangun dari tidurnya, dan duduk sambil bersandar dengan bantal yang disusunnya. " kamu nggak marah lagi sama aku?" Tanya Mas Jaya.

" Aku nggak ada marah sama kamu, kamukan yang marah nggak jelas sama aku." Kuraih dan kugenggam tangannya.

" Tapi aku kecewa sama kamu, dan nggak tau rasa kecewaku apakah untuk selamanya atau sementara, tapi yang pasti aku sangat kecewa dan itu cukup buat aku sangat sakit." Kutundukkan wajahku, dan untuk sesaat aku dan Mas Jayapun diam.

" Aku buatkan air jahe dan bubur dulu buat kamu, dan Mas istirahatlah."

Aku bangkit dari dudukku, perlahan aku turuni anak tangga. Rasanya aku perlu pindah kamar lagi, tiap hari naik turun tangga ini sudah menguras separuh energiku, ucap batinku.

" Ibu mau masak apa? Biar saya aja yang ngerjain Bu." Ucap Bi Ijah.

" Saya cuma mau masak bubur aja. Bibi tolong kupas jahe aja, trus rebus ya."

Setelah semua selesai, aku panggil Mas Jaya untuk turun.

" Massss kamu dengar aku nggak? Kalau kamu masih kuat kamu turun ya.." Panggilku dengan sedikit berteriak dari bawah tangga.

" Kamu kenapa nggak naik aja! Kepalaku masih pusing." Kulihat dia turun dengan wajah yang memperlihatkan kejengkelan.

Begitu dia berhadapan denganku, kucoba menghentikan langkahnya.

" Kamu kesal sama Aku?" Tanyaku sambil tersenyum.

" Enggak, nggak ada alasan aku kesal sama kamu." Ucapnya dan berjalan meninggalkan aku. Tiba-tiba dia langsung berbalik menghadapku, dan membuatku kaget.

" Zahra, tolong jangan senyum semanis tadi, karena senyumanmu yang seperti itu, senyuman paling licik yang pernah kutemui."

Hahahaa kamu faham aja, tapi sayangnya kamu lagi sakit. Bersyukurlah Allah memberimu nikmat sakit hari Mas, karena memang aku punya rencana untuk mendzolimimu. Ucap batinku.

" Ayo makan, keburu dingin buburnya, punya suami satu sakit aja masih bawel, pantes sehat jago banget fitnah." Kutarik tangannya menuju meja makan.

" Aku fitnah kamu apa?"

" Makan Jangan brisik." Lalu kusuapi dia makan.

Setelah selesai aku mengajaknya duduk di ruang tengah.

" Zahra, Aku sekali lagi minta maaf sama kamu."

" Aku sudah Maafkan. Mas, makasih banyak kamu mau tamani aku kepesta pernikahan Om Danu kemarin. Terima kasih juga sudah memberikan warna dalam hidupku. Kapanpun kamu punya keputusan untuk ninggalin aku, aku sudah siap." Ucapku pelan.

" Kamu senang kalau kita pisah?! Kamu mau kita pisah?! jangan-jangan benar kamu punya selingkuhan diluar sana!"

Tiba-tiba Mas Jaya, menghardikku. Seketika juga darahku mendiduh mendengar dia menghardikku.

" Eh, kamu kok tiba-tiba marah gini sih Mas, yang pantas marah itu aku. Dasar kamu itu laki nggak tau diuntung memang!" Kulepar dia dengan bantal kursi.

" Kamu bisa marah juga, bisa hardik suami juga. Aku lebih senang kamu galak gini." Ucap Mas Jaya dengan senyum manis.

" Kau kira senyummu lucu! Kadang-kadang kau memang ngeselin."

" Aku bercanda Zahra, aku kangen sama kamu, dua minggu aku ninggalin rumah, yang ada dirumah ini nuansa sedih aja. Kita baikan ya."

" Kau kira segampang itu kau minta baikan samaku! kau kira bercandamu lucu! Kau itu pria menjijikan yang pernah kutemui!."

Ku tinggalkan Mas Jaya yang masih duduk didepan TV.

" Maafkan Aku Zahra, aku cuma nggak tau mau memulai darimana, setelah aku salah faham kemarin. Jujur Aku sempat cemburu sama.." Dia langsung diam dan nggak melanjutkan ucapannya.

" Sama siapa? Trus aja kamu nuduh aku dengan hal yang nggak pernah aku lakukan. Kamu tunggu aku lahirin anak kamu, apa yang kamu tuduhkan sama aku, bakal aku lakukan. Kamu nuduh aku selingkuh sama Pak Fajar, aku diam, kemarin kamu bilang bahwa anak yang aku kandung bukan anak kamukan, itu sama aja kamu nuduh aku selingkuhkan?!, aku bakal lakukan." 

Ditariknya tanganku, sambil berkali-kali memohon maaf.
Melihat tingkahnya sempat buat aku jengan Langsung saja kutampar wajahnya.

" Kok kamu tampar aku?"

" Aku tampar kamu mewakili anak kamu, punya Papa bego' banget! Kalau mau marah, marah aja sama dia jangan sama aku."

Kutarik tanganku dari pegangannya, lalu aku memilih duduk di ayunan untuk mengatur nafas. Bi Ijah yang sedang membersihkan kolam ikan kulihat senyum-senyum.

" Bibi kenapa senyum-senyum?"

"Maaf Buk, Bibik kaget aja Ibu bisa semarah itu sama Bapak. Biasanya Ibu selalu ngalah sama Bapak."

" Kesel saya Bi, sejak saya hamil ada aja tingkahnya."

" Bawaan bayi mungkin Bu, sejak tau Ibu hamil Bapak memang agak berbeda lebih kekanakan." Setelah mengatakan itu Bi Ijah langsung pamit.

Kalau dipikir-pikir memang iya sih, sejak aku hamil kuakui nafsu makan Mas Jaya lebih besar dari pada biasanya, ada beberapa hal yang dia nggak suka jadi suka, dan yang lebih parah dia emosinya yang berubah-ubah.

SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang