Part 37

5K 213 4
                                    


Selesai Makan siang, Mas Jaya duduk di ruang TV bersama Wulan, dibelai dengan lembut rambut adiknya itu.

Dirangkul dan diletakannya kepala sang adik untuk bersandar dibahu kekar itu.

Kamu adalah salah satu anak yang beruntung punya Papa seperti itu Nak, Mama yakin dia akan melindungi dan menjagamu dengan baik. Kita beruntung memiliki laki-laki pelindung seperti Papa. Ucap batinku sambil mengelus lembut perutku.

Aku yang menyaksikan Kakak beradik itu saling menyayangi hanya bisa tersenyum.

Lalu pandangan kualihkan kepada wajah Mama mertua, beliau masih terlihat sangat cantik, beruntung sekali Almarhum Papa mertuaku mendapatkannya.

Wanita yang pernah menjadi bunga kampus dimasanya. Meskipun saat ini usianya sudah lebih setengah abad kulit wajahnya untuk wanita seusia beliau masih terlihat kencang.

"Kenapa kamu mandangi Mama seperti itu Zahra?" Pertanyaannya menyadarkanku.

"Mama masih sangat cantik, apakah Mama nggak punya keinginan menikah lagi?" Dengan spontan aku menanyakan hal itu.

"Kamu bilang apa? Mama nggak salah dengar?" Dibesarkannya mata indahnya itu.

"Hehehe maaf Ma, habis Mama masih cakep, ini bibir nggak ada remnya. Maaf ya Ma." Sambil memukul pelan bibirku.

"Nanti setelah kamu melahirkan, Mama kasih resep tradisional keluarga Mama. Biar Suamimu makin cinta." Ucap Mama sambil tersenyum.

"Wah, Mama sama anak sama aja, sedangkan dalam keadaan sakit dan perut seperti ini saja dia masih doyan, sempat setelah lahiran Mama buat seperti itu, aku bisa-bisa nggak pernah lihat matahari terbit dan terbenam dibuatnya."  Ucapku sambil bercanda.

"Biar, biar cucu Mama Banyak, rumah Mama ramai, Nggak seperti sekarang rumah Mama sepi, sakin sepinya cacing lewatpun kedengaran."

Aku sedikit tercengang mendengar ucapannya. Ternyata Beliau orang yang pintar bercanda juga.

Selama disini, belum pernah aku mendengar dia tertawa lepas, beliau selalu menampikan kewibawaan seorang wanita, jika ada sesuatu hal yang sedikit lucu menurutnya dia hanya menyunggingkan senyum.

Jika dia mendapatkan pekerja yang salahpun beliau tidak pernah memarahi didepan umum. Hampir semua pekerja menghormatinya.

"Zahra, apa permintaan Mama kemarin sudah dibicarakan dengan Heru?"

"Udah Ma, Zahra udah putuskan kita tinggal disini, rumah Zahra yang di Jakarta mungkin akan Zahra jual. Itu udah Zahra putuskan."

"Makasih ya Nak." Ucap Mama pelan.

"Zahra yang harusnya berterima kasih sama Mama, diizinkan merawat dan menjaga Mama diusia yang senja ini."

Sore ini keluarga Boy akan datang, Mama sudah mempersiapkan cemilan yang akan disuguhkan pada tamunya.

" Mama nggak deg-degan Wulan akan dilamar?" Tanyaku pelan.

Beliau menatapku dengan senyum yang dipaksakan.

"Enggak, Mama lebih khawatir dengan keputusan yang akan diambil Heru."

" Apa Mas Jaya akan menolaknya?"

Mama hanya mengangkat kedua bahunya.

🌹

🌹

🌹

Tepat jam 5 sore, kedua orang tua Boy datang. Mas Jaya sebelumnya meminta aku, Wulan dan Mama berpakaian apa adanya.

Terlihat kedua orang tua Boy seperti orang berada. Sedikitpun kulihat nggak ada raut senyum diwajah Mas Jaya, dia hanya memperhatikan Boy, sesekali menanggapi ucapan-ucapan Papanya Boy dengan jawaban tidak tau, mungkin juga.

SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang