Part 62

6.9K 424 65
                                    

Pagi sehabis shalat subuh Mas Jaya ingin membawa Rindu pulang ke rumah.

"Aku bawa Rindu ke rumah, aku nggak mau Ibu tau tentang dia" Ucap Mas Jaya.

Aku hanya menoleh kearahnya sekilas, setelah itu kembali bercanda dengan Queen dan Rindu.

"Zahra! Kamu dengar tidak aku bicara?!" Ucapnya lagi dengan nada penuh penekanan.

"Mama! Kalau dipanggil jawab" Queen yang mendengar Papanya menyebut namaku memberi tau, kalau Mas Jaya memanggil.

"Mama, dengar sayang" Ucapku pada Queensha.

"Sayang, kamu ke tempat Nenek mau? Tapi Mama sama Adek nggak ikut ya. Kamu nginap disana sama Papa."

Rindu hanya diam mendengar ucapanku. Sepertinya dia sedang menimbang tawaran yang ku sebutkan padanya.

"aku sama Mama aja boleh?" Tanyanya padaku.

"Boleh, tapi tanya Papa, boleh nggak kamu tinggal sama Mama."

Mas Jaya yang sedang duduk di kursi meja riasku, langsung menjawab tidak boleh. Dia memaksa Rindu untuk ikut dengannya.

Ku lihat ada raut kecewa dalam dirinya.

"Sayang, dengar Mama." Ku pegang pergelangan tangan Rindu, dan menjatuhkan tubuhnya dalam dekapanku.

"Apapun kata orang tua, baik kita suka atau tidak, selagi itu untuk kebaikan, kita nggak boleh menolaknya." Ucapku pada Rindu, sambil membelai rambutnya.

"Kamu sayang sama Mamakan?" Tanyaku pada Rindu.

Dia hanya menganggukkan kepalanya yang ada dalam dekapanku.

"Mama tau kamu pasti kesepian disana nggak ada temannya. Belajar sabar ya Nak, nanti kalau Mbak udah sekolah, temannya akan lebih banyak, anak Mama sebentar lagi udah Sekolah."

Lagi-lagi Rindu hanya menganggukkan kepalanya. Entah dia mengerti atau tidak yang aku ucapkan, tapi begitulah dia.

Dia tidak banyak bicara, namun apapun yang aku katakan dia selalu menurut, meski begitu bukan berarti dia menerima semua yang aku beri, dengan karakternya seperti itu.

Aku yang harus aktif bertanya, apakah dia suka dengan yang aku beri atau tidak. Masih ku ingat sewaktu ingin membelikannya baju, dia hanya diam, dan tersenyum. Namun pada saat ditanya, apakah dia suka atau tidak, dia tetap dengan senyumnya, tapi dengan menggelengkan kepala.

Prilaku Rindu yang seperti itu hampir mirip dengan Papanya. Namun aku selalu menekankan pada Rindu, untuk hidup jujur, dan aku berusahan meyakinkan Rindu, jika dia jujur, sekalipun melakukan kesalahan, maka aku akan senang, dan tidak akan memarahinya.

Pagi itu seperginya Rindu dan Mas Jaya, Ibu bertanya sampai kapan aku tinggal di rumah, bukan berarti beliau tidak suka, kali ini Ibuku berharap aku bisa lebih lama tinggal di rumah.

Meskipun Ibuku sedikit materealistis, tapi aku bisa belajar dari itu semua, ada hikmah dan kebaikan dari apapun kejadian. Beliau mulai membanding-bandingkan antara aku dan Mas Wisnu.

"Ibu dari kecil selalu membandingkan kamu sama Mas mu. Dulu Ibu merasa, kalau anak laki-lakilah yang akan membantu Ibu, tapi nyatanya salah. Sejak dia menikah dan punya keluarga, dia nggak mau pulang kalau nggak suruh pulang. Sementara kamu, yang Ibu rasa nggak akan bisa membantu, malah sebaliknya."

Aku hanya tersenyum mendengar keluh kesah Ibu.

"Jikapun Za membantu Ibu, semua atas izin Papanya Queen, dan cukup sudah, jangan membanding-bandingkan anak, semua punya kapasitas dan kemampuan masing-masing, apapun yang Ibu lakukan selama ini, itu karena Ibu sayang.  Kalau Ibu nggak memperlakukan Za seperti itu, Mungkin sampai sekarang Za, nggak bisa berdiri diatas kaki sendiri." Ucapku pada Ibu.

SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang