Tak butuh waktu lama bagiku untuk bertemu Nadia lagi. Selang dua hari sejak kunjungannya ke High End untuk menginjak-injak blus di section-ku, Nadia muncul setelah jam makan siang. Kali ini dia datang bersama Raven.
Sekarang adalah hari terakhirku bekerja minggu ini. Besok aku mendapat giliran libur. Jadi kukira hari ini bisa kulewati lebih cepat dari biasanya, karena aku harus memikirkan bagaimana menghabiskan belasan juta rupiah tanpa dicurigai orang-orang.
Bahkan, sepanjang hari, aku banyak melamun membayangkan skenario barang-barang yang kubeli online dan dikirim ke rumah. Rencananya, aku mau pura-pura kirim microwave atas nama orang lain. Begitu microwave sampai aku akan bilang, "Kayaknya salah kirim, deh. Gapapa. Kita pake aja!" Dan aku berencana membeli kulkas baru, TV, magic jar, blender, kalau masih sisa aku mau beli AC.
Setelah makan siang aku bahkan meng-googling semua harga microwave di platform shopping online. Saat itulah kulihat dua orang itu datang seperti orang penting ke High End. Semua pramuniaga tampaknya sudah mengenal siapa sosok Raven dan Nadia. (Terlebih-lebih karena kemarin aku memberi tahu semua pramuniaga di High End, "Iya, sekretarisnya Pak Raven itu, gila jahat banget. Blus yang enam jutaan itu dia injak-injak, coba! Kalau bukan dia sekretarisnya anak yang punya grup perusahaan ....")
Cindy memelotot terintimidasi melihat sosok Nadia yang cantik seperti supermodel. Roknya membalut dengan sempurna tungkai panjang Nadia. Rambutnya yang bergelombang berayun-ayun sepanjang dia berjalan. Yuni di lain sisi langsung memberi kode bahwa "pangeran sudah datang". Dia tampak lebih excited dibandingkan semua orang di ruangan.
Raven lagi-lagi mengenakan kaus sleeveless longgar yang menunjukkan otot-otot lengannya. Celana pendek sport dia padu di tungkainya bersama sneakers yang pasti berharga mahal. Di bahunya tersampir tas gym Fitness First, meski seingatku di mal ini adanya hanya Celebrity Fitness. Entahlah, aku tak begitu paham dunia perfitnesan.
Raven nggak menghabiskan banyak waktu terbuang. Dia langsung mencariku dan menghampiriku. Nadia di belakangnya mengekori dengan muka bete. Aku merasa Raven tampak lain siang ini. Rambutnya kelihatan basah, rapi, kulitnya tampak segar. Mungkin dia sudah selesai berolahraga dan mandi. Namun apa pun statusnya, mandi nggak mandi, kurasa Raven tetap memesona.
"Monika, jam berapa kamu selesai hari ini?" sapanya ketika tiba di depanku.
Benar-benar tanpa basa-basi. "Jam lima, Bos."
"Bos?" ulang Nadia sambil tertawa. "Kamu pikir kita ini grup preman?"
Ya apa, dong? Kemarin kan manggil Bapak nggak boleh. Si Martin itu memanggil bos dan Ravennya nggak keberatan, kok.
Kali ini pun Raven nggak marah. Dia bahkan nggak peduli pada kata-kata Nadia. Raven melihat jam perak berkilau di tangan kirinya, lalu menimang-nimang. "Oke, nanti saya kerahkan Boon untuk jemput kamu."
"Ke mana?" tanyaku lemah. Suaraku mungkin tak terdengar.
Karena pada saat yang sama, Nadia juga berbicara. Suaranya tinggi melengking seperti angsa. "She's going with you?!" Nadia membelalak tak percaya.
"Nadia, we've been discussing this for ages now. Move on!" sergah Raven kesal. "It's your fault that you weren't available on the meeting. If our client wants Monika, then she's the one who goes!"
"But look at her!" pekik Nadia.
Keduanya mengamatiku atas bawah. Nadia sudah jelas tampak jijik melihat penampilanku. Namun Raven tak memberikan reaksi apa pun.
![](https://img.wattpad.com/cover/220705221-288-k838188.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...