Jadi pukul lima pagi aku dan Raven sudah berjalan ke luar apartemen sambil menjinjing perkedel dan pesanan keluargaku. "Ah, shoot!" sahut Raven begitu kami tiba di lantai bawah. "Boon bawa mobil saya tadi malam. Apa kita naik Grab aja?"
"Boleh. Aku pesankan, ya."
Menjelang ibuku berangkat ke pasar, aku dan Raven sudah tiba di depan gang. Aku menarik napas panjang sambil berhenti di bawah pohon kersen. Pohon yang menjadi saksi pertamaku mendapat uang 20 juta.
"Tapi sebelum Abang nyampe rumah, perlu Abang ketahui ... aku ini orang miskin."
"Kamu udah ngomong itu seratus kali di mobil, Monika," balas Raven, agak jengah. "It's alright. Saya juga tahu kamu bukan orang kaya raya. Tujuan kita kan ngantar perkedel, udah gitu jalan-jalan."
Aku menarik napas dan mencoba menenangkan diri. Aku bisa menghadapi ini. Semoga saja setelah Raven melihat rumahku yang RSSSSS itu, dia akan lupa dengan mudah. Subhaanamallaa yanaamu walaayashu. Aku menuntun Raven melewati gang-gang sempit menuju rumahku. Beberapa anak SD yang sedang berangkat sekolah berombongan menyoraki Raven.
"Bule masuk desa! Bule masuk desa!"
Raven hanya tertawa sambil geleng-geleng kepala. Dia mencolekku, "Mereka tuh tuyul bukan, sih?"
"Bukan, lah!" sergahku sambil menepuk lengannya yang telanjang. "Mereka anak manusia."
"Iya, bercanda!" Raven tergelak lagi.
Bercanda?
Sejak kapan Raven bercanda? Kukira cowok tukang kontrol ini nggak pernah bercanda seumur hidupnya.
Sesampainya di rumahku, Raden Setyo terlihat sedang nongkrong di teras. "Monika! Kamu namanya Monika!" sapanya sambil memelukku. Ini kali pertama dalam hidup, Raden Setyo memelukku.
"Aku mau ngantar perkedel. Udah itu aja! Mana ibu?" kataku buru-buru, sebisa mungkin mencegah Raven masuk ke rumahku yang mungil.
Kulihat Raven sedang mengamati seluruh kehidupan di gang kecil itu. Dia melihat ke atas, mengobservasi warung depan rumah, meneliti emak-emak yang baru akan berangkat ke pasar sambil mengeluarkan Mio-nya, dan mendapati seekor ayam sedang lewat dengan bebasnya di dalam gang. Raven nggak komentar apa-apa.
"Eeehhh ... anak Ibu yang namanya Monika!" sapa ibuku sambil menyambut kami. Ibu sudah mengenakan kerudungnya, berarti siap berangkat. "Perkedelnya udah siap, kan anak gadis Ibu yang namanya Monika?"
Aku menahan napas karena kesal. Kenapa sih aku nggak bisa punya keluarga normal?
"Oooh, ini temannya Kak John, ya?" sapa ibuku, melihat Raven berdiri gagah di belakang. "Waaah ... sama gantengnya, ya. Waktu ibu kamu hamil, makan apa, sih?'
Raven tertawa sementara aku menepuk jidat. "Saya kakaknya. Nama saya Raven." Raven mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ibuku menyambut uluran tangan itu, tetapi dia malah mengangkatnya ke kening Raven, agar cowok itu sun tangan ke dirinya.
"Iya, wa alaikum salam Nak Rapen. Mari masuk, masuk! Rumahnya Monika memang kecil. Maaf, ya."
"Nggak, nggak, nggak," penggalku buru-buru. "Kita nggak akan masuk. Aku cuma mau nganterin ini, Bu."
Ibuku mengelus dada, seperti ibunya Malin Kundang yang tidak diakui. "Kok kamu gitu sih anakku, Monika? Kan Ibu rindu."
"Kami ada acara lain," kataku.
"No, we're not," bisik Raven kepadaku.
Ibu menyentuh pelipisnya. "Kalau cuma sebentar, kenapa nggak kirim GoJek aja?"
![](https://img.wattpad.com/cover/220705221-288-k838188.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...