Kupahami amarah Raven kepada Boon. Meski aku nggak paham mengapa dia harus menonjok Boon tiba-tiba tanpa mendengarkan penjelasannya. Nggak bisa gitu Raven melabrak dulu dengan kata-kata, seperti misalnya, "I hate you so much! Why did you take my father away from me?!" seperti anaknya selingkuhan Jennifer Dunn?
Father-nya bisa diganti dengan namaku.
(Asalkan setelah itu Boon nggak membalasnya dengan, "I call your daddy now!")
Aku langsung melompat menghampiri Boon, sehingga tonjokan itu hanya berlangsung sekali. Tangan Raven masih mengepal dan bersiap melayangkan bogem mentah lagi. Namun karena aku berada di samping Boon, Raven nggak bisa berkutik.
Lima belas menit kemudian dua cowok itu sudah duduk di masing-masing tempat tidur yang ada di kamar. Raven duduk di tempat tidurku, memandang bengis Boon di seberangnya. Boon menunduk sambil menempelkan kompresan es ke wajahnya. Kompresan yang ku-request dengan bahasa Inggris terbata-bata ke resepsionis, dan aku meminta perempuan yang mengantarkannya ke kamar.
Mereka duduk dalam diam tanpa kata-kata. Aku ada di bagian lain ruangan, duduk di atas sofa sambil menatap mereka berdua dengan cemas. Aku memilin-milin tepian bawah kausku. Waspada menatap Raven yang bisa saja melompat lalu menghajar Boon lagi. Aku nggak mau membenci Raven gara-gara dia menghajar Boon. Itu hanya akan meyakinkanku bahwa semua cowok di dunia ini jahat.
Padahal, bagiku Raven nggak jahat.
"Langitnya cerah, ya?" kataku, mencoba mencairkan suasana.
Aku melihat ke luar. Ternyata langitnya kelabu.
Rahang Raven masih mengeras. Cowok itu tampaknya nggak berkedip selama lima belas menit terakhir. Napasnya juga mendengkus seperti kerbau. Sebenarnya tinggal menunggu wasit bilang, "Ready ...? Fight!" maka mereka berdua akan bertarung seperti petinju. Aku jadi deg-degan melihatnya.
Raven akhirnya berbicara. "What did you do?"
"I was saving her," jawab Boon. Kemudian ditambahkan dengan pelan, "Am."
Bagus. Pakai bahasa Inggris. Kenapa sih orang-orang ini harus berdebat dalam bahasa Inggris? Nggak bisa gitu mereka berantem seperti Raden Setyo yang menggunakan bahasa Betawi? "Elu ngapain cewek gua, dah?! Elu mau gua tampol, hah?!"
"Bullshit. She was safe and sound," balas Raven. "You just wanna have her to yourself."
Boon menghela napas. "I do. But sadly ..., it was not the case."
Raven mengerutkan alisnya. "What the fuck?"
Boon menggelengkan kepala. Dia menoleh ke arahku sejenak sambil tersenyum. "You can ask her."
Raven kini menoleh ke arahku. Aku langsung duduk dengan tegak seolah-olah sedang berada di depan kepala sekolah. Kenapa keduanya menoleh ke arahku sekarang?
"Monika, apa yang terjadi?" tanya Raven.
Kini, giliranku mengerutkan alis. "Abang nggak tahu?"
Raven menoleh ke arah Boon sejenak, lalu menoleh lagi ke arahku. Dari kernyitan dahinya, jelas dia nggak tahu apa-apa.
Boon mencoba menjelaskan sesuatu. "Kayaknya Nadia nggak bilang apa-apa soal itu, Neng."
"Neng?! What the fuck?" sambar Raven murka. "Kamu udah punya panggilan sayang buat Monika?!"
Aku merasa harus menengahi, jadi aku pun menyela ucapan Raven. "Neng itu namaku." Semua kejadian yang kualami beberapa hari terakhir membuatku tersadar, nggak penting juga menyembunyikan nama asli dari orang-orang. Apalagi dari orang-orang yang kuhormati dan kusayangi, seperti Raven. Dari lahir namaku sudah Raden Oneng, sampai kapan pun akan tetap Raden Oneng. Memang suratan takdirku begitu, kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...