(40) Love

14.7K 1.6K 500
                                    

Bisa dibilang, aku bingung.

Aku bingung dengan apa yang terjadi. Aku bingung dengan apa yang kurasakan. Semuanya terasa baru bagiku. Semuanya lebih rumit dari yang kukira. Sampai malam kemarin, kusangka percintaan itu mudah seperti kisah Cinderella. Aku hanya perlu menyingkirkan ibu tiri jahat (Nadia), menggaet Prince Charming (Raven) ke dalam pelukanku. Lalu kami akan hidup bahagia selamanya.

Namun, aku nggak mengantisipasi hadirnya Flynn Rider (doa selamat dunia akhirat), Prince of Corona suaminya Rapunzel, ke dalam kehidupan percintaanku. Dalam cerita Disney pun, Flynn Rider ya cintanya sama Rapunzel, nggak sama Cinderella.

Coba kalau kamu di posisiku, Sahabat. Apa yang akan kamu lakukan?

"Mama boleh bawa Monika ke mal, kan?" tanya ibunya Boon, atau yang mulai sekarang kupanggil Mama—mengingat semua orang memanggilnya begitu. Aku, Mama, dan Boon sedang berkumpul di meja makan, menyantap kwetiaw goreng yang Mama masak selepas subuh. Boon sudah mengenakan kemeja dan jas hitamnya, siap menjadi sopir Raven lagi hari ini setelah seharian kemarin libur untuk menanganiku.

"Nggak," jawab Boon tegas. Dia memasukkan dua potong roti ke dalam toaster di atas meja, untuk nanti dia bawa sebagai bekal makan siang.

"Di Central Park lagi ada sale akhir tahun. Mama mau belanja baju baru menyambut tahun 2020. Kalau ada Monika, kan Mama ada yang nemenin. Ya, ya, ya?" Mama mengusap kepala Boon, merayu anaknya itu.

"Nggak, Ma," balas Boon sambil menghela napas. "Kan udah kubilang, Monika lagi diincar ama orang jahat. Makanya Monika kita tampung di sini untuk sementara. Sampai masalahnya selesai, kalau bisa Monika jangan keluyuran dulu."

"Siapa tahu penjahatnya lagi libur akhir tahun juga, jadi pasti Monika boleh belanja sama Mama. Penjahat juga pasti butuh liburan, kan?"

"Penjahat yang ini setiap hari liburan, Ma," Boon menggelengkan kepalanya. "Nanti aja, ya. Kalau ada orang lain yang bisa nemenin Mama sama Monika, nanti aku izinkan belanja."

"Kalau bisa hari ini, ya. Mama mau masukin kupon undian akhir tahun di Transmart Carrefour."

"Bukan hari ini yang pasti," kata Boon tegas.

"Ya udah," jawab Mama kecewa, tetapi beliau hanya bisa pasrah. Mama melangkah ke dapur untuk mencuci piring kotor.

Huh, nyebelin. Padahal aku mau kok nemenin Mama belanja.

Aku nggak tidur bareng Boon semalam, by the way. Kali aja kamu bertanya-tanya. Apa aku pengin? Ya aku pengin. Apa aku merasa bersalah? Tentu saja. Namun satu yang pasti, aku nggak bisa membohongi diriku sendiri. Aku nggak bisa memahami mengapa orang-orang bisa cinta dengan satu orang saja sementara aku merasakan perasaan yang sama ke dua orang berbeda.

Bertanya kepada Yuni pun dia malah membahas cabe, dan itu nggak menyelesaikan masalah apa pun.

Aku sempat berharap Boon adalah orang jahat yang memanfaatkan keadaan dengan menciumku, lalu membawaku kabur ke luar negeri (kan sekarang aku sudah punya paspor), kemudian kami memulai hidup baru meninggalkan semua orang di Indonesia. Mungkin ke Australia. Ke ibukota Australia, Canberra. Boon bisa menjadi sopir GoCar di sana, sementara aku bisa jualan perkedel. Orang bule pasti suka makanan Indonesia. Aku nggak akan protes kok kalau aku harus jualan nasi uduk di Canberra.

Namun, nggak. Boon malah melepaskan kecupan itu dan berbisik, "We can't do this."

"Kenapa?" tanyaku.

Boon mendesah dan membuka selimut. "Bukan sekarang. Bukan dalam situasi ini."

Jadi itulah yang membuat Boon bete pagi ini. Atau setidaknya, itu yang kuduga. Boon nggak berani menatap mataku meski sesekali aku melihatnya mencuri pandang ke arahku. Dia juga nggak membahas apa yang terjadi semalam. Atau mau teh apa aku pagi ini. Atau kenapa aku nggak membuat perkedel lagi pukul empat pagi. Boon hanya duduk di meja makan, membalas email di ponsel, tak berkata apa pun sampai Mama menyajikan kwetiaw di atas meja.

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang