Aku masih hidup, kok Sahabat. Aku tidak dibuat gepeng oleh Nadia.
Nyaris, tapi enggak.
Dan lucunya, Nadia tidak mengira bahwa Raven sedang berusaha menjebaknya dengan menyimpan kamera dan segala macam. (Di mana seharusnya Nadia aware soal ini karena Nadia pernah melakukannya beberapa kali ke orang lain.)
Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Nadia nyaris menonjokku yang terpojok di dalam lemari. Aku malah sibuk mengamati tubuhnya yang sempurna. Lekukan pinggang, payudara, bersihnya area selangkangan, dan mulusnya kulit Nadia yang mungkin dioleskan tiga ratus jenis skincare Korea setiap malam.
"Nadia!" Raven menahan tangan Nadia yang asalnya ingin membuatku gepeng. Raven melompat dari atas tempat tidur, hanya mengenakan celana dalam hitam, otot lengannya menegang menahan tubuh Nadia yang lebih kecil darinya.
"How the fuck can she be there?!" lolong Nadia dengan mata memelotot. "Did she stalk you?!"
"I don't know!" balas Raven sama-sama mengentak. "Monika, kenapa kamu ada di sini?" Rahang Raven mengeras, seolah-olah Raven lupa soal kehadiranku di sini. Matanya juga memelotot menyeramkan. Seperti ketika Siska marah di depan semua karyawan karena ada satu crop-top desainer yang mahal dan limited edition hilang dari section-nya Anwar.
Atau mungkin akting Raven sungguhlah bagus, dia berpura-pura tak tahu mengapa aku ada di sini?
"Dia pasti ngakses komputernya Martin!" tuduh Nadia. "I told you, cut her already!"
"Monika, kamu ngakses komputernya Martin?" desak Raven, membuatku merasa sangat tak nyaman.
"So you let Martin knows where we are going?!" Nadia mendelik sinis ke arah Raven.
"Of course! Semua perjalanan saya mesti tercatat Nadia. Kalau ada apa-apa, bisa menjadi alibi. Mengaku, Monika. Kamu buka isi laptopnya lalu mengecek jadwal saya ke mana malam ini?"
Tentu saja aku tidak melakukan itu. Martin melarangku menyentuh apa pun, termasuk debu. Mana berani aku menyentuh laptopnya Martin! Namun, aku tahu, Raven sedang berakting seolah-olah aku adalah penyusup di dalam pertemuan mereka ini. Aku juga tahu Raven tidak benar-benar marah kepadaku karena kepergok bersembunyi di dalam lemari selama mereka ena-ena.
Jadi, dengan berani aku keluar dari lemari dan berdiri menantang Nadia. "Iya, aku buka laptopnya Martin!" Bahkan, aku berkacak pinggang dengan kurang ajar. "Sama kayak kamu maksa buka iPad-nya Salma supaya tahu aku ada di mana!"
Nadia menelan ludah. Kurasa Nadia kehilangan kata-kata untuk sejenak, karena aku masih bisa melanjutkan konfrontasiku.
"Malah, kamu ngebikin Salma masuk rumah sakit cuma demi ngerebut iPad-nya dia. Aku sih enggak bikin Martin masuk rumah sakit. Martin masih sehat wal 'afiat sekarang, dia sedang di ...." Aku tak bisa menyebutkan Martin sedang di mana. Martin sedang ada di ruang sebelah, mungkin menutup wajahnya karena kesal aku menggagalkan rencana ini. Mungkin tangannya sedang mengepal, senyumnya terkembang lebar berusaha sabar menghadapi aksiku. Namun aku akan merahasiakan keberadaan Martin, tentu. Jadi aku menjawab, "... di rumahnya, lagi makan."
"Jadi kamu mulai berani?!" tantang Nadia, melipat tangan di depan dada. Payudaranya mencuat keluar dengan sempurna. "Kamu pantas untuk dihabisi karena kamu mencoba menghancurkan hubunganku dengan Raven."
"Elah, ngapain aku sama Raven. Aku punya pacar, kali!" sungutku, makin terbawa pada skenario yang aku belum tahu arahnya ke mana. "Pacarku namanya ... ngng ... Anwar. Lebih ganteng dari Raven!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...