(51) Mushy

10.9K 1.5K 434
                                    


Seenggaknya, aku bisa pindah ke hotel yang ada microwave-nya bersama Raven. Dan, aku nggak perlu naik kereta dari stasiun ke stasiun. Raven maunya naik taksi. (Bagus!)

Sore itu juga, aku memutuskan menginap di kamar Raven, karena kurasa dia lebih terguncang daripada aku sekarang. Raven juga sempat-sempatnya menelepon Martin untuk bilang, "Masih punya nomor pembunuh bayaran rekomendasimu waktu itu?" Namun, sambungan itu terputus karena Boon langsung merebut ponsel Raven. "No!" sahut Boon, mematikan ponsel dan melemparkannya ke atas tempat tidur. "It's not healthy for Monika, and it won't solve any problem."

Padahal, aku sudah membayangkan Raven meng-hire pembunuh bayaran. Mungkin perempuan. Wajahnya mirip Scarlett Johansson, dengan jubah hitam overall dari bahan kulit dan rambut merah sebahu bergelombang. Pasti keren. Mungkin nama dia Katya.

Boon memaksa Raven berjanji di depanku untuk nggak melakukan hal-hal impulsif tanpa perencanaan. Membunuh Nadia atau bodyguard-nya nggak akan menyelesaikan masalah. Boon mengancam, kalau Raven sampai berbuat bodoh, Boon akan menyebarkan video pemerkosaan itu di Twitter. Tentu saja Raven langsung menonjok wajah Boon sekali lagi. Sekarang, Boon bonyok di dua sisi.

"Idiot!" sentak Raven sambil menarik kerah kaus Boon.

"I am!" balas Boon, sama-sama sengit. "I'd better be an idiot than seeing you take a careless plan!"

"Bukan urusan elo!" balas Raven di depan wajah Boon. Aku sampai memegang dadaku untuk memastikan pendengaranku baik-baik saja. Barusan Raven bilang 'elo'?

Tampaknya, Raven menurut juga. Hingga kami sampai di hotel, dia nggak menelepon Martin atau siapa pun untuk memerintahkan pembunuhan Nadia. Raven malah menatapku sepanjang jalan, seolah-olah takut aku hilang tiba-tiba, atau diculik Jaka dan dibawa ke gudang lagi. Antara aku kesenangan karena diperhatikan seperti itu, atau aku ... ya ... kesenangan.

"Don't leave me, please," bisik Raven di taksi. Tangannya mengenggam tanganku terus-menerus.

Tentu saja aku nggak akan meninggalkannya. Yawla. Yang benar saja. Hotel Raven ada microwave-nya. Aku sudah cek di booking.com sebelum meninggalkan kamar Boon, dan aku juga memastikan, "Kamu pesan King-Size Bed Penthouse Suite Executive Luxury yang ada microwave-nya, kan?" Raven bilang iya, jadi mood-ku naik beberapa puluh persen sore ini.

Maka dari itu, aku mencoba menjawab kata-kata Raven dengan bahasa Turki yang kutahu. "Belki çılgın," ujarku lembut seraya tersenyum. Aku nggak tahu artinya apa.

Sopir taksi menoleh sebentar ke belakang untuk melihatku sambil mengerutkan kening. Raven pun mengerutkan alisnya. "Gila? Siapa yang gila?"

"Belki çılgın," kataku lagi, berusaha membuat Raven terkesan. Mungkin aku perlu menambahkan bahasa Turki lain. "Gelecek istasyon," tambahku. Yang selalu kudengar setiap naik kereta.

Raven makin kebingungan. "Çılgın artinya gila, Monika. Saya pernah tinggal di Turki dua bulan, dan saya tahu kata-kata simple seperti Çılgın. Maksud kamu apa?"

Gila? Sialan. Berarti orang-orang di kereta itu mengira aku gila?!

Beruntung sekali kami sudah sampai di sebuah hotel besar dan mewah di pinggir Selat Bosphorus. Jadi, aku nggak perlu menjelaskan apa-apa lagi ke Raven. Kami check in dan masuk ke kamar yang berada di lantai paling atas.

Kamar itu besar, terdiri dari satu kamar dengan tempat tidur luas, kamar mandi besar dengan bathtub normal, dapur (yang ada microwave-nya), ruang tamu, ruang makan, dan ruang tengah. Kamarnya didesain bergaya Turki dengan karpet-karpet berwarna merah dan wallpaper bergaya Mediterania. Kamar ini juga memiliki balkon luas menghadap ke Selat Bosphorus. Dan di balkonnya ada bathtub jumbo yang untuk empat orang itu, lho. Entah mengapa disimpan di luar begini.

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang